Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Exit, Basiyo ...

Seorang pelawak yang baik merupakan "editor", juga "kritikus" bagi kehidupan dalam masyarakat. kota yogya beruntung pernah memiliki pelawak yang baik seperti basiyo. tapi kini ia telah pergi.

13 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YOGYA telah melepas pelawak kesayangannya, Basiyo dengan lagu Tlutur yang memilukan. Apakah ini satu kebetulan yang ironis? Orang yang selama ini telah menghiburnya dengan lelucon yang kaya, siang itu diusung dalam keranda dengan iringan lagu yang menyayat hati. Tentulah itu sebagai pernyataan duka dari masyarakat penggemarnya. Tetapi apa hak kita sesungguhnya untuk melepas seorang yang telah mengajar kita untuk tersenyum, tertawa, dengan memberi pesangon lagu yang begitu berat? Seakan itulah imbalan yang sepadan bagi kegembiraan segar yang selalu diberikannya kepada masyarakat. Tidak tahukah kita bahwa untuk membuat kita tertawa telah dibut uhkannya seonggok pengalaman yang seringkali sangat getirnya? *** Tidak banyak masyarakat yang beruntung bisa memiliki seorang, dua orang pelawak. Tidak banyak pula masyarakat yang beruntung yang tahu "letak" pelawak itu dalam lingkungannya. Bahkan tidak terlalu banyak pula dari masyarakat itu tahu membedakan yang pelawak dari yang bukan pelawak. Saya khawatir, masyarakat justru terlalu sering (dan terlalu gampang) memberi akomodasi dan predikat kepada mereka yang mengira pelawak sebagai pelawak yang sesungguhnya. Tengoklah, berapa persen dari deretan pelawak yang tampil di layar televisi dan di panggung-panggung umum yang benar pantas disebut sebagai pelawak? Tidak banyak! Toh, seringkali kita tidak segan-segan merogoh saku kita dalamdalam. membayar mahal-mahal segala pertunjukan itu untuk kemudian dibosankan dan dikecewakan. Agaknya ada beberapa hal yang sering luput dari pertimbangan kit dalam menghayati tampilnya sang pelawak di tengahtengah kita. Pertama, pelawak bukanlah orang-kebanyakan. Ia tampil tidak dengan ukuran rata-rata. Ia tampil dengan lensa mata yang khas dalam menghayati kehidupan. Apa yang mungkin kita lihat sebagai sesuatu yang biasa, oleh sang pelawak tidak dilihat demikian. Tiba-tiba di sela-sela yang biasa itu sang pelawak melihat hubungan atau kaitan unsur-unsur yang lain yang luput sama sekali dari tangkapan kita. Kaitan unsul-unsur yang semula nampak "biasa" itu ditunjukkan oleh sang pelawak bahwa kaitan itu mempunyai perspektif dan dimensi yang "lain". ang tiba-tiba kita lihat sbagai "lain" itulah. agaknya. yang disebut "lucu". Teguh,pemimpin Srimulat itu, pernah mengatakan bahwa yang ' lucu'' itu ialah yang "aneh". Mungkin yang dimaksudkannya adalah pengertian "lain" itu yang tiba-tiba ditunjukkan oleh sang pelawak kepada kita. Kemampuan menangkap yang "biasa" menjadi yang "Iain", yang "tidak biasa", itulah yang membuat setiap pelawak yang baik bukan orang-kebanyakan. Ia adalah orang yang istimewa. Sebab kemampuan yang demikian khas didapatnya lewat proses yang istimewa pula. Seorang pelawak yang baik bolehlah seorang sarjana--seperti Mang Udel--atau bolehlah seorang yang berpendidikan minim--seperti Basiyo--tetapi kemampuan "melawak" itu hampir tidak pernah ada hubungannya dengan pendidikan formal. Kemampuan itu agaknya lebih banyak didapatnya dan pengembangan kepekaan menghayati kehidupan seharihari secara detail. Biasanya pelawak yang baik mempunyai penciuman tajam dan penglihatan jeli terhadap yang kecil-kecil dalam kehidupan. Anehnya, pelawak-pelawak yang baik kebanyakan adalah orang-orang yang sedikitnya pernah mengalami kehidupan yang penuh penderitaan. Charlie Chaplin, Marcel Marceau dan tentu saja juga Basiyo adalah orang-orang yang pernah tidak berbahagia. Penderitaan itu agaknya telah memperkaya batinnya. Dan dengan kemampuan menghayati kehidupan secara detail serta kemampuan melihat kaitan unsur-unsur sebagai kaitan yang "lain", yang "bengkok", pelawak itu mengangkat yang menyedihkan, yang menimbulkan penderitaan, menjadi kelucuan yang besar. Maka kalau kemudian tiba-tiba ada seseorang yang mengaku seorang pelawak tetapi tidak memiliki segala kemampuan dan kekayaan pengalaman seperti di atas, hasilnya adalah lawakan yang miskin. Dan alangkah agak banyak "pelawak" yang demikian di tengah kita. Kedua, masyarakat seyogyanya menempatkan pelawak dalam tempat yang terhormat. Pada hakekatnya pelawak adalah seorang "editor" kehidupan sehari-hari. Cerita manusia sepanjang hari itu dia ringkaskan dan kemudian dia ceritakan kembali dalam bahasa dan gayanya sendiri yang kelihatannya menyimpang dari alur cerita itu sendiri. Padahal tidak. Yang kelihatannya menyimpang dari alur itu adalah semacam tawaran alternatif. Maka duka-cerita manusia yang kadang bertele-tele itu bisa di"edit" oleh sang pelawak menjadi satu lelucon yang mengharukan --seperti pada lawakan Chaplin umpamanya. Jika demihan halnya, pelawak -- karena dia "editor" adalah juga "kritikus" kehidupan dan kadang-kadang juga penghantar "katharsis". Tentu saja .... Celakanya, masyarakat tidak selalu mampu melihat dan menerima sifat dan peranan pelawak sebagai "editor" itu. Apalagi sebagai "kritikus" kehidupan dan penghantar "katharsis". Maka pada satu saat Chaplin terpaksa pergi mengungsi meninggalkan Amerika Serikat, Gareng Sriwedari di zaman Orla pernah kena interogasi dan diistirahatkan dari panggung, dan Cak Durasim, pemain ludruk di Surabaya itu, ditangkap Kenpeitai kemudian disiksa sampai mati .... Kesusasteraan, konon, mengajar kita untuk selalu mempertimbangkan kemungkinan yang banyak dari kemampua manusia. Jika demikian, pelawak mengajar kita untuk mempertimbangkan kemungkinan kekonyolan dan kebodohan kita. Keduanya berfungsi untuk justru menormalkan kehidupan kita. Dalam rutin kehidupan sehari-hari bukankah seringkali kita cenderung untuk melihat tingkah-laku manusia dalam hubungan sebab-akibat yang serba pasti? Lupa bahwa manusia selalu mampu keluar dari keajekan yang dia tentukan sendiri? ** Agaknya masyarakat Yogya termasuk mayalakat yang beruntung. Ia memiliki pelawak-pelawak yang baik dan meskipun secara finansiil tidak pernah dapat menghargainya tinggi-tinggi, ia toh mampu menempatkan para pelawak itu dalam status yang terhormat. Mereka disayang dan dihormati. Basiyo adalah pelawak yang menikmati kedudukan yang demikian. Leluconnya tidak selalu halus, bahkan sering mburok, polos, tetapi selalu kena dan mencerminkan kehidupan kerakyatan yang memallg tidak selalu halus itu. Yang penting, kedudukannya sebagai "editor", "kritikus" kehidupan dan penghantar "katharsis" dihargai oleh masyarakat Yogya. Hingga kortsluiting tidak pernah terjadi antara pelawak ini dengan masyarakat. Sentilan dan tonjokan Basiyo yang dilontarkan lewat pangkur jengglengnya yang khas itu justru sering diterima sebagai jamu bagi penggemarnya. Dan buat satu masyarakat padat yang menghuni satu kawasan yang serba mepet sumber-alamnya itu,'apakah yang lebih menghibur daripada lawakan pangkur jenggleng a la Basiyo itu? Yogya kehilangan "editor"nya yang baik. Bisa dimengerti bila masyarakat berjubel menghantarnya ke makam. Tetapi layakkah seorang Basiyo dihantar dengan tutur yang meskipun indah terlalu menyayat hati? Mungkin pangkur jenggleng akan merupakan penghantar yang lebih kena! Bukankah Bisma, panglima Hastina yang perkasa itu minta disangga anak panah dan tombak pada kepala dan punggungnya waktu dia menghadapi sakratulmaut di medan laga? Dan bukan bantal dan kasur empuk yang didatangkan dari istana?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus