YOGYA telah melepas pelawak kesayangannya, Basiyo dengan lagu
Tlutur yang memilukan. Apakah ini satu kebetulan yang ironis?
Orang yang selama ini telah menghiburnya dengan lelucon yang
kaya, siang itu diusung dalam keranda dengan iringan lagu yang
menyayat hati.
Tentulah itu sebagai pernyataan duka dari masyarakat
penggemarnya. Tetapi apa hak kita sesungguhnya untuk melepas
seorang yang telah mengajar kita untuk tersenyum, tertawa,
dengan memberi pesangon lagu yang begitu berat?
Seakan itulah imbalan yang sepadan bagi kegembiraan segar yang
selalu diberikannya kepada masyarakat. Tidak tahukah kita bahwa
untuk membuat kita tertawa telah dibut uhkannya seonggok
pengalaman yang seringkali sangat getirnya?
***
Tidak banyak masyarakat yang beruntung bisa memiliki seorang,
dua orang pelawak. Tidak banyak pula masyarakat yang beruntung
yang tahu "letak" pelawak itu dalam lingkungannya. Bahkan tidak
terlalu banyak pula dari masyarakat itu tahu membedakan yang
pelawak dari yang bukan pelawak. Saya khawatir, masyarakat
justru terlalu sering (dan terlalu gampang) memberi akomodasi
dan predikat kepada mereka yang mengira pelawak sebagai pelawak
yang sesungguhnya.
Tengoklah, berapa persen dari deretan pelawak yang tampil di
layar televisi dan di panggung-panggung umum yang benar pantas
disebut sebagai pelawak? Tidak banyak! Toh, seringkali kita
tidak segan-segan merogoh saku kita dalamdalam. membayar
mahal-mahal segala pertunjukan itu untuk kemudian dibosankan dan
dikecewakan. Agaknya ada beberapa hal yang sering luput dari
pertimbangan kit dalam menghayati tampilnya sang pelawak di
tengahtengah kita.
Pertama, pelawak bukanlah orang-kebanyakan. Ia tampil tidak
dengan ukuran rata-rata. Ia tampil dengan lensa mata yang khas
dalam menghayati kehidupan. Apa yang mungkin kita lihat sebagai
sesuatu yang biasa, oleh sang pelawak tidak dilihat demikian.
Tiba-tiba di sela-sela yang biasa itu sang pelawak melihat
hubungan atau kaitan unsur-unsur yang lain yang luput sama
sekali dari tangkapan kita. Kaitan unsul-unsur yang semula
nampak "biasa" itu ditunjukkan oleh sang pelawak bahwa kaitan
itu mempunyai perspektif dan dimensi yang "lain".
ang tiba-tiba kita lihat sbagai "lain" itulah. agaknya. yang
disebut "lucu". Teguh,pemimpin Srimulat itu, pernah mengatakan
bahwa yang ' lucu'' itu ialah yang "aneh". Mungkin yang
dimaksudkannya adalah pengertian "lain" itu yang tiba-tiba
ditunjukkan oleh sang pelawak kepada kita.
Kemampuan menangkap yang "biasa" menjadi yang "Iain", yang
"tidak biasa", itulah yang membuat setiap pelawak yang baik
bukan orang-kebanyakan. Ia adalah orang yang istimewa. Sebab
kemampuan yang demikian khas didapatnya lewat proses yang
istimewa pula.
Seorang pelawak yang baik bolehlah seorang sarjana--seperti Mang
Udel--atau bolehlah seorang yang berpendidikan minim--seperti
Basiyo--tetapi kemampuan "melawak" itu hampir tidak pernah ada
hubungannya dengan pendidikan formal. Kemampuan itu agaknya
lebih banyak didapatnya dan pengembangan kepekaan menghayati
kehidupan seharihari secara detail. Biasanya pelawak yang baik
mempunyai penciuman tajam dan penglihatan jeli terhadap yang
kecil-kecil dalam kehidupan.
Anehnya, pelawak-pelawak yang baik kebanyakan adalah orang-orang
yang sedikitnya pernah mengalami kehidupan yang penuh
penderitaan. Charlie Chaplin, Marcel Marceau dan tentu saja juga
Basiyo adalah orang-orang yang pernah tidak berbahagia.
Penderitaan itu agaknya telah memperkaya batinnya. Dan dengan
kemampuan menghayati kehidupan secara detail serta kemampuan
melihat kaitan unsur-unsur sebagai kaitan yang "lain", yang
"bengkok", pelawak itu mengangkat yang menyedihkan, yang
menimbulkan penderitaan, menjadi kelucuan yang besar.
Maka kalau kemudian tiba-tiba ada seseorang yang mengaku seorang
pelawak tetapi tidak memiliki segala kemampuan dan kekayaan
pengalaman seperti di atas, hasilnya adalah lawakan yang miskin.
Dan alangkah agak banyak "pelawak" yang demikian di tengah kita.
Kedua, masyarakat seyogyanya menempatkan pelawak dalam tempat
yang terhormat. Pada hakekatnya pelawak adalah seorang "editor"
kehidupan sehari-hari. Cerita manusia sepanjang hari itu dia
ringkaskan dan kemudian dia ceritakan kembali dalam bahasa dan
gayanya sendiri yang kelihatannya menyimpang dari alur cerita
itu sendiri. Padahal tidak. Yang kelihatannya menyimpang dari
alur itu adalah semacam tawaran alternatif.
Maka duka-cerita manusia yang kadang bertele-tele itu bisa
di"edit" oleh sang pelawak menjadi satu lelucon yang mengharukan
--seperti pada lawakan Chaplin umpamanya. Jika demihan halnya,
pelawak -- karena dia "editor" adalah juga "kritikus" kehidupan
dan kadang-kadang juga penghantar "katharsis". Tentu saja ....
Celakanya, masyarakat tidak selalu mampu melihat dan menerima
sifat dan peranan pelawak sebagai "editor" itu. Apalagi sebagai
"kritikus" kehidupan dan penghantar "katharsis". Maka pada satu
saat Chaplin terpaksa pergi mengungsi meninggalkan Amerika
Serikat, Gareng Sriwedari di zaman Orla pernah kena interogasi
dan diistirahatkan dari panggung, dan Cak Durasim, pemain ludruk
di Surabaya itu, ditangkap Kenpeitai kemudian disiksa sampai
mati ....
Kesusasteraan, konon, mengajar kita untuk selalu
mempertimbangkan kemungkinan yang banyak dari kemampua manusia.
Jika demikian, pelawak mengajar kita untuk mempertimbangkan
kemungkinan kekonyolan dan kebodohan kita. Keduanya berfungsi
untuk justru menormalkan kehidupan kita.
Dalam rutin kehidupan sehari-hari bukankah seringkali kita
cenderung untuk melihat tingkah-laku manusia dalam hubungan
sebab-akibat yang serba pasti? Lupa bahwa manusia selalu mampu
keluar dari keajekan yang dia tentukan sendiri?
**
Agaknya masyarakat Yogya termasuk mayalakat yang beruntung. Ia
memiliki pelawak-pelawak yang baik dan meskipun secara
finansiil tidak pernah dapat menghargainya tinggi-tinggi, ia toh
mampu menempatkan para pelawak itu dalam status yang terhormat.
Mereka disayang dan dihormati.
Basiyo adalah pelawak yang menikmati kedudukan yang demikian.
Leluconnya tidak selalu halus, bahkan sering mburok, polos,
tetapi selalu kena dan mencerminkan kehidupan kerakyatan yang
memallg tidak selalu halus itu. Yang penting, kedudukannya
sebagai "editor", "kritikus" kehidupan dan penghantar
"katharsis" dihargai oleh masyarakat Yogya. Hingga kortsluiting
tidak pernah terjadi antara pelawak ini dengan masyarakat.
Sentilan dan tonjokan Basiyo yang dilontarkan lewat pangkur
jengglengnya yang khas itu justru sering diterima sebagai jamu
bagi penggemarnya.
Dan buat satu masyarakat padat yang menghuni satu kawasan yang
serba mepet sumber-alamnya itu,'apakah yang lebih menghibur
daripada lawakan pangkur jenggleng a la Basiyo itu?
Yogya kehilangan "editor"nya yang baik. Bisa dimengerti bila
masyarakat berjubel menghantarnya ke makam. Tetapi layakkah
seorang Basiyo dihantar dengan tutur yang meskipun indah terlalu
menyayat hati? Mungkin pangkur jenggleng akan merupakan
penghantar yang lebih kena!
Bukankah Bisma, panglima Hastina yang perkasa itu minta
disangga anak panah dan tombak pada kepala dan punggungnya waktu
dia menghadapi sakratulmaut di medan laga? Dan bukan bantal dan
kasur empuk yang didatangkan dari istana?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini