DI Hollywood, di kalangan raja-raja film, pernah terkenal ucapan berikut, "If you-want to send a message call Western Union." Implikasi ucapan itu: film adalah arang hiburan. Sebagai barang hiburan, maka masalah yang kontroversial harus senantiasa dihindari. Anda tidak bisa menghibur dengan kisah-kisah yang tidak menyenangkan. Di antara kisah-kisah yang tidak menyenangkan, salah satu, ialah tentang perang. Terutama tentang perag yang tidak memperoleh kesatuan pendapat dari publik. Contohnya: Perang Vietnam adalah perang besar yang melibat Amerika tanpa kesatuan pendapat sama sekali. Topik perang bukanlah masalah asing bagi Hollywood. Bahkan, hingga tahun-tahun terakhir ini, film perang yang menggambarkan keterlibatan Amerika pada Perang Dunia II masih sering dibuat. Dan, seperti kita ketahui, dalam semua film itu dengan jelas diperlihatkan garis pemisah antara the bad and the good guy. Amerika tentu saja masuk golongan terakhir. Yang masuk golongan pertama senantiasa digambarkan secara karikatural, sederhana, dan kadang konyol. John Wayne barangkali adalah tokoh yang segera melintas di benak kita lika film-film perang tempo dulu menjadi pembicaraan. Ia selalu muncul dengan hebat, bersih, dan menang. Hollywood tidak begitu saja membuat film perang, kendati Eropa sudah dibakar perang. Politik isolasi membuat Amerika sedapat mungkin menghindari perang. Ketika secara berangsur-angsur berita mengenai kekejaman fasis Jerman, Italia, dan Jepang tersebar di masyarakat Amerika, perasaan tidak mau tahu akhirnya toh harus ditinggalkan. Puncak perubahan sikap datang ketika Pearl Harbour menjadi sasaran pengeboman Jepang. Setelah itu, Amerika secara penuh dan sungguh-sungguh terlibat perang. Sutradara Frank Capra mendapat tugas dari Washington untuk menggelorakan semangat Amerika menegakkan kemerdekaan, yang telah dirampas dan diinjak-injak kaum fasis di Eropa dan Asia. Statistik menunjukkan: sejak 1942 hingga 1945, 28% film keluaran Hollywood berkisah tentang perang. Semangat Hollywood pada Perang Dunia II belum lagi padam ketika Perang Korea berkecamuk. Di sana, sekali lagi Amerika melihat dirinya sebagai the good guy. Selama Perang Korea, yang relatif singkat, Hollywood menghasilkan 12 film mengenai perang ini. Perang Vietnam adalah perang paling tidak populer bagi Amerika. Perang ini sebenarnya tidak pernah dimulai dengan suatu pernyataan perang. Amerika terlibat di Vietnam secara berangsur-angsur. Bermula dengan pengiriman sejumlah penasihat militer mendampingi pasukan Vietnam Selatan bertempur melawan tentara Vietnam Utara. Ketika pasukan yang dinasihati mulai kelabakan, Amerika berangsur-angsur mengambil alih komando. Mula-mula Washington masih berusaha meyakinkan diri bahwa Vietnam adalah Korea. Ternyata, keadaan sudah jauh berbeda. Dunia tidak lagi bisa hanya dilihat sebagai Barat dan Timur, Komunis dan anti-Komunis. BUKAN cuma dunia yang berubah. Amerika juga sudah bukan Amerika yang terlibat Perang Dunia II. Ketika Perang Vietnam berkecamuk, Amerika sedang dilanda macam-macam masalah. Di antaranya, baby boom, akibat langsung dari perang yang dulu, yang sudah memasuki masa dewasa. Generasi ini, yang tumbuh dengan televisi, mengalami kesenjangan parah dengan orang tua mereka. Generasi ini, dikenal dengan sebutan generasi bunga, merupakan tokoh utama dalam pemberontakan kampus di berbagai kota Amerika. Generasi bunga ini digambarkan dengan sangat bagus, antara lain dalam film Hair. Bersamaan dengan konflik generasi ini, timbul masaalah rasial. Orang-orang hitam menuntut persamaan hak. Ini adalah masa populernya Martin Luther King. Meski King menyerukan gerakan antikekerasan, tidak urung terjadi juga kekerasan di trbagai penjuru Amerika. Pada 1967 saja tercatat seratus kota di Amerika dilanda kerusuhan rasial. Puncak kerusuhan ini adalah terbunuhnya King di Memphis, Tennesse, April 1968. Sementara Amerika sibuk memerangi komunis di Vietnam, di Timur Tengah juga terjadi perang. Salah satu akibatnya ialah terjadinya embargo minyak. Masalah yang terakhir ini memperparah ekonomi Amerika, yang harus memikul beban perang di Asia Tenggara. Amerika yang makmur selepas Perang Dunia II sudah tidak ada. Kenyataan inilah yang harus dihadapi generasi muda negeri itu. Barangkali yang paling mencekam orang-orang Amerika ialah peliputan Perang Vietnam. Inilah perang pertama yang disiarkan secara langsung ke kamar tidur warga negeri itu. Suasana perang-perang sebelumnya hanya mereka bayangkan lewat laporan wartawan surat kabar dan majalah serta film-film propaganda yang sudah disanitasi. Lewat peliputan Perang Vietnam, kematian yang sering amat mengerikan merupakan tontonan tetap sebelum orang-orang Amerika berangkat tidur setiap malam. Masalah-masalah yang dihadapi Amerika itu menimbulkan pemikiran dan aksi yang pada dasarnya mempertanyakan kembali nilai-nilai yang selama ini diyakini negeri tersebut. Akibatnya, Amerika terpecah-pecah. Ketika sejumlah anak muda berbaris ke pusat-pusat latihan militer, yang mempersiapkan mereka ke medan Perang Vietnam, tidak sedikit pula yang meninggalkan Amerika menghindari wajib militer. Sejumlah lain membangkang, memanjangkan rambut, meninggalkan rumah untuk kemudian tinggal dalam komune-komune. Ini adalah masa hashis, ganja, dan mariyuana menjadi konsumsi suatu generasi yang kehilangan pegangan. Generasi ini digambarkan dalam film Easy Rider (1968), yang dibintangi, antara lain, oleh Peter Fonda. Film Easy Rider menggambarkan suatu usaha mencari kemerdekaan jenis baru -- suatu kemerdekaan yang bertentangan dengan kemerdekaan tradisional Amerika. Film ini berakhir dengan tragis: para pencari kemerdekaan baru ini dihabisi oleh orang-orang tak dikenal, yang merupakan wakil dari kekuatan konvensional Amerika. Setahun sebelum Easy Rider dibuat di luar studio Hollywood, film Green Beret muncul dengan John Wayne sebagai tokoh utamanya. Green Beret adalah film pertama tentang Perang Vietnam. Film ini masih mencoba melihat Vietnam seperti Korea Amerika adalah the good guy. Film Green Beret, produsernya Mike Wayne (anak John), dibuat di Fort Benning, sebuah pusat latihan tentara Amerika. Karena film ini secara positif menggambarkan pasukan khusus Amerika di Vietnam, maka tentu saja Pentagon memberikan bantuan sepenuhnya. Bagi para pengamat yang teliti, film ini sebenarnya tidak lebih dari sekadar versi lain dari film-film koboi yang dibintangi John Wayne. Bedanya: pada film ini, John adalah koboi dalam seragam pasukan baret hijau, dan para Indian muncul dalam bentuk Vietkong. Sepuluh tahun kemudian, ketika orang-orang Amerika mulai mencoba melupakan Vietnam, muncul film The Deer Hunter. John Wayne tidak ikut dalam film ini. Tapi, ketika The Deer Hunter mendapatkan Oscar sebagai film terbaik pada 1978, adalah John Wayne yang menyerahkan hadiah tersebut. Sekali lagi, dalam film ini, Amerika muncul sebagai the good guy, meski tidak terlalu vokal, dan Vietkong adalah kaum agresor. Menarik untuk dicatat: sebuah demonstrasi muncul di Hollywood memprotes dipilihnya The Deer Hunter sebagai film terbaik. Film-film penting tentang Perang Vietnam dibuat pada akhir 1970-an. Karena itu, penting untuk mengetahui Amerika pada masa tersebut. Tahun 1970-an di Amerika ditandai oleh kejutan atas pengeboman Kamboja pada awal masa kepresidenan Richard Nixon, dan skandal Watergate. Dua kejutan ini hanya pelengkap terhadap keterpecahan masyarakat Amerika akibat kesenjangan generasi, konflik rasial, Perang Vietnam, dan krisis ekonomi. Semua ini penyebab merosotnya kepercayaan Amerika terhadap diri sendiri. Pada pertengahan 1970-an, untuk pertama kali dalam sejarah Amerika Serikat, pengumpulan pendapat umum menunjukkan betapa rakyat negeri itu tidak lagi optimistis terhadap hari depan negara mereka. Dengan latar belakang inilah kandidat Presiden Jimmy Carter muncul dengan kampanye perlunya memperbarui kembali kepercayaan kepada diri sendiri. Ia terpilih. Adalah dalam masa "memperbarui kembali kepercayaan" ini Amerika menengok ke masa Vietnam. Kini sudah makin jelas, dan tidak lagi kontroversial. Vietnam adalah suatu kesalahan yang bersumber pada sikap mau menang sendiri, dan kehendak memaksakan pandangan kepada orang lain. Ini adalah periode munculnya sejumlah tulisan tentang bagaimana sederhananya pandangan Washington terhadap Asia Tenggara, waktu itu. Ini juga merupakan periode yang menggambarkan Dulles Bersaudara (salah seorang di antaranya Direktur CIA Allen W. Dulles) sebagai arsitek dari garis kawan dan lawan, yang kemudian hanya menjerumuskan Amerika dalam perang di Vietnam maupun petualangan di berbagai Dunia Ketiga. Pada masa inilah dinas rahasia AS, CIA, ditelanjangi berbagai pihak. Ini pula masa ketika Kongres secara ketat mengawasi Gedung Putih, yang dianggap telah bertindak sekehendaknya hingga membawa bencana kepada Amerika. Tahun 1978, tiga film tentang Perang Vietnam diproduksi di Amerika: The Deer Hunter, Coming Home, dan Apocalypse Now. Ketiga film ini merupakan gambaran perbedaan Amerika melihat Vietnam. The Deer Hunter merupakan versi yang lebih canggih dari The Green Berret, yakni suatu pandangan yang melihat Amerika sebagai the good guy. Pandangan seperti ini memang tidak pernah mati, kendati mendapat saingan dari pandangan-pandangan lain. Pada 1980-an, pandangan ini justru kembali dominan tatkala Rambo menjadi amat populer. Tentang The Deer Hunter, majalah TEMPO (8 September 1979), antara lain menulis: Sekelompok orang duduk khidmat di sekitar meja. Dengan suara lirih tapi ikhlas mereka menyanyi God Bless America. Sebuah rasa syukur tentang sebuah tanah air -- itulah adegan penutup The Deer Hunter. Dalam sebuah film yang bercerita tentang sejumlah pemuda Amerika yang berperang di Vietnam, akhir seperti itu bisa membikin kita ingin mendeham, setengah tidak percaya bahwa film ini tidak dibikin oleh semacam PFN-nya Washington. Di Amerika, film ini diterima secara kontroversial. Sebagai karya sinematis film ini mendapat pujian. Tapi, para wartawan yang meliput Perang Vietnam mencela film ini. Mereka menganggap memalsukan sejarah. Permainan rolet Rusia dalam film ini dianggap sebagai manifestasi rasialisme dari Sutadara Michael Cimino. The Deer Hunter memang mengingatkan kita kepada filmfilm Perang Dunia II, yang menggambarkan Jepang sebagai bahaya kuning (yellow peril). Pada dasarnya, The Deer Hunter adalah suatu usaha menyejukkan hati Amerika yang kalah di Perang Vietnam. Film Coming Home adalah kisah tentang orang-orang Amerika yang tidak bisa menghindarkan diridari Perang Vietnam. Film memusatkan kisahnya pada Sally Hyde (Jane Fonda), istri seorang kapten marinir yang berperang di Vietnam. Sebelum berangkat, sang kapten berniat membawa pulang sebuah senapan mesin sebagai tanda mata. Pemain lain dalam film ini adalah John Voight. Ia memainkan peranan seorang cacat perang. Dalam keadaan kesepian, Sally kemudian terlibat hubungan seks dengan Luke Martin (Voight). Coming Home, yang lebih memusatkan perhatian pada akibat perang terhadap kehidupan keluarga, nyaris menjadikan Perang Vietnam sebagai sekadar latar belakang bagi kehidupan seksual seorang yang cacat dan seorang yang kesepian. Kecenderungan ini diusahakan dihindarkan dengan menggambarkan Luke Martin menghasut anak-anak sekolah menghindari wajib militer. Di mata Martin, Perang Vietnam betul-betul tanpa makna. Pada penutup cerita juga sang kapten (Bruce Dern) akhirnya merasakan betapa sia-sisanya perang yang baru saja dialaminya. Coming Home berkisah secara realistis mengenai betapa sia-sianya Perang Vietnam, dan betapa buruknya akibat perang terhadap kehidupan keluarga Amerika, sedangkan Apocalypse Now mengangkat persoalan ke tingkat filosofis. Lewat film ini, Sutradara Francis Ford Coppola ingin menyatakan bahwa teror adalah bagian dari hidup manusia, dan bukan hasil suatu kejadian historis. Coppola ingin menggambarkan Perang Vietnam sebagai suatu perjalanan metafisik ke arah keedanan. Film ini memang berkisah tentang perjalanan Kapten Willard (Martin Sheen) ke arah hulu sebuah sungai, tempat Kolonel Kurtz (Marlon Brando) mendirikan "kerajaannya" setelah melakukan desersi dari pasukan khusus Amerika yang bertempur di Vietnam. Kapten Willard adalah seorang jagoan perang. Tidak lebih dari itu yang kita ketahui tentang kapten dari pasukan khusus ini. Ia mendapatkan perintah untuk menghabisi Kolonel Kurtz, yang "bertahta" di suatu hulu sungai nun di wilayah Kamboja. Kesalahan Kurtz ialah melakukan perang dengan caranya sendiri. Karena mencurigai di kalangan tentara Vietnam Selatan ada mata-mata, maka dihabisinya perwira-perwira yang dicurigainya itu. Kesalahan ini tidak bisa diterima Markas Besar Tentara Amerika di Saigon. Kurtz lalu menghimpun anak buahnya serta sejumlah penduduk. Dengan kekuatan itulah ia melanjutkan perang dengan caranya sendiri. Jika Anda mencari film yang secara bagus menggambarkan absurditas Perang Vietnam, tontonlah Apocalypse Now. Dalam film ini tampil Letnan Kolonel Kilgore (Robert Duvall) yang menyerang sebuah desa hanya karena ingin berselancar di pantai. Ketika masih terganggu oleh Vietkong di seputar desa, ia memanggil pesawat-pesawat Amerika untuk menyebarkan bom napalm. Ketika menyerbu desa dengan armada helikopter sebuah lagu ciptaan Wagner dikumandangkan dari heli komando. Kilgore betul-betul menikmati perang tanpa berpikir panjang tentang perang itu sendiri. Jelas sekali perbedaan Kilgore dengan tokoh dalam film-film perang Amerika yang mengambil perangperang sebelumnya sebagai latar belakang. Di akhir cerita, Willard berhasil membunuh Kurtz. Tapi, akhir seperti ini tidak berhasil menjawab sejumlah pertanyaan. Siapa sebenarnya Kurtz? Bagaimana ia bisa berhasil mendapatkan pengikut pribumi, yang memperlakukannya sebagai raja? Mengapa Willard akhirnya memutuskan membunuh Kurtz setelah ia mengagumi tokoh tersebut? Kita juga bisa bertanya, mengapa toh Willard membunuh Kurtz -- yang cuma membunuh empat orang ketika begitu banyak orang yang terbunuh di Vietnam. Pertanyaan yang terakhir barangkali justru harus dilihat sebagai pesan Coppola, yang ingin mendramatisasikan absurditas Perang Vietnam. Kontras antara Kilgore, yang membunuh untuk berselancar prajurit hitam, yang membunuh karena gugup dan Willard, yang harus berjalan jauh untuk membunuh Kurtz, adalah contoh kecil dari absurditas perang tersebut. Ada dua catatan penting tentang film-film yang menggambarkan keterlibatan Amerika pada Perang Vietnam, yang dibuat pada tahun 1970-an. Pertama, dalam hubungannya dengan musuh, tokoh Amerika dalam film-film ini tidak lagi tegak kukuh dan kekar sebagai thegoodguyseperti dalam film-film perang sebelumnya. Meski The Deer Hunter masih mencoba melihat Amerika sebagai korban agresi Komunis, tokoh-tokoh dalam film ini adalah manusia biasa, dan bukan pahlawan ala John Wayne dalam film-film perangnya. Jika sejarah Hollywood disimak kembali, pada masa depresi, tokoh dan kisah dalam film-film Amerika kelihatan bergeser dari gambaran dan penampilan lama yang pakem. Kisah-kisah yang lebih realistis, lebih kritis, dan lebih bertanya, muncul pada saat-saat sulit seperti itu. Tapi, ketika masalah dikuasai kembali, tatkala kecemasan dapat dikontrol, semuanya kembali ke status quo ante. Tahun 1980-an untuk Amerika adalah tahun Ronald Reagan. Ia terpilih menggantikan Carter pada 1980. Carter dianggap terlalu lunak, terlalu sibuk dengan simbol, melupakan ekonomi, dan dianggap kecolongan di Afghanistan, Iran, dan Nikaragua. Lalu, Reagan datang dengan janji menjadikan kembali Amerika kuat. Ia terpilih. Orang pun bicara tentang Amerika yang bergerak ke kanan. Bagi saya, yang terjadi ialah berakhirnya masa berkabung setelah trauma Vietnam. Amerika ingin kembali mengangkat kepala, karena itu perlu kepala yang menarik. Untuk tugas seperti ini siapakah yang lebih pantas dari seorang bintang film bernama Reagan? Pada masa Reagan inilah pertama kali ada parade untuk para veteran Vietnam, yang dulu pulang dengan rasa malu, kecewa, frustrasi, dan traumatis. Pada masa Reagan pula berdiri monumen Vietnam di Washington D.C. Pada masa Reagan pula mulai terdengar teriakan: "Kini Amerika tegak tinggi kembali." Dan, Amerika mulai menunjukkan ototnya yang lebih kencang di Amerika Tengah dan Amerika Latin. Di El Salvador, Amerika hadir di Nikaragua, Amerika membiayai gerilyawan Contra Grenada dengan cepat diinvasi pasukan payung Amerika, dan Libya turut kebagian bom. Tidak ada yang mewakili sikap terbaru Amerika lebih sempurna dari film-film Sylvester Stallone dan Chuck Norris. Film Rambo, dibintangi Stallone, yang digemari Presiden Reagan ini (bandingkan dengan Richard Nixon yang menggemari Patton) berkisah tentang seorang bekas anggota pasukan Green Beret, yang mendapat sejumlah tanda jasa pada Perang Vietnam. John Rambo (Stallone) mendapat tugas kembali ke Vietnam untuk mencari bukti bahwa di sana masih ada orang-orang Amerika yang ditawan. Rambo yang berotot memulai operasinya dari Muangthai, dan dengan pesawat mencoba memasuki wilayah sasaran. Ia masuk ke Vietnam hanya bersenjatakan pisau serta busur panah bermesiu. Penonton film-film Amerika tempo dulu tidak sulit menebak akhir cerita Rambo. Dengan heroisme yang tinggi, kehebatan yang tak tertandingi, ia bukan saja berhasil membebaskan orang-orang Amerika dari penjara Vietnam, tapi juga berhasil mengobrak-abrik pasukan musuh yang bersenjata lebih lengkap. Orang-orang Amerika -- the good guy -- selalu menang. John Wayne baru sudah lahir, kata orang di Amerika. Tidak berlebihan, memang. Betulkah masih ada orang Amerika yang masih ditahan di Indocina? Tidak begitu jelas. Buat Amerika yang mulai mengangkat kepala, pertanyaan itu tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah sebuah perspektif baru melihat Vietnam sudah muncul. Karena dengan Vietnam tidak ada lagi perang, perspektif itu akhirnya diberlakukan kepada musuh-musuh baru: Grenada, Nikaragua, dan Libya. Chuck Norris adalah bintang lain yang merupakan pertumbuhan dari perspektif baru Amerika dalam melihat Vietnam masa lalu. Filmnya, Missing In Action, hampir sama dengan kisah Rambo. Bukan cuma muncul sebagai jagoan, yang dengan mudah menghabisi musuh yang digambarkan tolol, tapi Norris, sebagaimana Stallone, mengingatkan kita kepada keluarga Tarzan, yang hidup di tengah orang-orang yang kurang peradaban. Lebih canggih dari Rambo dan Missing In Action adalah film Uncommon Valor. Namun, nada dasar film-film ini tidak jauh berbeda. Obsesi kekalahan di Vietnam adalah tema film ini. Apa yang tidak bisa dicapai pada dunia nyata kini dengan gagah diraih lewat layar putih. Kolonel Yason (Gene Hackman) adalah seorang ayah yang anaknya hilang di Vietnam. Dia tidak yakin anak itu sudah mati. Karena itu, ia memimpin suatu pasukan ke Indocina. Empat tawanan dapat dibebaskan, tapi putranya sendiri sudah lama mati sakit di barak tahanan. Jika saya katakan film ini lebih canggih, antara lain karena kisah tentang anak yang mati dibarak. Anak yang tidak kembali -- setelah lama dipercayai hidup -- adalah simbol ketidakpercayaan Amerika akan kekalahan mereka di Vietnam, suatu hal yang dengan sedih dan tabah akhirnya harus mereka akui. Di akhir film, Kolonel Yason hanya meneteskan air mata sambil memeluk istrinya. Anak itu betul-betul sudah mati. Dan, Amerika memang gagal di Vietnam. Yang agak aneh, di tahun 1980-an, adalah munculnya The Killing Fields. Film ini berkisah tentang jatuhnya Kamboja ke tangan Khmer Merah, dan penderitaan orang-orang Kamboja dalam rezim Polpot. Penderitaan itu dikisahkan lewat pengalaman Dith Pran (Dr. Haing S. Ngor), seorang pembantu koresponden New York Times Sydney Schanberg. Dengan bantuan Kedutaan Amerika, keluarga Dith Pran berhasil meninggalkan Kamboja sebelum negeri itu beralih tangan, tapi sebagai reporter Pran bertahan. Ia kemudian jatuh ke tangan komunis. Setelah melewati penderitaan panjang, Pran akhirnya bebas. Film ini bukanlah film Amerika. Baik sutradaranya (Roland Joffe) maupun produsernya (David Putnam) -- keduanya orang Inggris. Mungkin inilah penjelasan mengapa film ini bisa muncul di tahun 1980-an. Film bagus dan sekaligus mengerikan ini juga sekaligus mengkritik dua pihak. Amerika (yang menjatuhkan bom) dan Khmer Merah yang membunuhi penduduk. Hanya secara samar-samar dalam film dicoba dihubungkan antara pengeboman dan keberutalan Khmer Merah. Penonton boleh mengambil kesimpulan bahwa bangsa Khmer yang terkenal cinta damai itu -- jauh sebelum perang, Kamboja di bawah Sihanouk sebenarnya tidak punya tentara dalam arti sebenarnya -- akhirnya menjadi bagai orang kesurupan. Amerika bersalah, tapi Khmer Merah juga tidak luput dari kesalahan. Begitulah pesan film ini. Bagi saya, yang tidak kurang menarik dalam The Killing Fields adalah penggambaran yang bagus dari intrik-intrik, bahkan perpecahan dalam tubuh Khmer Merah, suatu hal yang akhirnya membuka jalan bagi Dith Pran untuk melarikan diri. Perpecahan seperti ini sebenarnya bukanlah hal istimewa bagi suatu rezim revolusioner, beberapa saat setelah meraih kemenangan. Ini terjadi di Rusia (perpecahan Stalin dengan Trotzky), terjadi di Vietnam, bahkan di Indonesia di zaman revolusi. Yang menarik dalam film ini ialah usaha menggambarkan perpecahan tersebut dengan baik, dan menjadikannya berfungsi bagi jalannya cerita. Tanpa itu, bagaimana pula Dith Pran bisa lolos dari rezim Khmer Merah. Amerika Latin dan Amerika Tengah bagi dunia film Amerika sekarang barangkali seperti Vietnam di zaman Johnson dan Nixon. Di satu pihak Amerika lebih terlibat -- sebenarnya sudah terlibat jauh sebelum Perang Dunia II -- di lain pihak keterlibatannya belum separah di Vietnam. Keterlibatan yang lama lebih menonjol adalah dalam bidang politik. Film Under Fire mengisahkan kebrutalan rezimrezim diktator Amerika Latin, yang dibela Amerika. Salvadore kurang lebih sama dengan Under Fire. Dari Hollywood terlalu sedikit film yang berkisah tentang halaman belakang Amerika ini. Jika sejarah bisa dipercaya, maka Hollywood baru akan terlibat jika soal sudah tidak kontroversial lagi. Karena itu, yang membuat film-film tentang Amerika Tengah dan Amerika Latin, biasanya, produser independen atau sutradara asing, seperti Costa Gavras. Adalah Gavras yang membuat film Missing, yang dibintangi Jack Lemmon, dan State of Siege, yang dibintangi Yves Montand. Film pertama berkisah tentang warga negara Amerika yang hilang dalam pembersihan rezim militer di Cili, 1973, dan peranan Amerika pada kegiatan pembersihan tersebut. Yang kedua berkisah mengenai peranan Amerika dalam melatih pasukan antisubversi sebuah negara di Amerika Tengah. Film-film ini bukanlah film perang melainkan film-film politik. *** Dalam makalah ini sengaja saya tidak terlalu menyibukkan diri dengan pembicaraan mendetail mengenai soal-soal sinematografis yang teknis. Sebab, soal teknis umumnya bukan masalah lagi bagi film-film Amerika. Yang mungkin timbul dari segi ini ialah perbedaan pendapat tentang penggunaan aspek sinematografis untuk menyampaikan cerita. Yang lebih menarik bagi saya, sebagai pengamat film Indonesia, ialah pelajaran apakah yang bisa kita ambil dari mengamati hubungan antara sejarah Amerika dan film-film Amerika. Bisakah analisa yang sama kita lakukan terhadap film-film kita? Atau adakah perbedaan hubungan antara sejarah Indonesia dan film Indonesia dengan antara sejarah Amerika dan film-film Amerika? Ataukah kita dengan cepat -- mengingat film Indonesia yang lebih merupakan tiruan film-film asing -- bisa mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara sejarah Indonesia dan film-film Indonesia? Jika ini benar, maka masih harus dipelajari bagaimana kita meniru. Sebab, cara meniru itu sendiri bisa memberikan gambaran tentang diri dan sejarah kita. * Tulisan ini merupakan pengantar diskusi pada Pekan Film Amerika di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 9 September 1986.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini