Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanta Yuda A.R.*
Susilo Bambang Yudhoyono merupakan berkah politik bagi Partai Demokrat karena magnet elektoralnya sungguh berkontribusi "meraksasakan" partai itu pada dua musim pemilihan umum silam. Yudhoyono pun secara absah menjadi patron tunggal serta pilar utama pemersatu partai, setidaknya hingga Kongres 2010 di Bandung, dan pengaruh kekuasaan di Demokrat bergerak menuju satu sumber (sentripetal). Namun ini sekaligus menjadi potensi musibah politik karena Demokrat kian tepersonalisasi dan terjebak ketergantungan pada sosok "matahari tunggal" bernama Yudhoyono.
Pada titik itulah kemenangan Anas Urbaningrum di Bandung menjadi kabar baik karena regenerasi dan suksesi kepemimpinan di Demokrat berjalan demokratis. Tapi kemenangan Anas tanpa mengantongi restu sang patron juga menjadi berita buruk bagi Demokrat, karena menjadi cikal munculnya matahari kembar dan titik awal terpendarnya kekuasaan Yudhoyono. Anas pun sadar betul tak akan mungkin melawan Yudhoyono, yang terlampau kuat dan kokoh, tapi juga hampir mustahil dinobatkan sebagai "putra mahkota" pelanjut tongkat estafet kepemimpinan nasional dari Yudhoyono.
Pada situasi itulah Anas menjalankan tiga langkah politik sekaligus pada fase awal proyek politik 2014 bagi dirinya: kompatibilitas-soliditas-elektabilitas. Pertama, ikhtiar menjalin persahabatan "intim" dengan Yudhoyono, pemosisian Edi Baskoro sebagai sekjen merupakan upaya mengurangi kesan "inkompatibilitas" dirinya dengan Yudhoyono. Kedua, memperkuat basis jaringan politik ke pengurus daerah. Untuk agenda konsolidasi ini, Anas terbilang sangat rajin berkeliling menyambangi DPD/DPC. Ketiga, Anas juga mengkapitalisasi popularitas dan elektabilitas dirinya menuju 2014 dengan membangun basis dukungan publik melalui berbagai strategi, di antaranya jaringan "Sahabat Anas".
Setahun berlalu, Anas tak hanya menjadi "satelit politik" untuk menerjemahkan kebijakan politik Yudhoyono seperti halnya ketua umum sebelumnya—Subur Budhisantoso dan Hadi Utomo—tetapi telah berhasil menjadi "matahari" kedua bersanding dengan Yudhoyono di singgasana struktur kekuasaan Demokrat, dan perlahan seolah-olah menciptakan gaya sentrifugal (menjauhkan) DPD dan DPC dari pengaruh Yudhoyono.
Luis Medina dan Susan Stokes (2002) mensyaratkan paling tidak tiga modal yang harus dimiliki seorang patron dalam struktur kekuasaan partai: skill, links, dan material resources. Yudhoyono dan Anas memiliki modalitas yang relatif sama dari ketiga aspek itu. Namun keduanya memiliki kemewahan politik berbeda. Yudhoyono, sebagai pendiri sekaligus "pengepul" utama suara partai, tentu memiliki posisi istimewa yang tak tergantikan. Sedangkan Anas memiliki kaki-kaki politik cukup kuat di DPD/DPC karena memiliki waktu lebih ketimbang Yudhoyono dalam membangun relasi intensif ke daerah.
Di tengah suksesnya Anas berada di episentrum panggung kekuasaan Demokrat bersanding dengan Yudhoyono, partai itu justru mulai mengalami gegar politik akibat entakan Nazaruddin seputar dugaan keterlibatan beberapa nama dalam skandal proyek Wisma Atlet dan Hambalang, serta dugaan politik uang di Kongres 2010. Sejak itulah Anas hendak didesak ke pinggir panggung, dan integritasnya dipertanyakan. Ia diduga tersandung kasus hukum dan terjebak dalam pusaran politik uang akibat ketidaksabarannya menghimpun dana secara instan dan tak patut.
Perjalanan proyek 2014 Anas pun memasuki fase kedua, dan sejak itu pula proses hukum Anas mulai bergulir di KPK. Demokrat pun terbelah, antara kubu yang membela dan yang mendesak Anas mundur. Rentetan rangkaian peristiwa politik di Demokrat pun bagaikan resonansi bunyi yang terus bergema, yang pesan utamanya meminta Anas legawa meletakkan jabatan ketua umum. Hasil survei pun tak jarang seolah-olah dijadikan legitimator sahih untuk menekan Anas turun dari singgasana.
Pada fase ini, praktis Anas lebih disibukkan menangkis serangan ketimbang melakukan kerja politik bagi dirinya menuju 2014. Anas sadar betul bahwa posisi ketua umum merupakan pertaruhan bagi karier politiknya. Untuk mempertahankan posisi itu, Anas kerap menjalankan dua strategi politik: game theory dan "judoka theory". Dalam game theory dikenal strategi bersifat interaktif di antara aktor-aktor yang sedang berkompetisi. Anas tidak membuat strategi baru, tapi secara cermat hanya merespons langkah lawannya, dan taktik Anas adalah meminimalkan bahkan menihilkan "kemenangan" lawan. Karena itu pula berbagai manuver politik pelengseran Anas berakhir gagal.
Kecerdikan Anas juga terlihat dari kepiawaiannya memanfaatkan sikap Yudhoyono yang kerap mengambang dan bersayap, sehingga kekuatan Yudhoyono justru seolah-olah menjadi perisai politik bagi dirinya. Ibarat pejudo (judoka), Anas menggunakan tenaga lawan untuk membanting lawan dan mengunci anggota tubuh lawan. Dua jurus politik inilah yang menyebabkan Anas terlihat tangguh dan tak goyah sedikit pun ketika desakan mundur kian kencang.
Yudhoyono memahami betul situasi itu. Jika diteruskan, pola permainan seperti ini tentu akan berdurasi panjang dan kemenangan bergantung pada stamina politik. Sedangkan gegar politik Demokrat yang kian kencang akan mengganggu agenda politik Yudhoyono pada 2014. Akhirnya, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai yang merupakan struktur tertinggi di Demokrat, Yudhoyono mengambil alih posisi eksekutif partai sembari melucuti semua kewenangan politik Anas sebagai ketua umum.
Yudhoyono juga paham betul, sebelum menjadi tersangka, Anas hanya bisa dilengserkan melalui forum KLB. Sementara dukungan DPD/DPC terhadap Anas saat itu masih cukup kokoh, menggusur Anas melalui KLB justru membahayakan posisi Yudhoyono di Demokrat. Karena itu, jalan paling aman menunggu keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi. Akhirnya, Anas ditetapkan sebagai tersangka, dan terpaksa turun dari panggung kehormatan partai berlambang bintang Mercy itu. Sejak itu pula Anas mulai menapaki fase ketiga titik balik perjalanan politiknya.
Kendati Anas terbilang sukses mendirikan "panggung politik" di Duren Sawit sembari membuat publik penasaran menunggu "halaman selanjutnya", terlalu berat baginya mengkonstruksi seluruh peristiwa ini seolah-olah murni politik. Sebab, politik dan hukum bekerja dalam landasan logika yang berbeda. Politik bekerja pada ranah persepsi dan opini publik. Sedangkan proses hukum di KPK berbasis fakta dan bukti.
Kini tinggal tiga sisa amunisi politik Anas: memainkan kartu truf, bermanuver di internal melalui loyalis tersisa, dan membangun aliansi di luar Demokrat. Jika Anas sekadar berpolitik untuk mengamankan karier politiknya, kita tak perlu berharap berlebihan dari permainan "kartu truf" itu, kecuali jika Anas memilih permainan zero sum, dan tampaknya Anas kembali bermain dengan game theory, tentu untuk dirinya, bukan untuk kita.
Ruang manuver di kalangan internal juga kian sempit, momentum KLB akan menjadi pertaruhan terakhir bagi eksistensi "faksi Anas", tapi peluang untuk menang dalam pertarungan kian kecil karena faksi Anas sudah mengalami diaspora dan tak sekuat ketika ia masih berada di puncak struktur kekuasaan Demokrat. Sementara membangun aliansi perlawanan bersama tokoh lintas partai tak menguntungkan bagi Anas, kecuali target Anas memang hanya menyerang Yudhoyono.
Akhirnya, perjalanan politik Anas sangat bergantung pada proses hukum di KPK. Jika ia tak terbukti bersalah, karier politiknya baru menempuh sang fajar. Namun, jika sebaliknya, perjalanan politik Anas boleh jadi kian redup karena telah mendaki senjakala. Sejarah pun akan mencatat siapa yang membenamkan karier politik Anas sesungguhnya. Apakah integritas dirinya sendiri atau faktor di luar dirinya akibat menjadi "matahari" pada waktu dan tempat yang kurang tepat, atau justru kedua momentum bertemu dan berkelindan?
*) Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo