Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kembalinya isu “dinasti” dalam dunia politik Indonesia mengingatkan kembali pada perbincangan tentang geometri politik. Konteks geometri adalah politik kewilayahan, dalam arti bagaimana faktor wilayah menentukan, bahkan lebih menentukan daripada faktor ideologi, dalam pertimbangan politik. Isu “dinasti” dilontarkan karena anak dan menantu Presiden terjun ke dunia politik, gejala klasik yang dibarukan sebagai kibul penjualan berita. Namun, geometri politik terhubung bukan karena faktor kekerabatannya, melainkan poros wilayah Medan-Jakarta-Solo yang terbentuk karena domisili bapak, anak, dan menantu.
Geometri politik adalah lingkar-lingkar politis tetangga suatu negeri yang dalam Artha??stra (Ilmu Politik, Kautilya, 2-3 SM) disebut ma??ala. Inggris, yang menyerap pengetahuan ini dari India, pernah menerapkannya dalam permainan keseimbangan wilayah (game of weights and counterweights) di Eropa. Saat Louis XIV (1683-1715) mengganggu kesetimbangan politik Eropa, dengan menempatkan cucunya di singgasana Spanyol, maka Inggris bersekutu dengan Belanda, sejumlah negara bagian Jerman, Portugal, Denmark, dan Puri Habsburg, yang menyulut Perang Suksesi Spanyol (1701-14) untuk melawan bangkitnya kekuatan Prancis itu.
Formula Hindu ini menata aliansi dan koalisi berdasarkan pola lingkar-lingkar konsentris alami lawan dan sekutu. Raja, katakanlah begitu, akan menempatkan dirinya di pusat lingkaran yang dikelilingi lingkar-lingkar alamiah lawan dan sekutu: lawan-lawannya justru berada pada lingkar pertama, tetangga-tetangga terdekatnya; pada lingkar kedualah sekutu alamiahnya, yakni para raja di belakang tetangga-tetangganya, yang akan mengancam lawan-lawan itu sebagai tetangga. Di baliknya ada lingkar bahaya yang lebih jauh, bisa menjadi pemasok kekuatan siap pakai bagi lawan.
Mengandaikan setiap kerajaan memiliki ma??ala-nya masing-masing, dengan setiap lingkar terbagi-bagi dalam permusuhan alamiah bersama, mesti dipahami keberadaannya sebagai tempat ketegangan dan persilangan-ketegangan yang kompleks. Suatu rencana pengepungan bersama akan diarahkan, dipertimbangkan, lantas digunakan sebagai dasar tindakan. Ini menggambarkan secara tepat dan mewujudkan keseimbangan tertentu maupun ketegangan daya-daya alamiah, seperti juga mengompori tersebarnya konflik yang meledak secara berkala.
Diandaikan sebagai prinsip sosial universal yang hadir dengan sendirinya adalah kecenderungan alami tetangga untuk menjadi tidak bersahabat, iri, dan agresif, masing-masing menanti saat kejutan dan serangan terselubung. Bukan hanya dari anak benua India ke benua Eropa, geometri politik ini dapat diterapkan, dengan sedikit penyesuaian, pada hampir semua kejadian historis (Zimmer, 1956: 113-6).
Dalam fenomena “dinasti” di Indonesia, apakah poros wilayahnya dapat diperiksa dalam konteks lingkar-lingkar konsentris geometri politik? Tentu bisa. Sejarah politik Nusantara juga perlu ditengok dalam pendekatan ini karena Artha??stra terlalu tua untuk tidak dikenal, setidaknya terterapkan sejak kerajaan-kerajaan Hindu yang bermula pada abad ke-4, Kutai dan Tarumanegara, sampai abad ke-15 ketika Kerajaan Majapahit berakhir. Bertahannya lakon-lakon wayang setelah masuknya Islam, dengan wacana politik yang diturunkan dari Mah?bh?rata dan R?m?yana, menjadi bukti berlangsungnya proses negosiasi kebudayaan sehingga pola geometrik Artha??stra tetap hadir dalam ketaksadaran para politikus dengan latar belakang kebudayaan Nusantara.
Argumen atas ketaksadaran terujuk kepada pengetahuan: (1) isi psike yang sadar dan yang tak-sadar saling berhubungan, dan bahwa isi ketaksadaran pikiran berlaku seakan-akan mereka sadar (Jung, 1986: 56-7); (2) ma??ala adalah lambang paling istimewa dari self, mengungkap fakta bahwa terdapat satu pusat dan satu batas luar keliling yang merangkum seluruhnya, dengan self—bukan ego—sebagai pusatnya (Jung melalui Cremers, 1986: 65).
Namun, yang membuat waswas adalah kiat lanjutan dalam geometri politik, seperti Tujuh Jalan Pendekatan kepada Tetangga berikut: (1) S?man, yakni konsiliasi atau negosiasi; (2) Da??a, serangan, benar maupun salah; (3) D?na, donasi, yang dalam politik bisa jadi penyuapan; (4) Bheda, memecah belah dan menguasai; (5) M?y?, penampilan ilusi, tipuan; (6) Upek??, pembiaran (atas kejahatan) karena tak mau terlibat; (7) Indraj?la, penyesatan dengan teknik sulap dalam perang, menampilkan sesuatu yang tidak ada, seperti gejala post-truth. Mendahului Machiavelli, disebutkan dalam Mah?bh?rata Buku XII: "Dua jenis kearifan, lurus maupun bengkok, mesti termasuk dalam 'panggilan' seorang raja." (Zimmer, 1956: 123).
Mengingat bahwa berbuat sebaik mungkin hanyalah trik di papan catur ma??ala, siapa pun yang cukup naif untuk beriman kepada keluhuran politik mesti siap geleng-geleng kepala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini