DALAM laporannya yang disampaikan kepada Kongres Rakyat Nasional
yang Keempat Januari 1975, mendiang Chou En-lai menguraikan
secara terperinci program pembangunan ekonomi nasional RRT yang
bertahap dua.
Dalam tahap pertama hendaknya dibangun suatu "sistim
perekonomian dan perindustrian yang independen dan menyeluruh"
pada tahun 1980. Dalam tahap kedua hendaknya dilaksanakan
'modernisasi yang menyeluruh dari pertanian, perindustrian, ilmu
dan teknologi, dan pertahanan, sehingga pada tahun 2000 ekonomi
nasional RRT dapat maju sampai barisan terdepan di dunia.'
Dengan munculnya Teng Hsiao-ping sebagai arsitek pembangunan
ekonomi RRT, dapat diperkirakan bahwa segala sumber daya
nasional RRT akan dikerahkan untuk mencapai sasaran yang
dikemukakan dalam cetakan-biru Chou En-lai tadi. Kecuali, jika
nanti terjadi lagi kekacauan politik besar, seperti yang terjadi
selama Revolusi Kebudayaan (1966-69).
Keberhasilan RRT dalam mencapai sasaran itu akan punya implikasi
besar bagi perimbangan kekuatan politik dan ekonomi di dunia,
dan terutama di kawasan Asia. Maka baik juga kita amati sampai
seberapa jauh RRT mampu untuk melaksanakan program pembangunan
nasional jangka menengah dan jangka panjang itu. Untuk itu ada
baiknya ditinjau dulu perkembangan perekonomian RRT di waktu
lalu serta potensi perkembangan di masa depan. Baik juga dilihat
hambatan terbesar yang akan dihadapinya dalam perkembangan
tersebut.
Prioritas Pada Industri Barang Modal
Meskipun perkembangan perekonomian RRT selama dua dasawarsa yang
baru lalu mengalami pasang-surut, namun pada umumnya negara ini
berhasil dalam meningkatkan tingkat hidup penduduk. Menurut
laporan Bank Dunia, selama kurun waktu 1960-1975 laju kenaikan
riil GNP per kapita RRT rata-rata adalah 5.270 setahun. Dengan
laju pertumbuhan penduduk yang sedikit kurang dari 2 persen
setahun, hal ini berarti bahwa laju pertumbuhan perekonomian
berkisar sekitar 7 persen setahun.
Pertumbuhan itu dapat dikatakan cukup pesat, seperti pertumbuhan
perekonomian ASEAN -- meskipun tidak menakjubkan seperti Taiwan
atau Korea Selatan.
Di samping itu pertumbuhan industri berjalan dengan lebih pesat
lagi, rata-rata dengan 13% setahum Berarti, tingkat produksi
sektor industri berlipat ganda setiap lima tahun. Berhubung
dengan prioritas tinggi yang sejak semula diberikan kepada
industri barang modal, maka industri ini bertumbuh dengan lebih
pesat lagi. Terutama industri mesin, energi dan metalurgi. Pada
tahun 1974, lebih dari 60% dari seluruh produksi industri
terdiri atas barang modal.
Dengan memprioritaskan industri barang modal, ada kelambatan di
sektor transpor dan sektor pertanian. Baru setelah krisis
pertanian antara tahun 1959 dan 1962 akibat gagalnya program
Lompatan Jauh Ke depan, diberikan prioritas yang lebih tinggi
pada sektor pertanian.
Namun hal ini tidak tercermin pada pertumbuhan sektor pertanian
yang pesat. Antara tahun 1964-1974, produksi gandum dan beras
rata-rata hanya bertambah dengan kurang dari 3 persen setahun,
sehingga terpaksa mengimpor gandum dari luar negeri, terutama
dari Kanada dan Australia.
Dengan pertumbuhan penduduk yang berkisar sekitar 2 persen
setahun, RRT perlu mencapai laju pertumbuhan sektor pertanian
yang melebihi 2% setahun. Menurut prof. Dernberger dari
Universitas Michigan faktor atau hambatan terpenting yang akan
menentukan perkembangan perekonomian RRT dalam 15 tahun
mendatang adalah kemampuannya untuk meningkatkan produksi
pertanian yang melebihi 2% setahun. Jika RRT tidak berhasil,
harapan untuk pertumbuhan perekonomian yang pesat serta tingkat
hidup yang lebih tinggi sukar terpenuhi.
Dengan relatif terbatasnya luas tanah yang dapat digarap untuk
pertanian (15% dari luas seluruh wilayah RRT, yang praktis
seluruhnya sudah digarap), peningkatan produksi pertanian hanya
dapat dilakukan melalui usaha intensifikasi. Misalnya melalui
peningkatan penanaman rangkap, mekanisasi, penambahan pemakaian
pupuk, dan perbaikan serta perluasan irigasi.
Pembiayaan Impor
Namun usaha intensifikasi ini pada suatu ketika akan mengalami
tambahan hasil yang makin berkurang diminishing retumsl Maka,
pada saat ini agak sukar untuk membayangkan bahwa RRT dalam
dasawarsa mendatang dapat mencapai pertumbuhan sekitar pertanian
yang melebihi 2% setahun. Kecuali, jika nanti negara ini dapat
mencapai "break through" dalam usahanya meningkatkan
produktivitas pertanian. Ikhtiar ke sana antara lain dicoba
secara terbatas dengan pendirian Komun percontohan Tachai.
Faktor lain yang merupakan hambatan besar bagi pertumbuhan
ekonomi yang pesat adalah kemampuannya untuk membiayai impor
besar-besaran. Impor itu terdiri dari barang modal bahkan pabrik
yang lengkap, yang diperlukan untuk pertumbuhan pesat. Juga
bahan makanan atau bahan baku yang tidak terdapat di RRT tentu
saja harus diimpor. Namun berhubung dengan usahanya meningkatkan
tingkat hidup rakyat banyak, kemampuan ekspor RRT -- berupa
hasil pertanian, bahan mentah (termasuk minyak bumi) serta
barang konsumsi -- terbatas sekali.
Sebenarnya tekanan atas neraca pembayaran RRT ini dapat diatasi
dengan mengadakan pinjaman jangka panjang di luar negeri, untuk
membiayai kebutuhan impor. Namun ini akan memerlukan suatu
perobahan besar dalam kebijaksanaan ekonomi RRT yang hingga saat
ini masih mementingkan berdikari. Kebijaksanaan berdikari ini
memungkinkan pembayaran yang ditangguhkan (deferred payments)
atau kredit dari pihak penjual (suppliers' credit) atas dasar
jangka pendek (maksimum lima tahun), tetapi bukan pinjaman
jangka panjang.
Dengan memperhatikan kedua faktor penghambat terpenting tadi,
dapat diperkirakan bahwa perekonomian RRT dalam 15 tahun nanti
akan bertumbuh secara mantap dengan laju pertumbuhan yang
setinggi 5% sampai 6% kecuali jika terjadi lagi gejolak politik
seperti dalam masa yang lampau. Namun pertumbuhan ini belum akan
dapat menyamai pertumbuhan pesat Taiwan dan Korea Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini