Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sekarang Pukat Langgei

Nelayan Asahan digelisahkan pukat Langgei yang dimodernisasi karena tak kalah ganas dari pada pukat harimau dalam mengeruk hasil laut.

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASYARAKAT nelayan di Kabupaten Asahan Sumatera Utara kembali resah 4 bulan terakhir. Setelah pukat harimau ditertibkan, muncul pukat langgei. Ini semacam tangguk, yang biasa dipasang nelayan di haluan sampan, kiri-kanan. Jadi alat penangkap ikan tradisionil juga. Tapi pukat langgei yang muncul belakangan dalam kata-kata nelayan tradisionil, "sudah modern". Tak kalah buas dibanding pukat harimau. Meskipun ganas juga, tapi karena masih menyandang sebutan tradisionil, langgei tak dikutuk. Dan ia bebas mengeruk isi laut. Setelah keluar SK Gubernur Sumatera Utara No 848 tahun 1977 tentang larangan operasi kapal pukat harimau di bawah 10 ton, di Asahan rak kurang dari 140 kapal pukat harimau tidak berani lagi turun ke laut. Selain langgei untuk melengkapi sarana produksi hasil laut pemerintah daerah berusaha memotorisasikan perahu nelayan 'pribumi'. Caranya lewat kredit BUUD. Sampai Nopember lalu sudah 60 perahu penjaring udang ditempeli motor. Kemampuan kerjanya jauh di bawah pukat harimau. Jika satu pukat harimau mampu mengeduk 100 sampai 300 kg udang per hari, perahu nelayan tradisionil bermotor hanya 50 sampai 100 kg tiap perahu per hari. Selain perahu motor dan langgei ada pula ambai. Yakni sejenis alat penangkap ikan yang pasif sifatnya. Menurut Ruslan Keneng, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Asahan, sebelum pukat harimau ditertibkan jumlah ambai merosot dari waktu ke waktu. Belakangan meningkat lagi. Nopember lalu di kuala Sungai Asahan tercatat sekitar 400. Hasilnya juga tidak seberapa. Satu ambai sehari dikabarkan di bawah 50 kg. Namun produksi ikan laut di Asahan naik terus. Kwartal pertama tahun lalu 11.339, kwartal pertama tahun ini 12.645 ton. Menurut L. Hutagalung, Kepala Dinas Perikanan Asahan hasil nelayan tradisionil memang terus meningkat. Namun dia sendiri heran. Sebab berdasarkan data alat penangkap ikan yang tercatat di kantornya sampai Nopember kemarin, produksi keseluruhan harusnya menurun. Karena jumlah pukat harimau sudah berkurang. Ruslan Keneng sebaliknya menganggap kenaikan produksi itu wajar. Sebab banyak bekas tauke pukat harimau kini memodernisir pukat langgei. Lagi pula dikabarkan ada sejumlah kapal penangkap ikan yang memasang langgei di haluan dan pukat harimau di buritan sekaligus. "Langgei itu liar," Hutagalung menanggapi. Bakal ditangkap? "Itu urusan Kamla." Kamla Kamla (Keamanan Laut) satu instansi di bawah TNI-AL, tidak diam. Menurut Kapten (L) AA Oka dari Satuan Tugas Kamla, sudah dibentuk satu tim untuk menangani soal pukat langgei itu. Dan tim itu Nopember kemarin turun ke Sanjung Leidong dan Sungai Berombang di Kabupaten Labuhan Batu. Sebab di sanalah disinyalir kapal pukat langgei berpangkalan. Hasilnya, "nanti akan kita umumkan," Oka menjelaskan. Di luar itu sebenarnya masyarakat nelayan Asahan juga kesal terhadap proyek Tempat Pendaratan Ikan yang sudah selesai dibangun September tahun lalu. Biayanya Rp 56 juta. Ternyata, bila air pasang, TPI itu terendam. Sebaliknya bila surut jauh terpisah. Jadi sulit buat perahu bertambat. Mubazirlah, kira-kira.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus