MASYARAKAT nelayan di Kabupaten Asahan Sumatera Utara kembali
resah 4 bulan terakhir. Setelah pukat harimau ditertibkan,
muncul pukat langgei. Ini semacam tangguk, yang biasa dipasang
nelayan di haluan sampan, kiri-kanan. Jadi alat penangkap ikan
tradisionil juga.
Tapi pukat langgei yang muncul belakangan dalam kata-kata
nelayan tradisionil, "sudah modern". Tak kalah buas dibanding
pukat harimau. Meskipun ganas juga, tapi karena masih menyandang
sebutan tradisionil, langgei tak dikutuk. Dan ia bebas mengeruk
isi laut.
Setelah keluar SK Gubernur Sumatera Utara No 848 tahun 1977
tentang larangan operasi kapal pukat harimau di bawah 10 ton, di
Asahan rak kurang dari 140 kapal pukat harimau tidak berani lagi
turun ke laut. Selain langgei untuk melengkapi sarana produksi
hasil laut pemerintah daerah berusaha memotorisasikan perahu
nelayan 'pribumi'. Caranya lewat kredit BUUD.
Sampai Nopember lalu sudah 60 perahu penjaring udang ditempeli
motor. Kemampuan kerjanya jauh di bawah pukat harimau. Jika satu
pukat harimau mampu mengeduk 100 sampai 300 kg udang per hari,
perahu nelayan tradisionil bermotor hanya 50 sampai 100 kg tiap
perahu per hari.
Selain perahu motor dan langgei ada pula ambai. Yakni sejenis
alat penangkap ikan yang pasif sifatnya. Menurut Ruslan Keneng,
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Asahan, sebelum
pukat harimau ditertibkan jumlah ambai merosot dari waktu ke
waktu. Belakangan meningkat lagi. Nopember lalu di kuala Sungai
Asahan tercatat sekitar 400. Hasilnya juga tidak seberapa. Satu
ambai sehari dikabarkan di bawah 50 kg.
Namun produksi ikan laut di Asahan naik terus. Kwartal pertama
tahun lalu 11.339, kwartal pertama tahun ini 12.645 ton. Menurut
L. Hutagalung, Kepala Dinas Perikanan Asahan hasil nelayan
tradisionil memang terus meningkat. Namun dia sendiri heran.
Sebab berdasarkan data alat penangkap ikan yang tercatat di
kantornya sampai Nopember kemarin, produksi keseluruhan harusnya
menurun. Karena jumlah pukat harimau sudah berkurang.
Ruslan Keneng sebaliknya menganggap kenaikan produksi itu wajar.
Sebab banyak bekas tauke pukat harimau kini memodernisir pukat
langgei. Lagi pula dikabarkan ada sejumlah kapal penangkap ikan
yang memasang langgei di haluan dan pukat harimau di buritan
sekaligus.
"Langgei itu liar," Hutagalung menanggapi. Bakal ditangkap? "Itu
urusan Kamla."
Kamla
Kamla (Keamanan Laut) satu instansi di bawah TNI-AL, tidak
diam. Menurut Kapten (L) AA Oka dari Satuan Tugas Kamla, sudah
dibentuk satu tim untuk menangani soal pukat langgei itu. Dan
tim itu Nopember kemarin turun ke Sanjung Leidong dan Sungai
Berombang di Kabupaten Labuhan Batu. Sebab di sanalah disinyalir
kapal pukat langgei berpangkalan. Hasilnya, "nanti akan kita
umumkan," Oka menjelaskan.
Di luar itu sebenarnya masyarakat nelayan Asahan juga kesal
terhadap proyek Tempat Pendaratan Ikan yang sudah selesai
dibangun September tahun lalu. Biayanya Rp 56 juta. Ternyata,
bila air pasang, TPI itu terendam. Sebaliknya bila surut jauh
terpisah. Jadi sulit buat perahu bertambat. Mubazirlah,
kira-kira.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini