Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CURAH hujan tinggi selama sebulan terakhir bolak-balik merendam Bandung dalam air bah: rekor banjir terparah di ibu kota Provinsi Jawa Barat itu selama satu dekade terakhir. Jalan Pasteur, jalur utama akses Bandung dari Jakarta dan pantai utara, lumpuh total tatkala air Sungai Citepus meluap ke lebuh.
Pasteur hanya satu dari 20 titik di kota itu yang dibenamkan banjir besar sejak Oktober lalu. Minimal ada dua proses hidrologis yang gagal dalam banjir Bandung. Pertama, tanah tak mampu menyerap luapan air. Kedua, aliran banjir tak cukup mendapat "penampung" seperti sungai, situ, dan jaringan drainase.
Sungai di Bandung umumnya dangkal dan sempit oleh sampah dan sedimentasi. Drainase tumpat. Ribuan kubik air pun meluap dari gorong-gorong, menyerbu badan jalan hingga tempat tinggal penduduk. Kondisi kian rentan karena beberapa situ telah tamat riwayatnya. Padahal, di masa silam, telaga-telaga ini amat bermanfaat mencegah banjir di Bandung.
Buruknya infrastruktur sebetulnya hanya satu aspek. Ada soal lebih kompleks di hulu: alih fungsi serta kerusakan masif di Kawasan Bandung Utara. Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 menetapkan kawasan ini sebagai hutan lindung. Areanya melingkupi Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Peraturan pemerintah daerah Jawa Barat itu kemudian diperkuat keputusan menteri hingga keputusan presiden.
Fungsi Kawasan Bandung Utara adalah melindungi kawasan di bawahnya, yakni Cekungan Bandung, yang meliputi ibu kota Provinsi Jawa Barat dan sekitarnya. Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda menegaskan, tak semua wilayah ini dapat dikembangkan menjadi kawasan ekonomi atau budi daya. Pada 1965-an, 70 persen lebih Kawasan Bandung Utara menjadi hutan peresap air. Kini tak sampai 30 persen area yang menanggung fungsi tersebut, karena wilayah itu sudah penuh dengan hotel, restoran, dan rumah peristirahatan pribadi—bahkan industri.
Kerusakan masif itu membuat kawasan utara tersebut tak lagi mampu menjadi pelindung wilayah di bawahnya. Maka harus ada kemauan politik kuat dari para pemimpin daerah setempat untuk mendahulukan kebijakan pro-lingkungan hidup, dan tidak berkutat dalam urusan ekonomi belaka. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil perlu memperkuat pembangunan infrastruktur substansial guna mengamankan kotanya dari banjir. Mempersolek wajah Bandung tentu boleh saja melalui aneka taman dan air mancur. Tapi pastikan dulu Bandung punya kecukupan sarana meredam banjir.
Ada beberapa langkah yang bisa disegerakan. Misalnya melakukan audit lingkungan hidup, menghentikan pembangunan sarana komersial di Bandung Utara, melibatkan warga kota membuat sumur resapan. Siapkan drainase ramah lingkungan, perbanyak kantong air. Melaksanakan hal ini, Ridwan harus bersiap dengan setidaknya membuat peta jalan pengendalian banjir terpadu dan komprehensif. Libatkan para pemangku kepentingan dari semua wilayah terkait sehingga ada integrasi program.
Pekan lalu, lima kepala daerah Bandung Raya berkumpul dan menandatangani nota kesepahaman untuk menangani banjir. Tugas Ridwan dan rekan-rekannya adalah memastikan nota kesepahaman itu berlanjut dalam langkah nyata—tak hanya berakhir di laci meja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo