Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOM Samarinda dalam waktu seketika menyampaikan pesan lugas kepada kita: radikalisme belum mati. Setelah pelakunya tertangkap, muncul pesan kedua: deradikalisasi tampaknya sekadar basa-basi. Juhanda, pelempar "bom sabun" yang menewaskan seorang anak perempuan itu, ternyata bukan pemain baru.
Lima tahun lalu, Juhanda pelaku teror bom di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Serpong, Tangerang Selatan. Sebulan kemudian, polisi menangkap dia dalam peristiwa teror buku di Peukan Bada, Aceh Besar. Ia divonis tiga setengah tahun penjara, tapi bebas bersyarat berkat remisi Idul Fitri 2014. Setelah itu, tampaknya, ia sama sekali bebas dari pemantauan petugas keamanan.
Sama sekali tak jelas, ada berapa "juhanda" berkeliaran bebas di sekitar kita. Mereka merupakan "bom berjalan" yang siap meledak sewaktu-waktu, bergantung pada pemicunya. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sedang menyusun data mengenai sekitar 400 orang eks narapidana terorisme. Angka ini menyiratkan potensi ancaman yang sungguh tak bisa disepelekan.
Situasinya bertambah pelik karena BNPT tidak berwenang memantau bekas terpidana kasus terorisme. Lembaga ini dibatasi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme, yang tidak mengatur ihwal "pemantauan". Karena itu, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk merevisi undang-undang ini sehingga menjadi lebih mangkus dan sangkil.
Sebelum revisi undang-undang itu menjadi kenyataan, perlu upaya ekstraserius membenahi apa yang selama ini disebut sebagai "program deradikalisasi". Program ini tak mudah dijalankan pemerintah. Di lembaga pemasyarakatan terdapat berbagai kendala, terutama sangat terbatasnya pengetahuan para pegawai penjara tentang agama dan ideologi. Bahkan, setelah bergaul dengan narapidana kasus terorisme, beberapa petugas pemasyarakatan berubah radikal.
Program deradikalisasi pun kerap terbentur urusan koordinasi antar-kementerian yang tidak berjalan mulus. Tugas yang diemban BNPT ini melibatkan belasan kementerian, dari Kementerian Hukum hingga Kementerian Agama. Kerja sama perlu dibenahi lantaran tiap kementerian cenderung membikin program sendiri dan kurang sinergis.
Sampai saat ini, sebetulnya, "program deradikalisasi" tidak sepenuhnya terang-benderang. Di sana-sini, program itu malah tumpang-tindih dengan operasi intelijen. Memang ada cerita tentang narapidana terorisme Umar Patek, yang mau menjadi pengibar bendera di Lembaga Pemasyarakatan Porong, Jawa Timur. Tapi, kalau itu dijadikan ukuran tentang berhasilnya deradikalisasi, rasanya masih jauh panggang dari api.
Deradikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan adalah satu hal, tapi deradikalisasi "di luar" lembaga pemasyarakatan tak kalah mustahak. Kecenderungan memaksakan kehendak, menggunakan tekanan "massa", dan membangkitkan sentimen sektarian, seperti yang terlihat belakangan ini, juga tak kalah penting diwaspadai. Untuk pemerintah, membuka ruang toleransi bagi kecenderungan ini sama artinya dengan bunuh diri.
Karena itu, pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa peledakan bom (Samarinda) di luar batas patut dipertanyakan. Adakah "batas" toleransi untuk tindakan radikalisme dan fanatisme? Adakah batas toleransi untuk tindakan yang mengancam demokrasi dan kebinekaan Indonesia? Presiden seyogianya ingat, sekali "batas toleransi" itu dibuka, negara sedang mempertaruhkan masa depannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo