Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Hukum Vs Aksi Jalanan

21 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSAN polisi menetapkan status tersangka pada Basuki Tjahaja Purnama menunjukkan hukum di Indonesia telah tunduk kepada tekanan massa. Hari-hari ini kita menyaksikan tatanan hukum goyah dan demokrasi terancam. Sulit untuk mengatakan penetapan tersangka itu murni berdasarkan pertimbangan hukum.

Ahok menjadi tersangka atas tudingan menista Al-Quran. Ucapannya yang menyitir Surat Al-Maidah ayat 51 dalam pidato di Kepulauan Seribu pada September lalu memancing gejolak yang memuncak menjadi aksi massa besar-besaran pada 4 November. Aksi menuntut Ahok dipenjarakan itu direspons polisi dengan memeriksa sang inkumben dan sejumlah saksi serta bukti video. Hasilnya, meski tak bersuara bulat, penyidik menetapkan Ahok sebagai tersangka.

Sepintas, ini tampak sebagai proses hukum yang wajar. Ada laporan, ada dugaan tindak pidana, lalu polisi bertindak. Yang tak biasa adalah kesan kuat bahwa polisi memaksakan status itu untuk meredam kemarahan massa.

Demo yang diikuti ratusan ribu orang itu—disebut-sebut sebagai aksi massa terbesar setelah Mei 1998—dari sisi jumlah memang menggetarkan. Mereka bergerak antara lain didorong oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang menyebutkan Ahok melakukan penistaan agama. Tudingan ini persis sama dengan yang dikatakan organisasi-organisasi Islam seperti Front Pembela Islam.

Sulit dipercaya motif pendemo hanya semata karena tersinggung oleh ucapan Ahok. Ada spekulasi yang menyebutkan sebagian dari mereka ingin menjegal pencalonan Ahok atau bahkan menjatuhkan Presiden Jokowi. Sebagian lagi, demikian dikatakan Kepala Kepolisian RI, ingin mengganti Pancasila dengan sistem kekhalifahan.

Penetapan Ahok sebagai tersangka dengan demikian ditujukan untuk memisahkan pendemo yang tersinggung dan mereka yang punya motif lain. Dengan status itu, diharapkan massa yang merasa agamanya dinistakan tak akan lagi berunjuk rasa. Jika demo besar tetap dilakukan—disebut-sebut akan berlangsung pada 25 November atau 2 Desember nanti—pelakunya bisa diidentifikasikan sebagai kumpulan pemain politik saja.

Jika analisis ini bisa diterima, situasi hukum kita sungguh memprihatinkan kalau tak bisa disebut berbahaya. Hukum telah menjadi bagian dari negosiasi politik. Kondisi ini akan menjadi preseden buruk. Keputusan polisi bahkan ketetapan pengadilan bisa ditentukan oleh banyaknya orang yang turun ke jalan. Pada era digital ini, kerumunan itu bahkan dapat diukur dengan banyaknya "like" di media sosial. Hari ini Ahok yang menjadi korban, esok lusa entah siapa lagi. Kerumunan hendaknya tidak dilawan dengan kerumunan. Akal sehat harus dipakai. Mobocracy, istilah untuk demokrasi yang ditentukan kerumunan massa, harus dihentikan.

Alih-alih menggelar demo tandingan, Ahok semestinya melawan penetapan itu dengan mengajukan gugatan praperadilan. Melalui gugatan ini, status tersangka bisa diuji dengan terbuka. Menggelar aksi tandingan, selain memunculkan ketegangan baru, akan melahirkan kesan adanya upaya melawan massa dengan massa. "Perang" itu tentu tak baik, selain dapat menjustifikasi pendapat sempit yang menyebutkan Ahok mendapat keuntungan elektoral atas sengkarut ini. Harus diakui, di tengah elektabilitasnya yang terus merosot, isu kemajemukan merupakan materi kampanye yang efektif.

Kita berharap polisi, jaksa, dan hakim bersikap profesional. Penyidikan kasus Ahok mesti berlangsung transparan. Pengadilan kelak harus berlangsung jujur dan terbuka. Apa pun yang diputuskan hakim harus diterima dengan lapang dada. Panjangnya proses pengadilan hendaknya tidak membuat hak-hak Ahok sebagai kandidat gubernur dicederai. Undang-undang mengatur, hingga putusannya berkekuatan hukum tetap, Ahok tetap diizinkan berlaga.

Kasus Ahok ini merupakan ujian serius terhadap kematangan kita sebagai bangsa. Konstitusi menjamin setiap orang, apa pun agama, suku, dan keturunannya, memiliki hak yang sama. Menolak Ahok karena ia Tionghoa dan nonmuslim hanya menjadikan Indonesia bangsa yang minim adab.

Menolak Ahok menjadi gubernur hanya bisa dilakukan dengan tidak memilihnya pada hari pencoblosan nanti. Biarlah pemilih Jakarta yang memutuskan apakah dia layak atau tidak memimpin Ibu Kota. Cara ini jauh lebih bermartabat ketimbang memainkan isu agama dan ras untuk membuatnya kalah.

Itulah ujian bagi kita untuk mempertahankan tatanan negara serta menjaga sendi-sendi hukum dan demokrasi, bahwa negara dibangun tidak dengan semangat memberangus minoritas. Siapa pun di republik ini memiliki hak dan peluang yang sama. Jika kita gagal melalui ujian ini, artinya kita telah gagal mempertahankan konstitusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus