Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPINTAS lalu, ini peristiwa kecil belaka, sedikitnya 42 truk dan beberapa bus pariwisata di Jakarta dan Depok mogok. Tapi di baliknya ternyata ada masalah besar: mesin kendaraan itu soak akibat bahan bakar solar dioplos dengan air.
Perbuatan kriminal ini harus segera dihentikan sebelum terjadi kerusakan lebih luas. Polisi memang telah menemukan tangki solar berkapasitas 80 ton bercampur lima ton air di pompa bensin Cilincing, Jakarta Utara, tapi polisi tidak boleh berhenti di Cilincing. Kejahatan begini, yang sudah lama terdengar, sangat mungkin terjadi di tempat-tempat lain.
Si pengoplos wajib dihukum. Perbuatan mereka membahayakan keselamatan konsumen, juga menggerus kepercayaan konsumen kepada Pertamina, perusahaan yang bertanggung jawab atas distribusi bahan bakar ke seluruh pelosok Indonesia. Apa boleh buat, perusahaan milik negara itulah yang sekarang dituntut memulihkan kepercayaan konsumennya yang khawatir akan buruknya mutu solar di pasar.
Peristiwa solar berair ini semakin keruh lantaran terjadi seiring dengan rangkaian unjuk rasa awak mobil tangki, para sopir truk rekanan Pertamina. Sebagai pemain utama di jalur distribusi, Pertamina tak boleh menunda penyelesaian masalah hubungan kerja dengan ujung tombak peredaran minyak dan gas itu.
Kasus solar oplosan juga membawa sinyal penting: pemerintah perlu melakukan evaluasi atas sektor distribusi bahan bakar. Selama ini memang Pertamina yang menjadi pemain terbesar di hilir, melalui Pertamina Patra Niaga—dulu bernama PT Elnusa Harapan. Perusahaan inilah yang menyalurkan bahan bakar dari Sabang sampai Merauke. Seperti layaknya bisnis yang hanya dikuasai pemain utama, kompetisi menjadi longgar. Kualitas layanan konsumen kerap kurang terjaga. Pompa bensin sering kosong lantaran pengiriman terlambat, terutama di luar Jawa.
Tudingan bahwa Pertamina melakukan praktek monopoli tidak tepat. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, memang Pertamina menanggung mandat menjaga ketersediaan bahan bakar minyak di seantero negeri. Namun, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebetulnya pintu bagi pemain swasta di sektor distribusi telah dibuka lebar.
Peminat berdatangan. Tak kurang dari 200 perusahaan swasta yang mendaftar memasuki sektor distribusi. Namun, menurut laman Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi, hanya Pertamina yang sanggup menjaga peran distribusi bahan bakar minyak ke seluruh penjuru negeri. Ternyata banyak "penghalang masuk" (entry barrier) bagi pemain baru di sektor hilir migas. Tidak mudah memastikan bahan bakar mengalir dari hulu—dari eksplorasi di kilang—sampai tersedia di pompa bensin di kota dan desa serta pulau-pulau terpencil. Sebagian jalur distribusi, misalnya Papua, pun harus dijangkau dengan mengucurkan subsidi.
Tak hanya membutuhkan investasi mahal, distribusi minyak dan gas bumi juga berisiko. Pada 2010-2014, empat kapal tanker Pertamina terbakar saat mengirim bahan bakar minyak. Padahal, untuk pengadaan kapal saja, pada 2013 dan 2014, Pertamina menanam investasi Rp 2,4 triliun.
Situasi yang kompleks inilah yang harus dibereskan Pertamina serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar sebagai Wakil Komisaris Utama Pertamina diharapkan menjadikan urusan ini sebagai prioritas kerja. Selain menyehatkan iklim bisnis migas, Arcandra mesti ikut aktif mengawal kepentingan publik dengan menjaga distribusi dan memastikan solar oplosan tidak beredar lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo