Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kolom otto soemarwoto: cagar alam berisi alang-alang

2 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membaca tulisan Prof. Otto Soemarwoto mengenai masalah hutan tropis dan pemanasan global (TEMPO, 22 November dan 8 Desember 1990, Kolom) membuat kepala saya kebingungan. Angka-angka yang disajikan dan pengalaman yang saya temukan di lapangan, terus terang, membuat saya pusing tujuh keliling. Soalnya, saya bukan ahli hitung-menghitung emisi CO 2 ke udara. Saya juga bukan ahli mengenai pemanasan global. Pak Otto mengatakan bahwa hutan kita masih bisa dibuka. Lalu, ia berteori bahwa kita harus mengatur penggunaan hutan: mana yang untuk pertanian, mana yang untuk pengambilan kayu, dan mana yang untuk taman nasional atau cagar alam. Saya rasa ini mimpi setiap orang Indonesia. Mengelola hutannya secara lestari sepanjang masa, di atas kertas, memang ideal. Tapi kenyataannya, Pak? Saya, yang sejak kecil senang jalan-jalan masuk dan keluar hutan, dari desa ke desa, dan ke tempat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan tranportasi umum. Dalam perjalanan itu, saya bingung: banyak tempat-tempat yang saya temui mempunyai tapal batas dengan tanda "Dilarang Masuk, Cagar Alam", tapi kok hutannya tidak ada. Yang ada justru alang-alang. Kalau kita naik bis di Jawa Timur, sebelum Banyuwangi, ada tulisan: "Dilarang Masuk, Hutan Milik Negara", tetapi yang ada hanya alang-alang. Hal seperti itu banyak saya temui di Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Sumatera. Saya ke Irian, treking di pegunungan tengah. Menurut peta, saya berada di kawasan Taman Nasional Lorentz, tapi dalam peta penambangan milik sebuah perusahaan pertambangan di sana, kawasan Cagar Alam ini merupakan daerah konsesi mereka. Di Kalimantan Barat, sebuah cagar alam, SK-nya diubah dan diberikan kepada pengusaha HPH. Saya bertanya kepada PHPA, mereka bingung menjawab pertanyaan saya, karena tidak tahu. Kenapa suatu daerah yang sudah ditetapkan fungsinya tiba-tiba diubah menjadi fungsi yang lain? Seorang teman dari Aceh membawa slide tentang HPH dan kerusakan hutan di sana. Masyaallah, jalan umum menjadi tempat penumpukan kayu. Ia menceritakan keadaan Taman Nasional Leuser yang, katanya, terbesar di Asia. Di situ, puluhan perusahaan penebangan kayu liar dan "resmi" beroperasi di sana, bahkan jauh di dalam batas Taman Nasional Leuser. Hampir setiap musim hujan, laporan tentang banjir di mana- mana dapat dibaca di koran. Lampung, misalnya, mengalami banjir yang paling besar dalam puluhan tahun terakhir ini. Begitu pula daerah lain. Belum lagi tanah longsor, atau kebakaran hutan. Endapan rumput di sungai-sungai besar di luar Jawa pun sudah luar biasa tingginya. Kalau kita baca laporan KLH setiap tahun, laju kerusakan hutan di Indonesia cukup tinggi, dan pembalakan hutan disebut sebagai salah satu erosi yang utama. Kenapa semua ini terjadi, Pak? EMMY HAFILD Walhi Jalan Penjernihan I Kompleks Keuangan No. 15 Pejompongan Jakarta 10210

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus