Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Islam: punyakah konsep kenegaraan ?

Perilaku nabi muhammad tidak memperlihatkan watak politis, melainkan moral. tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatan. bermusyawarahlah kalian dalam persoalan, perintah nabi.

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH satu yang menarik dari pengangkatan para menteri Kabinet Pembangunan IV adalah nama Munawir Syadzali untuk jabatan menteri agama. Karena ia menggabungkan dalam dirinya beberapa latar belakang: pendidikan aama semasa muda, perhatian ilmiah tentang Islam (melalui kajian di luar negeri) dan karir diplomatik. Seolah-olah dengan itu terkumpul beberapa unsur yang akan saling membantu. Pendidikan agama untuk 'menyambungkan diri' dengan umat beragama yang diwakilinya, perhatian ilmiah tentang Islam yang akan membawakan semacam 'kecendekiawanan' ke dalam fungsi jabatan yang dipegangnya nanti, dan karir diplomatik yang memberi kelengkapan mencapai sasaran secara lancar dan halus, tanpa gejolak apa-apa di kalangan umat. Di antara hal yang patut diamati adalah kenyataan, ia menulis tesisnya untuk mencapai gelar master of art tentang ada-tidaknya konsep kenegaraan dalam Islam. Penulis sendiri belum pernah membacanya, namun jelas masalah itu sangat menarik. Apalagi kalau ditangani seorang diplomat yang di kemudian harinya menjadi menteri agama. Mengapa? Karena justru masalah tersebut titik pusat perhatian gerakan Islam di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Ali Abdel Raziq, di Mesir, dalam tahun empat puluhan menulis buku Al-islam wa qawa'id al-sulthan (Islam dan Sendi-sendi Kekuasaan), yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Islam and The Bases of Power. Dalam buku itu ia menyangkal adanya kerangka kenegaraan dalam Islam. Al Quran tidak pernah menyebut-nyebut sebuah 'negara Islam' (daulah islamiyah, an Islamic state), katanya. Hanya menyebut negara 'yang baik, penuh pengampunan Tuhan' (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Ucapan itu, di waktu itu, dan di Mesir pula, mengundang reaksi keras para ulama Al-Azhar. Akibatnya? Ia dikeluarkan dari pekerjaan yang 'berurusan dengan Islam dan kepentingan umum' (public offices). Bukunya disita, pikirannya diberangus, dan akhirnya ia terlempar ke Akademi Bahasa Arab. Mengapa begitu keras reaksinya? Karena dengan demikian ia menerima gagasan sekularisme: agama tidak memiliki sangkut-paut dengan masalah kenegaraan. Sebuah pandangan yang diametral bertentangan dengan pandangan umat (Al-Azhar). Padahal ia telah mengajukan argumentasi cukup kuat dan masuk akal. Pertama, katanya, dalam Al Quran tidak pernah ada doktrin. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, melainkan moral. Ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya. Kalau memang Nabi menghendaki berdirinya sebuah 'neara Islam', mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peraliLan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Nabi cuma memerintahkan 'bermusyawarahlah kalian dalam persoalan'. Masalah sepenting itu bukannya dilembagakan secara kongkrit, melainkan dicukupkan dengan sebuah diktum saja, yaitu: 'masalah mereka (haruslah) dimusyawarahkan antara mereka'. Mana ada negara dengan bentuk seperti itu? Memang, sampai saat ini belum jua dicapai kata akhir. Di Indonesia kita semua berasas tunggal poLitik dalam bentuk Pancasila. Di Iran, secara definitif didirikan republik Islam. Di Aljazair, sebuah negara 'Arab sosialis' menyatakan secara formal dalam undang-undang dasarnya bahwa agama resmi negara adalah Islam. Di Arab Saudi dinyatakan Al Quran sebagai konstitusi, walaupun negaranya sendiri bukan 'negara Islam' formal. Sangat beragam. Ada yang menganggap, sebuah negara telah memiliki 'watak Islam' kalau inti ajaran Islam telah diakui - seperti Keesaan Tuhan. Islam berfungsi inspirasional: menjadi sumber yang mendorong munculnya legislasi dan pengaturan negara yang manusiawi namun tidak menentan ajaran Islam. Katakanlah pandangan 'minimalis'. Sebaliknya ada pula kehendak 'optimalis', yang menginginkan ajaran Islam dilaksanakan sepenuhnya, dan kalau dapat secara harfiah. Sebuah negara 'masih harus diislamkan' kalau belum benar-benar 'Islam secara tuntas'. Hanya saja, strategi yang ditempuh membagi pula pandangan itu ke dalam dua pandangan lanjutan: yang menginginkan ketuntasan dicapai dalam esensi, tanpa mementingkan bentuk formal, dan yang menuntut formalisasi bentuk kenegaraan sebagai syarat utama, seperti dilakukan Khomeini. Untuk masyarakat seperti Indonesia, jawaban atas pertanyaan tersebut serin harus dicari melalui proses 'hilang-hilang timbul': tidak dibicarakan terbuka, namun dalam memberikan tafsiran atas ideologi tunggal negara. Memang tidak mudah membicarakan ada-tidaknya konsep kenegaraan dalam Islam. Di samping kesulitan politis dan lain-lain, ada juga sebuah kesulitan yang sebenarnya teknis: belum adanya kesamaan pemahaman atas istilah-istilah yang digunakan. Umpama saja: 'konsep'. Apa yang dimaksud? Sebuah teori kenegaraan yang lengkap, tuntas dan terperinci, yang sama sekali berbeda dari teori-teori lain (seperti teori ekonomi Marxis berbeda dari teori ekonomi kapitalis)? Kalau itu, jelas belum ada. Ataukah pandangan bagaimana mengatur negara dalam garis besarnya, dengan kata lain 'wawasan kenegaraan'? Kalau itu, dapat segera dibuat. Ada kesulitan akibat perbedaan yang dimaksud dengan 'konsep' itu. Misalnya, apakah yang dimaksud dengan 'pandangan Islam tentang negara' hanya nilai-nilai dasar yang melandasi berdirinya sebuah negara? Ataukah norma-norma formal yang mengatur kehidupan di dalamnya? Atau kelembagaan yang ditegakkan di dalamnya? Atau gabungan ketiga-tiganya? Selama tidak ada kejelasan tentang hal-hal di atas, sebenarnya sia-sia saja diajukan klaim bahwa Islam memiliki konsep kenegaraan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus