IA tidak tegak di antara para menteri yang dilantik. Ia hanya
berdiri di antara para tamu. Untuk pertama kalinya, sejak
disusunnya Kabinet Pembanfunan lebih 10 tahun yang lalu,
Widjojo Nitisastro tak ikut dalam susunan kabinet baru yang
pelantikannya berlangsung di Istana Merdea pekan lalu.
Ada yang serasa hilang di situ, agaknya. Tak heran: jika ada
"arsitek utama" perekonomian Indonesia sejak Orde Baru,
Widjojo-lah orangnya.
Sejak 1966, awal pemerintahan Presiden Soeharto, guru besar
Fakultas Ekonomi UI yang waktu itu berumur 39 tahun, telah jadi
ketua Team Penasihat Ekonomi pada Presiden. Sejak 1968, sampai
pekan lalu, ia ketua Bappenas. Majalah AS terkemuka, News
Week, pernah menyebutnya sebagai orang yang "tak diragukan lagi
punya dampak Individual terbesar . dalam perekonomian
Indonesia."
Presiden Soeharto, menurut pelbagai sumber, memang sangat
mempercayai pembantunya ini. Bahkan ketika sejumlah nama calon
wakil presiden disebut di Jakarta nama Widjojo tampil sebagai
calon terkuat.
Widjojo sendiri membantah, dengan mengatakan bahwa ia "merasa
dan menyadari tak memiliki kemampuan" untuk tuas itu. Mereka
yang mengenalnya dari dekat tahu bahwa Widjojo bersungguhsungguh
ketika mengatakan itu. Tapi )ustru itulah letak kekuatan
Widjojo: ia tak dikenal ambisius dengan jabatan.
Sebagai Menteri Koordinator Ekuin, ia tetap tak punya ajudan.
Meskipun di sidan kabinet ia selalu didudukkan di sebelah
Kepala Negara, orang tak pernah merasa ia mencoba menonjolkan
kehadirannya di pertemuan mana pun. Bicaranya pelan, meski tidak
dingin. Di bawah rambutnya yang kian putih dan kian tipis,
sepasang matanya memandang dengan hangat dan antusias, seakan
baru menyaksikan keramaian dunia.
Tapi iabukannya tanpa pengecam. Sebuah majalah kaum "Kiri Baru"
Amerika di tahun 1970 menyebutnya sebagai tokoh gerombolan
"Mafia Berkeley". Dengan kata lain: teknokrat ini antek Amerika
karena ia dididik di kampus Berkeley, AS.
Kecaman itu diambil oper a.l. oleh harian Merdeka, setahun
kemudian. Dalam citra itu, Widjojo digambakan telah menyusun
suatu strategi pembangunan yang kuranglebih telah menyerahkan
kedaulatan ekonomi Indonesia ke tangan Barat.
Di depan publik Widjojo tak pernah bicara tentang soal ini.
Tapi mereka yang dekat dengannya, dan para pengagumnya di
kalangan intelektuil, cepat membela bahwa tuduhan semacam itu
tak benar. Barangkali memang tidak: Widjojo juga yang kemudian
gigih mengarahkan sikap Indonesia dalam menghadapi negeri
industri di Barat, dalam dialog "Utara-Selatan" antara negara
kaya dan negara miskin.
Tuduhan seakan-akan ia "menjual negara" dengan strategi
ekonominya itu memang yang konon paling tak adil dirasakan
Widjojo. Ia dibesarkan dalam keluarga pergerakan. Bapaknya
seorang pensiunan penilik sekolah dasar yang kemudian aktif di
Parindra dan menggerakkan rukun tani dan jadi obyek mata-mata
dinas kepolisian Belanda. Beberapa saudaranya, seraya menolak
bekerja untuk pemerintah kolonial jadi guru Taman Siswa.
Widjojo sendiri - dalam usia seorang anak kelas I SMT (kini SMA)
- bergabung dalam pasukan pelajar yang kemudian dikenal sebagai
TRIP ketika perang pecah di Surabaya di tahun 1945. Seorang
teman dekatnya waktu itu, Pansa Tampubolon (pendeta Advent yang
kini jadi pemimpin perusahaan Pos Kota Group), bercerita
bagaimana Widjojo bertempur dengan granat - juga bayonet - dan
hampir gugur di daerah Ngaglik dan Gunung Sari di Surabaya.
"Widjojo tak pernah melawan perintah," kata Pansa Tampubolon
kepada wartawan TEMPO Johannes Batubara awal pekan ini,
"walaupun saya - yang pelajar SMP menjadi komandannya." Cerita
masa lalu yang tak banyak diketahui itu agaknya menunjukkan satu
hal yang kemudian nampak terus dalam diri Widjojo dalam
pemerintahan: loyalitas dalam tim merupakan hal yang penting
baginya. Dan ia taat kepada "komandan", Pak Harto.
Toh di bulan Januari 1966, dalam suatu diskusi besar di kampus
UI, ketika oran masih berhati-hati mengecam pemerintah Orde
Lama, Widjojo mengutip kalimat ekonom Paul Baran, bahwa seorang
intelektuil pada asasnya adalah "seorang pengkritik masyarakat",
"juru bicara dari kekuatan-kekuatan progresif yang terdapat
dalam tiap periode tertentu dari sejarah." Ia berharap agar
civitas academica tak hanya jadi "penjual otak", tapi juga
"penggugah hati kecil".
Beberapa tahun setelah itu, di dalam pemerintahan Orde Baru,
Widjojo tak lagi bersuara sekeras demikian. Kekuasaan dan
jabatan memang mau tak mau menyebabkan semangat dan kata-kata
lebih terkendali. Toh dalam suatu wawancara dengan TEMPO ia
pernah mengatakan keyakinannya: pembangunan ekonomi tak dengan
sendinnya harus bertentangan dengan demokrasi, juga pembangunan
ekonomi tak dengan sendirinya harus bertentangan dengan
keadilan.
"Hanya saja, demokrasi dan keadilan tidaklah berlangsung dalam
suatu vakum," tambahnya. Kita tak berada dalam sebuah utopia.
Tak ada satu kunci yang begitu saja bisa membukakan pintu ke
masyarakat yang adil dan makmur. Hidup tidak hitam putih seperti
dalam teori. Ada hal-hal yang terpaksa harus diterima. Ada
dilema yang justru lebih berat daripada sekadar soal
perekonomian.
Di hadapan semua itulah Widjojo terpaksa tak bisa tinggal cuma
sebagai perencana. 10 tahun yang lalu, ketika ia berkeliling
sendiri membongkar sebab kemacetan pupuk, buletin Business News
mengkritiknya. Para perencana kini, tulis buletin itu, telah
jadi trouble-shooters alias pendobrak kemacetan. Tapi Widjojo
bisa mengatakan, dengan benar, bahwa ia mendapat tugas untuk
itu.
Indonesia memang suatu soal besar yang sering harus dihadapi
oleh tenaga yang terbatas, dalam jumlah dan dalam kemampuan.
Juga Widjojo Nitisastro, kini 56 tahun, bukan superman.
Tapi tak banyak ahli ekonomi yang disegani koleganya seperti
dia. Orang yang menggantinya, Ali Wardhana, mengatakan bahwa
Widjojo akan tetap ia minta berkantor di Bappenas, sebagai
penasihat di bidang Ekuin. Dengan kata lain, ia masih di antara
kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini