Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jamu Nasional

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arswendo Atmowiloto Pengamat sosial, konsumen jamu IDENTITAS nasional kita sekarang ini apa? Baju batik, peci hitam, kerusuhan, keberanian tanpa moral? Bisa jadi, yang aman adalah jamu. Jamu bisa menjadi identitas nasional yang aman, membanggakan, dan tak dimiliki negara lain. Jamu, sebagaimana batik atau peci, tak perlu masuk GBHN, tak perlu ketetapan MPR khusus, karena punya akar sejarah yang sudah berdiri ratusan tahun, dan menyangkut pemberdayaan ekonomi rakyat, serta khas. Bahkan, dalam melayani pasien, tak kalah dengan pelayanan rumah sakit modern sekalipun. Ia berarti pemberdayaan ekonomi rakyat karena bahan baku utama diambil dari dalam tanah sendiri. Konon, ada 40.000 jenis tanaman yang bisa diramu menjadi jamu, 30.000 jenis telah berhasil diklarifikasikan, dan 1.400 telah diupayakan. Indonesia nomor dua setelah Brasil dalam tanaman obat, dan nomor satu dalam kekayaan laut. Pemberdayaan ''ekonomi kerakyatan" ini bukan hanya karena pabrik jamu mempekerjakan tenaga pribumi, tapi juga karena pemegang rantai pemasaran ''tukang seduh", atau kios, atau yang ''solo karir" dengan digendong genit, adalah juga rakyat yang mengandalkan modal kemauan kerja keras. Bahkan sekarang terbukti, acara televisi seperti ''Srimulat", ''Ketoprak Humor", dan sejenisnya dihidupi dari iklan kelas jamu. Secara sosial, ia juga membawa berkat. Sudah lama Jamu Jago memakai orang-orang cebol untuk menari di atas mobil—orang yang secara fisik sulit diterima bekerja di tempat lain. Sido Muncul, pabriknya di Semarang, sampai sekarang masih berani menampung ''orang sakit jiwa" yang ditolak keluarga. Dan setiap tahun saat Lebaran, pabrik menyediakan ratusan bus gratis untuk pemudik. Belasan pabrik jamu lain secara kontinu memakai sales promotion girl, dengan memberi Rp 50 ribu sehari. Barisan SPG ini kebanyakan justru mahasiswi yang mencari pengalaman dan uang saku di bawah lampu terang sambil senyum. Para peramu jamu pun tergolong jenius lokal: merekalah yang mampu menemukan cara ''menolak angin", memadamkan ''panas dalam", yang dalam idiom modern pun tak ada penyakit semacam itu. Sistem pelayanan terpadu dari ''kios seduh" pun tak kalah dengan rumah sakit internasional: pasien yang datang bisa berkonsultasi, dapat jamu, mendapat pemeriksaan, dan sekaligus ngobrol, yang bisa meringankan beban pikiran. Makin banyak pembelaan bisa disusun untuk mendukung peran modern jamu. Tapi, kita juga dibuat bertanya kenapa tak ada akademi atau perguruan tinggi jamu—padahal farmasi punya itu. Juga, kenapa pada perjamuan resmi tak disajikan jamu? Kenapa dalam pesta perkawinan, pada stan makanan aneka, tak ada ''pojok jamu"? Kenapa tak dibuatkan gerakan nasional minum jamu? Kenapa tak ada tokoh jamu nasional pada akhir abad ini? Kenapa tak ada Ikatan Jurnalis Jamu? Kenapa ada Hari Kesehatan, tapi tak ada Hari Jamu Nasional? Kalau ada ''gimmick" sehari tanpa tembakau, kenapa tak dibuatkan ''sehari berjamu"? Kenapa di restoran, ruang tamu di semua stasiun, terminal, warung makan, tersedia minuman kaleng internasional, tapi tak sekaligus disediakan jamu yang tinggal menenggak? Kenapa kita tak mengekspor TKW jamu, yang lebih dihormati dan bisa membuat seduhan ''antiperkosa"? Jamu nasional, barangkali yang rada pasti, merupakan terobosan luar biasa dari jenisnya: materi utama ada dan tumbuh dan sudah dikelola di berbagai tanah Indonesia. Jenis jamu yang ''kurang kuat bini marah", atau ''kue basel"—kurang enak bapak selingkuh—ada dari ujung Aceh sana sampai ujung Irianjaya. Demikian juga para empu, para tabib, para sinse lokal. Di Yogya, ada ahli kayu untuk pengobatan yang bisa menjelaskan sekian belas jenis kayu yang mempunyai khasiat berbeda-beda, termasuk kayu yang tenggelam di air, dan kayu yang jika dimasukkan ke dalam air mengalir akan menentang arus. Jamu nasional menjadi terobosan manakala berhasil menjadi lokomotif yang mampu menggerakkan potensi-potensi lain yang masih tenggelam. Nilai-nilai tradisi dalam ''mengolah tenaga prana", kekuatan olah raga pencak silat, perhitungan ''hari baik dan hari apes", atau jenis pengobatan alternatif—harusnya malah jadi pilihan utama—akan menemukan bentuk legitimasi dan penghargaan. Ribuan empu ''patah tulang" telah membuktikan kehebatannya dengan ratusan ribu pasien yang bisa menginap dan bayar serelanya setiap harinya. Belasan jenis pijit seperti refleksi, terazona, kesehatan, kekuatan—bahwa putaran gerak bertentangan arah jarum—jamu untuk memperkecil perut, adalah kekayaan, adalah harta yang tak kalah berharga dibandingkan dengan minyak, gas, atau tambang emas. Ada lagi lebihnya: dibandingkan dengan rokok kretek sebagai identitas nasional, industri jamu lebih menyehatkan masyarakat. Sudah saatnya reformasi ini juga menyangkut sikap hidup kita sehari-hari dalam menemukan kekayaan lahir batin kita. Setelah batik, peci, jamu, lalu… jenis kayu, buah, atau bahkan tanah lempung untuk pengganti plastik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus