Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Format Kritis Nasionalisme

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ignas Kleden Sosiolog, tinggal di Jakarta Filosof Friedrich Nietszche memperkenalkan tiga jenis sejarah. Ada sejarah yang mirip koleksi keramik tua atau gudang buku alkhemi dan astrologi. Dalam kategori ini, masa lalu merupakan daerah wisata untuk orang-orang masa kini yang ingin mencari eksotika yang antik, tanpa jelas manfaatnya untuk masa sekarang. Inilah sejarah antikuaris (antiquarian), yang melulu terdiri dari masa lampau tanpa perspektif ke masa sekarang, apalagi ke masa depan. Selain itu, ada sejarah tokoh-tokoh besar, nama besar, cita-cita besar, dan karya besar. Sejarah mirip utopia yang bergerak mundur karena segala impian akan kebesaran tidak ditempatkan di masa depan, tetapi di masa lalu. Di Indonesia, studi-studi sejarah yang dilakukan Muhamad Yamin penuh puja-puji tentang kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Dia menjadi contoh penulis sejarah monumental. Kemudian, ada pula yang memandang masa lampau dengan penuh pertanyaan. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, pernah mempersoalkan apakah Tengku Umar, Imam Bonjol, atau Diponegoro adalah pahlawan nasional. Pada masanya mereka berperang melawan Belanda untuk daerah dan kerajaannya sendiri, sementara Indonesia belum ada dan belum muncul semangat kebangsaan. Bahkan, begitu S.T. Alisjahbana memperuncing argumentasinya, tidak mustahil mereka akan melabrak daerah-daerah lain di Nusantara seandainya mereka mendapat kesempatan untuk itu. Sejarah pada akhirnya harus bersikap kritis. Tipologi tersebut dapat diterapkan untuk masalah nasionalisme. Dapatkah kita berbicara tentang nasionalisme antikuaris, monumental, dan kritis? Bung Karno adalah contoh soal untuk nasionalisme monumental. Monas, Masjid Istiqlal, Istora Senayan, Gedung MPR adalah beberapa monumen fisik yang diwariskannya. Atas cara yang sama, pidato Indonesia Menggugat, pidato Kelahiran Pancasila, Proklamasi, pidato tentang Pancasila di PBB, Konferensi Asia-Afrika, gagasan Maphilindo, dan persekutuan the new emerging forces adalah beberapa monumen politik yang telah dibangunnya. Namun, orang besar melakukan kesalahan besar, great men make great mistakes, begitulah nasihat Filosof Karl Popper. Dan, kesalahan besar sering terjadi karena diabaikannya hal-hal kecil. Ekonomi dan peningkatan tingkat hidup rakyat memang tidaklah semonumental proyek nation building, sekalipun ekonomi amat penting untuk kelangsungan suatu bangsa. Akibatnya, timbul kesenjangan antara bangsa besar dan pendapatan kecil. Kesalahan ini dikoreksi oleh Presiden Soeharto. Ekonomi diberi perhatian utama, harga dibuat stabil, inflasi ditekan, tingkat pertumbuhan ekonomi digenjot naik, sementara pendapatan negara dari minyak meningkat. Sayangnya, setelah ekonomi pulih dan pendapatan meningkat, rakyat hidup lebih baik, negara menjadi kuat-kuasa, tapi bangsa kian terpuruk nasibnya. Maka, rasa kebangsaan pun dicoba dihidupkan melalui nasionalisme antikuaris. Disebarluaskanlah imajinasi bahwa Indonesia adalah bangsa berbudaya luhur yang tak boleh dinodai oleh budaya asing. Anehnya, dengan budaya asing dibayangkan sikap, nilai, serta pandangan hidup asing; dan di situ tidak termasuk modal asing dan barang-barang konsumen asing. Alhasil, ketika modal asing dengan gencar menyerbu dari pintu depan, xenofilia (dan xenofobia) menyusup masuk dari pintu belakang. Hubungan antara nilai-nilai antik yang dimuliakan itu dan tingkah laku sosial-politik serba tidak jelas. Maka, sambil membanggakan kehalusan Timur, kita dengan ringan tangan mencabut nyawa orang. Atau sambil membusungkan dada dan menyerukan toleransi, tanpa risi kita menculik mereka yang berbeda pendapat. Dan sambil berkhotbah tentang tepo seliro, kita merampas tanah penduduk, memeras bank, atau mencuri isinya sekalian dalam jumlah yang membuat puyeng para mafiosi. Nasionalisme antikuaris diuji pada saat ini dengan masuknya pasukan PBB ke Timor Timur. Nasionalisme serta-merta berkobar seperti hutan terbakar. Foto orang-orang prointegrasi yang digeledah tentara Australia dengan moncong senapan diarahkan ke mereka disiarkan hampir semua koran dengan komentar yang geram. Tetapi, setelah berpikir dingin dan tenang, numpang tanya, berapa gerangan orang Tim-Tim yang mati dibunuh setelah pasukan PBB masuk ke sana, dan berapa pula sebelumnya? Apa bedanya kelompok prointegrasi meminta dukungan Indonesia tahun 1976 dengan kelompok prokemerdekaan meminta bantuan pasukan PBB tahun 1999, untuk memulihkan keamanan di sana? Apakah yang menjadi soal di Tim-Tim pada saat ini adalah nasionalisme Indonesia atau solidaritas dengan mereka yang menderita? Tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan arti pengorbanan keluarga yang kehilangan suami, anak, atau saudaranya yang gugur dalam tugas di Tim-Tim. Hormat, simpati, dan doa kita untuk mereka. Juga tak terniat di sini mengabaikan perjuangan diplomasi Indonesia demi menyelamatkan reputasi kita di dunia internasional. Tetapi nasionalisme harus dihadapi dengan kritis. Ibarat api, dia dapat menerangi dan menghangatkan ruangan, tetapi dapat pula membuat seantero desa menjadi arang dan abu. Nasionalisme bukanlah chauvinisme nasional, begitulah selalu dikatakan Sukarno dan ditulis oleh Hatta. Nasionalisme harus dibatasi oleh kemanusiaan, begitulah diajarkan Bung Sjahrir. Kalau sekarang ini di depan mata ada dua ratus ribuan orang Tim-Tim kehilangan kampung halaman dan mengembara di tanah airnya sendiri, terlalu mewah untuk masih mempersoalkan ini semua kesalahan siapa. Dan mana lebih penting, mendemo Australia dan Amerika atau menolong saudara-saudara kita yang terlunta-lunta seperti burung liar kehilangan habitat? Anehnya, sikap monumental dapat membuat kita terlihat antikuaris, bernafsu mengelap-ngelap kebanggaan (dan inferioritas) purba yang hanya dapat dipupuk dengan penderitaan dan kemalangan, dan, barangkali, kebinasaan orang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus