Harun Alrasid
Pengamat hukum tata negara
Setengah abad lebih Indonesia merdeka, tapi negara kita belum juga memiliki undang-undang dasar yang statusnya tetap, sehingga masa transisi terus berjalan. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, momentum pertama untuk mengakhiri masa transisi itu terjadi ketika pada 15 Desember 1955, dilangsungkan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante (majelis pembuat undang-undang dasar).
Majelis ini mulai bersidang di Bandung pada 10 November 1956, untuk membuat undang-undang dasar baru guna menggantikan UUD 1950—yang berlaku pada waktu itu dan statusnya sementara. Perlu diketahui bahwa UUD 1945 yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 tidak berlaku lagi sebagai UUD nasional sejak 27 Desember 1949, yaitu ketika negara kesatuan menjadi negara serikat yang berlandaskan UUD 1949.
Untuk mewujudkan konsepsinya mengenai demokrasi terpimpin, Presiden Sukarno mengusulkan kepada Konstituante agar tidak usah menyusun UUD baru, tetapi memberlakukan saja kembali UUD 1945. Dalam pidatonya di Sidang Pleno Konstituante, 22 April 1959, presiden mengatakan: "Berkenaan dengan anjuran kembali pada UUD 1945 , saya sampaikan kepada Konstituante dengan resmi naskah UUD 1945 yang terdiri dari pembukaan, batang tubuh yang berisikan 37 pasal, empat aturan peralihan, dan dua aturan tambahan." (notabene, tanpa "penjelasan")
Anjuran Presiden Sukarno itu ditolak oleh Konstituante, yang dalam tiga kali voting ternyata tidak mencapai kuorum. Tetapi Presiden Sukarno tidak putus asa. Dengan alasan terjadi keadaan darurat yang dirumuskan sebagai "keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur", pada 5 Juli 1959, dia mengeluarkan dekrit presiden yang isinya membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.
Meskipun menurut ketentuan UUD 1945, sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terbentuk, kekuasaannya dijalankan oleh presiden, secara inkonstitusional presiden membentuk MPR Sementara (MPRS) yang anggota-anggotanya diangkat oleh presiden. Dalam pidatonya pada pembukaan Sidang MPRS di Bandung, 10 November 1960, Presiden Sukarno mengatakan: "Saudara-saudara dikumpulkan pada ini hari di Kota Bandung yang bersejarah ini, di gedung yang bersejarah ini, pada hari yang selalu bersejarah ini, untuk memenuhi apa yang ditentukan di dalam Pasal 3 UUD kita, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar haluan negara. Tetapi, karena saudara-saudara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang anggota daripada DPR itu belumlah anggota yang terpilih oleh rakyat, bagian pertama daripada tugas Pasal 3 ini, yaitu menetapkan UUD, tidak saya minta kepada saudara-saudara untuk ditetapkan."
Selama Presiden Sukarno berkuasa, belum pernah terbentuk MPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat. Baru ketika Presiden Soeharto berkuasa, dilakukan pemilihan umum (pemilu), yaitu pada 3 Juli 1971.
Momentum kedua untuk mengakhiri masa transisi hukum tata negara ialah pada waktu 920 orang anggota MPR hasil Pemilu 1971 bersidang pada Maret 1973. Sebelumnya, dalam artikel MPR dan Penyempurnaan UUD (Majalah TEMPO, 25 Maret 1972), saya mengharapkan agar "para anggota MPR bersiap-siap untuk melakukan "de hoogste politieke beslissing", yaitu menyusun undang-undang dasar baru yang up-to-date. Namun tidak ada respons dari para anggota MPR karena ternyata pertimbangan politis lebih dominan daripada pertimbangan yuridis.
Begitu pula sebelum para anggota MPR hasil Pemilu 1997 bersidang pada Maret 1998, saya menulis lagi kolom berjudul Sang Pemegang Kedaulatan Rakyat (majalah Forum, 9 Maret 1998), yang mengharapkan kesadaran hukum dan kemauan politik anggota MPR untuk melaksanakan amanat the founding fathers, seperti tercantum dalam Pasal 3 UUD 1945, yaitu menetapkan UUD. Lagi-lagi tidak ada respons.
Orde reformasi sekarang ini, yang menghendaki reformasi total, merupakan momentum ketiga untuk melaksanakan reformasi konstitusi guna mengakhiri masa transisi hukum tata negara kita. Seperti yang dikatakan oleh Mr. Assaat Datuk Mudo, mantan Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia (Yogya), "Yang dimaksud dengan masa peralihan ialah masa yang bermula dari saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai pada saat berlakunya Undang-Undang Dasar I Republik Indonesia yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat." (Hukum Tata Negara Indonesia dalam Masa Peralihan, halaman 3)
Meskipun "political statement" rezim Orde Baru yang dicantumkan pertama kali dalam Pasal 115 Peraturan Tertib MPR Tahun 1978 mengatakan "Majelis berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen", itu sudah tidak dianut lagi dan sekarang ini sudah terbentuk pendapat umum bahwa perlu dilakukan amendemen terhadap UUD 1945. Namun, tampaknya MPR hasil Pemilu 1999 yang sedang bersidang saat ini hanya akan mengubah beberapa pasal. Jadi, mereka tidak menetapkan undang-undang dasar (baru) seperti yang diperintahkan oleh pembuat UUD 1945.
Sebaiknya, selain melakukan perubahan di sana-sini dalam batang tubuh undang-undang dasar, yang menurut pendapat saya merupakan langkah program jangka pendek, seyogianya MPR memerintahkan presiden agar membentuk "Komisi Pembaharuan UUD" yang akan melakukan perubahan secara menyeluruh, dengan pengertian tidak semua bagian UUD 1945 dibuang. Bagian pembukaan dan beberapa pasal yang baik, yang dulu pada waktu membentuk UUD 1949 dan UUD 1950 oleh Prof. Soepomo disebut "esensialia" UUD 1945, bisa saja dipertahankan.
Komisi tersebut diberi masa kerja tujuh bulan dan hasil kerjanya disampaikan kepada MPR yang akan bersidang tahun depan, sebaiknya sebelum peringatan Hari Proklamasi ke-55. UUD baru itu diumumkan MPR dengan segala keluhuran, dan berlaku mulai 17 Agustus 2000 untuk menggantikan UUD 1945, yang notabene tidak ada naskah aslinya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini