Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEKLARASI antikorupsi yang dicanangkan oleh Muhammadiyah dan NU beberapa waktu lalu patut disambut bukan saja dengan gembira, tapi juga dengan rasa takjub. Takjub, karena kedua organisasi ini mewakili mayoritas umat Islam. Mudah-mudahan begitulah sikap umat Islam pada umumnya terhadap musuh klasik itu. Takjub juga karena, dari sudut waktu, ini bak pucuk dicinta ulam tiba. Dasar hukum pemberantasan korupsi sudah diperbaharui, lembaga baru pun sudah terbentuk. Tinggal meluncur saja. Din Syamsuddin, Sekjen Muhammadiyah, misalnya, mengatakan bahwa tujuan deklarasi adalah memberikan rasa berani ke masyarakat dan penegak hukum guna memberantas korupsi.
Pemberantasan korupsi rupanya tidak hanya masalah penerapan pasal. Kalau hanya itu, apa susahnya. Lihatlah, sudah beberapa rezim pemerintahan, korupsi tetap saja jaya. Rupanya, hukum dan perangkatnya saja tidak cukup: diperlukan energi ekstra, semacam jamu atau tonikum begitu.
Kenapa masyarakat perlu dibuat berani? Kultur kita mengajarkan betapa pejabat harus dihormati, satu hal yang memang sudah sepantasnya. Itu sebabnya di mana-mana, jika ada pejabat yang menyumbang besar untuk kegiatan sosial termasuk keagamaan, sang pejabat akan di elu-elukan, disiarkan melalui pengeras suara sebagai "pantas dong dia menyumbang besar sesuai dengan jabatannya". Pahala besar dikatakan menanti pejabat ini. Hanya, sayangnya, setahu saya hampir tidak pernah penerima sumbangan sosial menanyakan asal dana yang disumbangkan. Iya dong! Masa, sudah diberi, main tanya segala. Tentu kita pun tidak boleh apriori terhadap semua sumbangan. Hanya, masyarakat perlu didorong keberaniannya untuk peka dan menolak hasil korupsi.
Kita tidak bisa menyalahkan seluruhnya pada masyarakat, yang tak lain adalah kita sendiri. Kita tidak boleh mengelak, hal ini hanyalah akibat pergeseran nilai yang menurut para pakar tetap saja merosot pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan saat ini. Pengalaman menunjukkan bahwa dambaan akan adanya perbaikan atau perubahan terus menggantung sehingga, betapapun prestasi yang dibuat oleh rezim terkini, ia akan menjadi terkuras lagi. Sistem nilai terus mengalami erosi. Kalau tidak ada perbaikan, sistem nilai yang tererosi itulah yang benar, termasuk sikap terhadap korupsi. Jika gerak terhadap pemberantasan korupsi oleh masyarakat dinilai belum dapat terlaksana sebagaimana mestinya, orang menjadi skeptis. Pandangan orang akan upaya pemberantasan korupsi menjadi kendur. Nilai di masyarakat luntur. Hukum, terutama yang berkaitan dengan korupsi, menjadi nisbi, abu-abu. Dan jangan-jangan korupsi sudah dianggap sebagai norma (astagfirullah...). Dalam kondisi demikian: apa tidak lancang namanya nanya-nanya rezeki orang.
Umumnya orang mengatakan, korupsi gampang dilibas, asalkan dimulai dari yang berskala besar. Dengan begitu, yang kecil-kecil otomatis akan terimbas. Top down-lah. Tapi, itulah soalnya. Pemberantasan korupsi bukan hanya urusan penerapan pasal undang-undang.
Mungkin baik disimak pandangan yang disampaikan oleh seorang calon pemimpin Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam fit and proper test awal Januari lalu di DPR. Marsillam Simanjuntak, calon yang pernah Jaksa Agung itu, menyatakan pemberantasan korupsi mestinya dimulai dari bawah. Dari yang kecil-kecil atau "korupsi rutin" dulu, baru kemudian ke yang besar-besar. Bekas Menteri Kehakiman itu menjawab demikian atas pertanyaan apakah hukum saja cukup untuk memberantas korupsi. Menurut Marsillam, diperlukan semacam kekuatan lain. Jika yang kena yang kelas teri saja, tentu akan ada sanggahan, keberatan, atau protes dari masyarakat: kenapa yang kecil-kecil yang ditindak. Pada pikiran Marsillam, ini akan berimbas dan merupakan kekuatan yang akan menjadi pendukung utama bagi hukum untuk berhadapan dengan berbagai kasus korupsi di atas Rp 1 miliar. Pokoknya, hukum perlu diberi kekuatan tambahan.
Dalam alam yang serba kelabu sekarang ini, tambahan tenaga atau katakanlah "jamu" tersebut antara lain adalah sikap masyarakat itu sendiri. Deklarasi Muhammadiyah dan NU di atas diharapkan akan dapat berfungsi sebagai jamu. Dampak dari deklarasi kedua ormas di atas seyogianya akan membuat masyarakat menjadi peka kembali bahwa korupsi bukan kawan. Masyarakat sudah sepatutnya dibikin awas kembali tentang yang halal dan haram. Toleransi masyarakat selama ini mudah-mudahan dapat didudukkan kembali pada posisi yang benar. Syukurlah, deklarasi kedua ormas tersebut sudah dapat pula memicu berbagai kelompok lain dalam masyarakat. Hal itu sudah terlihat, misalnya, dari pernyataan Forum Rektor Indonesia yang menyerukan agar universitas tidak terkontaminasi korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo