Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami tiba di Bandar Udara Internasional Mumbai pada pukul lima pagi. Dan saat kami meluncur ke Distrik Thane dalam hawa pagi, panorama kemiskinan segera saja menyodok mata. Suasana kusam, kumuh, dan kotor terlihat sepanjang perjalanan menuju Hotel Fountain di kawasan utara kota. Mumbai atau Bombay, yang tersohor sebagai pusat industri film Bollywood, menyajikan kontras luar biasa antara kota industri hiburan dunia dan kota yang marginal serta terbelakangtipikal kota di India. Saya dan sejumlah rekan dari Indonesia datang ke Mumbai untuk menghadiri Forum Sosial Dunia. Inilah pertemuan akbar dari gerakan rakyat seluruh dunia yang diadakan setiap tahun sejak 2001.
Maka jadilah Mumbai ibu kota gerakan perlawanan terhadap globalisasi setelah Forum Sosial Dunia I, II, dan III di Porto Alegre, Brasil. Tak kurang dari 130 ribu orang membanjiri Mumbai Convention Center di Goregaonsebuah kompleks bekas pabrik yang amat luas. Peserta terbesar forum ini adalah rakyat kecil berbagai sektor: petani, buruh, kaum miskin perkotaan, masyarakat adat, dan lain-lain. Mereka datang dari seluruh dunia, meleburkan diri selama sepekan.
Forum di Mumbai ini betul-betul satu pertemuan raksasa dan unikberbeda dengan konferensi internasional lainnya. Setiap hari digelar sekitar 250 pertemuan, yang berlangsung secara paralel dalam tiga sesi: pagi, siang, dan malam. Di antaranya konferensi dengan 12 ribu hadirin dan diskusi panel untuk 4.000 orang. Ada pula berbagai orasi, pentas lagu, teater, pameran instalasi, protes, serta pawai yang hiruk-pikuk memenuhi jalan di sepanjang kompleks tersebut.
Hasilnya adalah suasana riuh-rendah, desak-desakan ribuan manusia, dan dentaman drum silih berganti dari kelompok-kelompok aksi jalanan, khususnya dari berbagai kelompok rakyat India sendiri. Debu-debu yang beterbangan di antara suara dan sorak manusia menciptakan suasana khas sebuah forum yang merakyat sekaligus kosmopolitan. Di balik keriuhan itu, diskusi serius berjalan terus di ruang-ruang kecil membicarakan berbagai topik, dari isu hak asasi manusia hingga AIDS, dari persoalan Organisasi Perdagangan Dunia, perang Irak, gerakan perempuan, hingga Kasta Dalit. Rasanya tak ada isu yang luput dari perhatian Forum Sosial Dunia.
Noam Chomsky, tokoh kritis dari Amerika, pernah menyebut Forum Sosial Dunia sebagai "the first real promise of a genuine International." Maksudnya untuk membedakan gerakan Forum Sosial Dunia dengan gerakan internasional kaum sosialis masa lalu, yang lebih bermuatan ideologi politik. Menurut Chomsky, Forum Sosial Dunia benar-benar lahir dari "Selatan"ini istilah yang merujuk pada gerakan negara-negara Selatan untuk membebaskan diri dari neokolonialisme dan dominasi Utara (negara-negara maju). Istilah "Selatan" bukan merujuk pada negara, melainkan pada gerakan rakyat atau gerakan sosialnya.
Memang, forum ini mula pertamanya digagas oleh organisasi sosial besar di Brasil pada tahun 2001. Terutama oleh Federasi Pusat Serikat Buruh (CUT) dan Gerakan Pekerja Desa Tak Bertanah (MST). Pada tahun yang sama, dilahirkan "Piagam Prinsip-Prinsip" (Charter of Principles). Pada intinya, piagam itu menyepakati bahwa Forum Sosial Dunia bukanlah organisasi, melainkan kerangka dasar (platform) yang menolak neoliberalisme dan dominasi modal serta mencari dan membangun alternatif-alternatif.
Slogan forum ini "Dunia Lain adalah Mungkin" (Another World is Possible). Formatnya adalah desentralisasi dan self-organized. Karena itu, acaranya selalu diorganisasi oleh para peserta berdasarkan nilai-nilai pluralisme, keberagaman, nonpemerintah, dan non-partai politik. Forum ini menjadi unik karena para pesertanya menyelenggarakan sendiri kegiatan-kegiatan diskusi atau seni dengan biaya sendiri, termasuk untuk materi kegiatan serta transportasi dari negara asalnya ke Mumbai. Dengan demikian, terciptalah semacam festival besar yang dilaksanakan oleh peserta masing-masing. Panitia forum ini hanya membantu prasarananya. Sampai-sampai ada yang menyindirnya sebagai "festival-isme".
Mungkin yang terlupa dari sindiran itu, rakyat juga punya hak untuk bergembira, menari, dan menyanyi dalam melawan globalisasi neoliberal. Sebagaimana kata aktivis India, Arundhati Roy, "Imperium harus dipermalukan dengan seni, musik, sastra, dengan kebudayaan, dengan kegembiraan, dengan kecerdasan kita."
Berbagai ide, semangat, gerakan, serta solidaritas internasional hadir di Mumbai. Satu yang bisa dipetik bagi Indonesia dari pengalaman di Forum Sosial Dunia adalah bagaimana membangun ide-ide baru serta alternatif baru di atas situasi nasional kita yang telah dilanda neoliberalisme global dan menjadi korban dari korupsi para elitenya.
Solidaritas yang terbangun di Forum Sosial Dunia mempertebal keyakinan bahwa "dunia yang lebih baik" adalah mungkin, bukan lagi "anomali"seperti yang selama ini dikampanyekan para ekonom pendukung pasar bebas, termasuk para ekonom di Indonesia yang selama ini melihat kerja forum ini sebagai sesuatu yang anti-asing. Sekitar 150 ribu manusia yang berkumpul di Mumbai dari aneka ragam latar belakang tapi menyuarakan seruan yang sama dapat menjadi salah satu buktinya. Another world is possible. Dalam bahasa India: dunya mungkinhe.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo