Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Di Bawah Matahari Tuscani

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cyrillus Harinowo *) Staf pengajar pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Film yang dibintangi Diane Lane tersebut sungguh menarik. Saya menonton film yang berjudul Under the Tuscan Sun tersebut dua kali di pesawat Singapore Airlines dalam perjalanan dari Singapura ke Brisbane, Australia. Film yang dibuat berdasarkan kisah nyata penulis Frances Mayes itu bercerita mengenai perubahan hidup yang dialaminya setelah secara impulsif Mayes memutuskan membeli rumah di Tuscani, daerah indah di pegunungan Italia, dengan ibu kotanya Florence, kota dengan karya seni tiada banding.

Dalam salah satu perbincangan Mayes dengan makelar rumahnya, terungkap suatu legenda yang hidup di daerah itu. Dikatakan bahwa jalan kereta api antara Austria dan Venesia dibangun jauh sebelum kereta api itu sendiri masuk ke daerah tersebut. Masyarakat di Tuscani yakin bahwa suatu saat kereta api akan hadir di daerahnya. Untuk itu, jauh-jauh hari mereka sudah menyiapkan diri menyambut kehadiran kereta api dengan membuat rel yang melewati daerah tersebut. (Sebetulnya agak aneh juga "ilmu bumi" dari penulis Frances Mayes tersebut karena jalan kereta api antara Austria dan Venesia itu jauh di timur laut Italia dan tidak melewati daerah Tuscani.)

Cerita yang diungkapkan dua kali dalam film itu tentunya dengan konteks yang berkaitan dengan kehidupan Mayes. Tapi saya ingin menariknya dalam konteks yang lain, yaitu legenda tersebut pada akhirnya mengungkapkan perlunya suatu "visi" dalam kehidupan di masyarakat, yang salah satunya menyangkut pembangunan suatu negara. Dan cerita itu cocok dibawa ke dalam konteks program pembangunan negara kita.

Visi dan Pembangunan Ekonomi

Kita tentunya tidak perlu menyalahkan siapa pun yang membuat kita terjerembap seperti ini. Barangkali kita justru patut bersyukur bahwa para pemimpin kita sebelumnya telah membangun negara berlandaskan pada suatu visi yang jauh, sehingga setelah krisis kita masih bisa menikmati hasilnya.

Saat ini kita masih bisa menikmati prasarana yang ditinggalkan penguasa sebelumnya: jalan raya yang sebagian masih bagus (di beberapa wilayah bahkan masuk sampai ke desa-desa), jaringan irigasi yang tertata baik, telekomunikasi yang juga sudah lumayan maju, listrik yang rasanya masih cukup memenuhi kebutuhan saat ini meskipun memerlukan tambahan kapasitas secara segera, dan sebagainya. Kita pun masih menikmati aliran devisa yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit, tambang gas, minyak, dan batu bara, serta sejumlah produk industri yang umumnya merupakan "peninggalan" sebelumnya.

Kita sering menengok ke negara tetangga yang sangat berhasil dalam membangun suatu visi untuk mengembangkan negaranya dan bahkan cukup sukses mengimplementasikannya. Mahathir Mohamad, sebagaimana kita tahu, mengembangkan Vision 2020. Pada tahun itu, Malaysia akan menjadi negara industri yang maju. Ukuran kemajuan negara yang ditargetkan juga disertai indikator-indikator yang bisa diukur. Di pertengahan jalan, Mahathir memunculkan ide yang brilian, yaitu pengembangan Malaysian Multi-Media Super Corridor.

Ini jelas mimpi yang tidak main-main. Bahkan, untuk menerapkan mimpi itu, Mahathir dalam kapasitas sebagai pribadi akhirnya mendatangi tokoh-tokoh teknologi informasi seperti Bill Gates. Mahathir benar-benar memanfaatkan pertemuan itu untuk meyakinkan para undangan bahwa pemerintah Malaysia serius mewujudkan visi tersebut. Dari upaya itu, banyak perusahaan teknologi informasi yang menanamkan duit di sana. Akhirnya mimpi tersebut menjadi kenyataan.

Presiden Filipina Fidel Ramos juga berhasil memberikan motivasi kepada warganya dengan melahirkan visi yang sifatnya jangka pendek, yang disesuaikan dengan masa kepresidenan Filipina yang hanya satu masa jabatan. Visi tersebut dinamai Vision 2000, dengan target yang jauh lebih tinggi dari yang bisa dibayangkan tapi tetap memiliki potensi untuk tercapai. Dengan disiplin keras, pemerintah dan rakyat Filipina berhasil mewujudkannya. Dan langkah itu sekaligus melahirkan self fulfilling prophecy. Ramos mengakhiri masa kepresidenannya dengan nama yang harum dan negaranya diwarisi sesuatu yang jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.

Indonesia sebenarnya cukup berhasil membangun negara dengan visi yang demikian. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (25 tahun) diterjemahkan dalam rencana yang lebih pendek, yaitu Rencana Pembangunan Lima Tahun, yang target-targetnya bisa diukur. Sebagaimana kita alami, pembangunan berdasarkan visi tersebut akhirnya membawa Indonesia keluar dari titik nadir di awal masa pemerintahan Orde Baru sampai akhirnya Indonesia dimasukkan ke dalam keajaiban Asia Timur. Bahkan krisis yang begitu menyesakkan beberapa tahun yang lalu tetaplah meninggalkan landasan yang kuat bagi pembangunan berikutnya. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah sesudah ini apa yang akan kita lakukan ke depan. Apakah kita hanya cukup mengikuti alur yang ada atau kita akan menciptakan "garis besar haluan" yang baru?

Pembangunan Ekonomi Berbasis Sumber Daya

Perjalanan saya ke Australia membuat saya tercengang. Australia, dengan wilayah yang sangat luas, berhasil mengembangkan industri pertanian dengan baik. Di mana-mana kita bisa melihat industri peternakan sapi, domba, dan yang lain. Industri pertambangan Australia pun demikian maju dan negara itu juga menghasilkan berbagai ahli di sektor pertambangan tertentu. Sementara itu, industri manufakturnya sendiri tidak terlalu besar mendukung ekspor Australia, bahkan cenderung lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Di industri otomotif, misalnya, Holden cukup minoritas dibandingkan dengan mobil buatan Jepang, Korea Selatan, dan sebagainya. Padahal, pada masa dulu, Holden sempat mengekspor mobil ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Juga industri lain seperti alat-alat rumah tangga (home appliances) dan elektronik. Namun, dengan struktur perekonomian yang demikian, perekonomian Australia tetap sangat kuat dan hal itu sudah berlangsung bertahun-tahun.

Dengan melihat Australia, Indonesia pada pascakrisis rasanya memiliki banyak kemiripan. Kita melihat perkembangan industri gas dan LNG yang cukup pesat dan prospeknya sangat menjanjikan. Ini akan memberikan peluang industri berbasis gas. Ujungnya, kita melihat potensi besar usaha baru, yaitu distribusi gas itu sendiri. Dari potensi gas yang besar ini, ditambah potensi batu bara yang besar, Indonesia berpeluang mengembangkan industri kelistrikan yang kuat. Potensi di industri minyak juga masih ada meskipun produksi terus menurun. Banyaknya investasi baru memunculkan harapan ditemukannya sumber-sumber minyak baru.

Industri batu bara dan aneka tambang lainnya pun memiliki prospek yang baik. Akhir-akhir ini mulai banyak industri pertambangan asing yang berminat kembali ke Indonesia. Tingkat eksplorasi pertambangan umum juga terlihat meningkat. Banyak pihak yang sering heran melihat resiliensi Indonesia. Sebab, setiap kali terjadi sesuatu, Tuhan senantiasa melimpahkan berkahnya dengan kenaikan harga-harga komoditas kita. Karena itu, dari sisi ini saja perekonomian Indonesia masih punya potensi survive.

Sementara itu, dari sumber daya alam yang renewable, kita melihat potensi yang sangat besar dari sektor agrobisnis. Industri kelapa sawit kini berada di zaman keemasannya, yaitu dengan produksi yang terus meningkat. Margin keuntungan dari sawit juga sangat bagus. Perbankan Indonesia pun melihat perkembangan tersebut dengan positif dengan memberikan pembiayaan bagi peremajaan ataupun perluasan kebun mereka.

Di Lampung, kita melihat perkembangan industri peternakan yang berhasil dengan baik. Perusahaan tersebut mengimpor bibit sapi dari Australia dan kemudian menggemukkannya sebelum menjualnya kembali dengan margin yang cukup besar. Perkembangan semacam ini tentunya dapat "ditiru" perusahaan lain. Potensi usaha di sektor udang juga masih besar. Berita yang cukup menggembirakan adalah kesediaan Bank Mandiri menyalurkan kredit bagi petani udang plasma yang mendukung tambak udang inti di Lampung.

Melihat prospek sektor ekonomi berbasis sumber daya itu, rasanya perekonomian Indonesia mampu bergerak lebih cepat pada tahun-tahun mendatang. Dari pengalaman tahun 2003, tampaknya perbankan Indonesia juga sudah melirik sektor ini dan mulai menyalurkan kreditnya secara lebih cepat. Dengan landasan yang demikian, Indonesia tidak perlu berhadapan head to head dengan negara tetangga, apalagi dengan Cina.

Dengan perekonomian yang memungkinkan kita survive, pemerintah memiliki kesempatan mengembangkan sektor lain secara progresif tapi dengan perencanaan yang lebih matang. Karena itu, rasanya penting sekali membuka debat pemikiran dalam beberapa bulan mendatang ini sebagai suatu sumbangan bagi pemerintah baru hasil Pemilihan Umum 2004. Siapa tahu dari debat itu akan muncul suatu Visi 2020 model Indonesia yang mampu mengangkat bangsa ini kembali sejajar dengan negara lain dan mampu membuat mukjizat yang baru.

Rasanya jauh lebih produktif bagi kita untuk secara bersama-sama melakukan debat yang konstruktif mengenai ke mana negara ini akan diarahkan daripada kita menghabiskan waktu untuk saling menyalahkan. Dengan demikian, pemerintah yang baru nanti dapat terbantu dalam mengembangkan visi dan programnya sehingga pada akhirnya dapat menghemat banyak waktu untuk langsung masuk ke pelaksanaannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus