Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH salah satu ironi yang membuat malu para diplomat Indonesia di forum internasional. Setelah bersusah-payah menerangkan keseriusan kita memerangi narkotik di mimbar luar negeri, kini mereka harus menjelaskan pengawasan terhadap tahanan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang tak senapas-seirama dengan "perang besar" di atas.
Khalayak internasional tentu menyimak betapa Indonesia telah menempuh jalan tak populer dengan ketegasannya untuk tetap mengeksekusi mati bandar narkotik. Namun, setelah mempertaruhkan hubungan baik dengan Brasil dan Australia itu, negeri ini seakan-akan meninggalkan kesungguhannya memerangi narkotik pekan lalu: sepuluh tahanan BNN kabur dari penjara.
Genderang perang melawan narkotik nyaring ditabuh, tapi kita masih saja kecolongan. Apalagi insiden itu terjadi tepat di jantung aktivitas antinarkotik: BNN. Adakah Indonesia benar-benar serius? Keseriusan itu baru akan terbukti apabila kita tidak cuma mempersoalkan "akibat" dari kaburnya para tahanan penting narkotik ini—satu dari sepuluh pelarian itu kaki tangan Sylvester Obiekwe, narapidana lembaga pemasyarakatan Nusakambangan yang mengendalikan peredaran narkotik dari dalam penjara.
Sejauh ini BNN telah memberi ultimatum kepada sepuluh tahanan itu agar segera menyerahkan diri. Jika peringatan itu tidak diindahkan, BNN tidak segan-segan memerintahkan tim pemburu menembak mereka. Tentu saja kerja sama yang baik dengan kepolisian, bahkan intelijen, dalam menebarkan efek jera kepada sepuluh buron itu sangatlah menolong operasi penangkapan ini.
Dengan data di tangan, tampaknya tak terlalu susah menjebloskan kembali mereka ke dalam sel, memperberat hukuman, sekaligus menjadikannya pelajaran bagi siapa saja yang berpikir akan menempuh jalan yang sama. Namun haruslah diingat bahwa langkah-langkah itu hanya mencerminkan "akibat" kecelakaan ini, sedangkan "sebab"-nya tetap tak tersentuh.
Tak susah untuk menyimpulkan bahwa penyebab keberhasilan kabur mereka ada di markas BNN sendiri. Pintu dan jeruji sel tahanan tidak ada yang rusak. Kondisi itu menandakan para tahanan keluar-masuk secara bebas dari sel tahanan ke lorong. Di bawah pantauan kamera CCTV, penjagaan pintu besi yang berlapis-lapis, dan para pengawas yang profesional, sulit dipahami mengapa para tahanan itu bisa bergerak sangat bebas: masuk ke lorong yang menghubungkan sel mereka dengan jeruji terakhir.
Seseorang telah memasok untuk mereka gergaji besi buat memotong jeruji di ujung lorong itu, sebelum akhirnya berhadap-hadapan dengan satu tembok tinggi. Mereka memanjatnya, kemudian kabur melalui halaman Rumah Sakit Pusat Otak Nasional, yang bersebelahan dengan gedung BNN. Sulit sekali dipahami mengapa "drama" panjang kaburnya para tahanan ini sama sekali tak tercium atau berlangsung tanpa bantuan dari "orang dalam".
Harus diakui, menangkap para buron itu kembali merupakan keberhasilan. Tapi keberhasilan ini tak akan lengkap jika tak disertai terbongkarnya faktor yang mendukung mereka melarikan diri. Adapun keberhasilan membongkar kerja sama para buron itu dengan orang dalam merupakan hal penting yang akan membantu para diplomat kita menjelaskan bahwa Indonesia serius dalam memerangi peredaran narkotik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo