H.S. Dillon *)
*) Executive Director of the Centre for Agricultural Policy Studies (CAPS)
PEMILIHAN Umum 1999 sudah berlangsung lebih dari setahun lalu. Ada baiknya kita melihat kembali konsistensi partai-partai politik?saya batasi hanya enam parpol?dalam memperjuangkan platform atau program-program mereka agar menjadi suatu kebijakan publik.
Untuk itu, saya akan memfokuskan pembahasan pada platform reformasi ekonomi, khususnya di bidang pertanian dan pertanahan. Berbicara mengenai reformasi ekonomi di bidang tersebut berarti kita membahas persoalan mendasar dan strategis bagi terwujudnya sebuah pembangunan yang berkeadilan, berkemanusiaan, merata, dan bertanggung jawab. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau menjelang Pemilu 1999 lalu, enam partai politik?PDI-P, Partai Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB?memasukkan masalah ini ke dalam platform reformasi ekonomi partainya.
PDI-P, misalnya, menyadari bahwa bagian terbesar dari rakyat Indonesia terdiri atas petani, nelayan, peternak, serta pengusaha nonformal dan tradisional. Maka, partai ini memandang perlu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam menyerap dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian, teknologi biologi, dan teknologi genetika; meningkatkan hasil produksi pertanian; memperluas kesempatan kerja dan lapangan usaha di bidang industri pertanian; memastikan petani dapat menikmati harga dasar produksi pertanian/perkebunan rakyat yang dibeli melalui koperasi; dan menghapuskan pungutan-pungutan wajib, baik yang melalui koperasi maupun yang langsung, yang merugikan petani.
Partai Golkar mencoba menyadari bahwa pembangunan ekonomi yang terlampau menekankan pertumbuhan dengan tulang punggung konglomerasi telah membawa Indonesia ke dalam krisis ekonomi sangat parah. Karena itu, partai ini mendukung upaya seperti menyempurnakan struktur produksi dan jaringan produksi serta mengubah pola konsumsi yang mengarah pada kemandirian nasional; mengatasi krisis pangan nasional melalui keterjangkauan dan daya beli masyarakat serta penetapan lahan pertanian abadi; mengatasi krisis pengangguran dan kemiskinan, antara lain dengan meningkatkan agrobisnis, agroindustri, dan pariwisata; serta upaya lain yang berbasis sumber daya alam dan pertanian.
Selanjutnya PPP, dalam program ekonominya, menyebutkan perlunya pengupayaan swasembada pangan dengan peningkatan produksi dan diversifikasi pangan serta peningkatan produksi bahan kebutuhan pokok lainnya, juga mendorong agar tetap diusahakan proyek padat karya di sektor pertanian.
Sementara itu, PKB, dalam garis perjuangannya, memperjuangkan agar pemerintah melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria secara konsisten dan segera menerbitkan peraturan-peraturan pelaksanaannya yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Bahkan, partai ini juga memperjuangkan agar negara menjamin adanya pengakuan hak milik rakyat atas tanah. Sedangkan PAN menginginkan diselenggarakannya reformasi agraria agar seluruh warga negara bisa memiliki akses terhadap tanah. Penguasaan berlebihan atas tanah mesti dibatasi dan pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria secara konsisten dan pengakuan hak ulayat dapat menjadi langkah awal penataan tanah di Indonesia.
Terakhir, PBB, dalam program umumnya di bidang ekonomi, menyebutkan kewajiban memajukan bidang pertanian, peternakan, dan perikanan serta mengembangkan ekonomi pedesaan sebagai pusat produksi dan agroindustri yang sesuai dengan potensi komoditi di wilayah masing-masing.
Jika program parpol-parpol itu dirangkum, akan didapat suatu konsep pembangunan yang cukup komprehensif dan dapat memecahkan hambatan-hambatan struktural yang ada, seperti menciptakan keterkaitan yang kukuh antara sektor pertanian dan sektor industri, mengatasi masalah kemiskinan tanah di pedesaan melalui pembaruan agraria, mengembalikan koperasi kepada khitahnya, mengoreksi struktur produksi menjadi lebih manusiawi, mewujudkan pola relasi ekonomi yang lebih adil, dan meningkatkan produktivitas petani yang selaras dengan peningkatan kesejahteraannya. Kalau saja seluruh konsep ini dapat diwujudkan ke dalam program pembangunan, kita sudah memenuhi kaidah-kaidah transformasi ekonomi yang semestinya dilalui sebuah bangsa, yaitu meletakkan sektor pertanian dan pembaruan agraria sebagai fundamen pembangunan nasional serta mengalokasikan sebagian besar anggaran pembangunan pada sektor ini.
Nyatanya, dilihat dari pola dasar pemulihan perekonomian nasional saat ini (di bawah paket wejangan IMF dalam letter of intend), kebijakan pertanian nasional masih belum beranjak dari paradigma lama. Kendati krisis telah mengungkapkan peran strategis pertanian dan petani, kebijakan yang ditempuh masih berputar-putar pada masalah intensifikasi, mekanisasi, dan pengadaan bibit. Persoalan mendasar seperti ketimpangan penguasaan tanah, ketidakadilan proses produksi, dan pertukaran komoditi tidak disentuh sama sekali. Pola produksi utama masih tidak berubah, walaupun tanda-tanda awal gerakan petani menuntut keadilan atas pelanggaran hak asasi manusia mulai bermunculan. Dulu, pola produksi utama ditempuh melalui mekanisme contract farming (pola inti-plasma), sedangkan sekarang melalui mekanisme corporate farming. Model yang katanya "terbaru" ini, baik secara teoretis maupun praktis, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Cukup banyak hasil studi dan pengalaman empiris yang membuktikannya.
Mari kita lihat bagaimana realitas kehidupan sosial ekonomi rakyat Indonesia dewasa ini. Di pedesaan, ada sekitar 22,8 juta rumah tangga petani yang memiliki tanah kurang dari 1 hektare. Sekitar 50 juta rakyat bergumul dengan nasibnya sebagai petani, buruh tani, pengusaha kecil, dan perajin kecil. Perkembangan indeks nilai tukar petani pun bergerak statis, bahkan cenderung merosot, selama era reformasi ini. Sedangkan di sektor perkotaan, ada lebih dari 55 juta jiwa rakyat yang membanting tulang selaku pelaku ekonomi usaha kecil di sektor informal. Jika hal ini kita kaitkan dengan masalah merosotnya harga dasar gabah baru-baru ini, misalnya, terlihat betapa buruknya kinerja pemerintahan ini dan betapa tidak pedulinya mereka dengan kepentingan nasib mayoritas rakyatnya. Perlu diketahui, ketika pemerintah menetapkan harga dasar gabah, pencapaian harga dasar itu sepenuhnya menjadi hak petani untuk memperolehnya dan pemerintah wajib mengamankannya.
Semua itu menunjukkan bahwa pola pemulihan ekonomi yang ditempuh tidak akan berhasil mengangkat harkat dan martabat rakyat dari keterpurukannya. Pola pemulihan seperti itu jelas tidak adil dan tidak manusiawi. Selagi kerangka kerja dasar pembangunan nasional masih menggunakan paradigma lama, masa depan sistem pertanian nasional yang berkeadilan, berkemanusiaan, dan berkelanjutan akan sulit terwujud. Lantas, di manakah konsistensi sikap partai-partai politik dalam memperjuangkan artikulasi kepentingan rakyatnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini