Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Matikah Reformasi?

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saiful Mujani *) *) Peneliti PPIM-IAIN Jakarta KOLOM Vedi R. Hadiz dalam majalah ini tentang telah matinya reformasi kita menarik untuk ditanggapi. Intinya, Vedi percaya bahwa reformasi kita telah koma bahkan sejak awal dimulainya, yakni ketika Habibie menggantikan Soeharto. Pasalnya, elite politik sejak awal reformasi telah menolak apa yang disebut "reformasi total" yang diinginkan mahasiswa. Elite baru lebih memilih jalan gradual dalam reformasi ini. Dalam reformasi politik, yakni membangun orde politik demokratis, saya tidak berkesimpulan demikian; tidak punya bukti tentang hubungan pilihan gradual dalam proses reformasi dengan kematiannya, apalagi mengenai dampak pilihan reformasi total bagi kelangsungan reformasi itu sendiri. Sebaliknya, saya berspekulasi, kalau waktu itu aspirasi kelompok mahasiswa tertentu yang menuntut reformasi total diakomodasi kelompok elite oposisi, apa yang akan kita saksikan dalam dua tahun terakhir mungkin suatu pemerintahan yang jauh dari demokrasi. Tidak tertutup kemungkinan muncul perlawanan secara lebih intensif dan luas terhadap reformasi dari kekuatan-kekuatan lama sehingga terjadi kekacauan sosial politik yang lebih hebat. Demokrasi kemudian berubah menjadi anarki. Ujungnya, orang kuat kembali mendapat tempat. Dibutuhkan waktu, tidak cukup satu atau dua tahun, untuk membersihkan sisa-sisa pemerintahan dan kelembagaan politik lama. Ini tidak berarti kinerja pemerintahan sekarang sepenuhnya harus diterima. Tapi kita cukup bisa membedakan mana yang telah dan belum dicapai. Adanya kebebasan berpartai, pemilu yang relatif demokratis, kebebasan demonstrasi damai, dan kebebasan pers harus diakui sebagai capaian positif dalam politik kita sekarang. Tentu ini baru satu tahap. Dan kita boleh berharap akan ada tahap-tahap berikutnya, misalnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Termasuk penggantian presiden atau elite dari lembaga negara yang lainnya kalau kinerja mereka memang menghambat reformasi gradual ini. Tahapan itu pun mungkin sirna ditelan waktu kalau saja aspirasi reformasi total diterima kelompok oposisi pada awal reformasi. Pilihan atas reformasi gradual oleh elite oposisi ketika itu dimungkinkan karena tidak ada desakan dari mayoritas massa untuk melakukan reformasi total. Desakan itu terbatas, terutama hanya dari mahasiswa, dan bahkan barangkali hanya kelompok tertentu dari mahasiswa tersebut. Kalau ini benar, saya cenderung mengatakan bahwa massa kita cukup kondusif bagi reformasi politik, bagi konsolidasi demokrasi, bagi proses pelembagaan demokrasi hingga ia menjadi satu-satunya aturan politik di negeri kita. Mungkin kita perlu mengambil pelajaran dari negara lain bagaimana dampak dari massa dan elite yang menghendaki perubahan gradual versus perubahan revolusioner terhadap konsolidasi demokrasi. Belajar semacam ini barangkali membantu karena kita tidak cukup punya pengalaman berdemokrasi. Konsolidasi demokrasi yang terjadi di negara yang sekarang kita kenal sebagai negara demokrasi maju seperti di Eropa Barat dan Amerika Utara, ternyata, berkaitan dengan sikap politik masyarakat negara-negara ini yang mayoritas menghendaki perubahan secara gradual, bukan radikal. Preferensi masyarakat pada perubahan radikal ternyata berkorelasi negatif dengan konsolidasi demokrasi (Inglehart, 1988). Ketika kasusnya diperluas ke sejumlah negara Amerika Latin, dampak preferensi masyarakat pada perubahan gradual tetap kuat dan positif terhadap konsolidasi demokrasi. Artinya, negara yang mayoritas masyarakatnya menghendaki perubahan secara gradual lebih mendukung bagi konsolidasi demokrasi negara tersebut. Sebaliknya, bila mereka menghendaki perubahan radikal, demokrasi yang ditanamkan di negeri tersebut cenderung tidak mengalami konsolidasi (Muller dan Seligson, 1994). Temuan ini tentu saja belum tentu relevan buat kita di Tanah Air. Tapi menghubungkan kematian reformasi dengan pilihan reformasi gradual oleh elite oposisi merupakan spekulasi yang kurang beralasan. Memang ada masalah teknis di sini: apakah "perubahan gradual" yang dimaksudkan dalam studi-studi di negara lain sama dengan kata "reformasi gradual" yang digunakan dalam perbincangan di kalangan intelektual dan politisi di Tanah Air? Di samping itu, di Tanah Air juga sering digunakan istilah yang bagi saya agak aneh: "reformasi total". Lalu, apa bedanya "reformasi total" dengan "revolusi"? Kalau ia secara spesifik dikaitkan dengan keharusan menerapkan reformasi total pada saat awal Habibie berkuasa, "reformasi total" dalam waktu yang pendek ini susah dipisahkan dengan tuntutan perubahan revolusioner. Reformasi politik pada dasarnya merupakan penataan kelembagaan politik secara bertahap, tapi cukup pasti, hingga demokrasi punya landasan kelembagaan untuk terkonsolidasi. Sampai sekarang, kita masih menunggu hasil kerja Panitia Ad Hoc MPR yang bertugas menyiapkan draf Amandemen UUD 1945. Belakangan, desakan agar dilakukan desain ulang konstitusi negara kembali dikumandangkan, misalnya oleh Forum Demokrasi. Tidak mungkin kita bisa berharap pada revolusi sosial untuk melakukan ini. Kita punya wakil rakyat yang dipilih secara demokratis. Dengan segala kekurangannya, merekalah yang paling realistis dan sah untuk melakukan desain ulang tersebut. Kalau ada akademisi atau intelektual independen yang kompeten di bidang itu, kontribusi substantif mereka kepada tim ini tentu akan sangat membantu. Reformasi gradual yang kondusif bagi terkonsolidasinya demokrasi kita harus ditunjang oleh sikap dan perilaku moderat elite dan massa. Tiap tahun harus ada prioritas apa yang mesti diperbaiki oleh pemerintah di samping mengembangkan dan mempertahankan hal-hal yang positif yang telah dicapai. Tidak realistis dilakukan perbaikan secara total dalam waktu yang cepat. Reformasi kita belum mati. Masih ada kesempatan untuk menggerakannya walapun terus dibayangi mendung kinerja pemerintah yang masih lemah di hampir semua sektor. Optimisme terhadap masa depan reformasi, di samping sikap kritis, terutama terhadap pemerintah, dibutuhkan untuk memperpanjang umur reformasi itu sendiri. Bila tumbuh dalam mayoritas masyarakat kita, optimisme dan sikap kritis ini barangkali menjadi modal psikososial yang kondusif bagi kelangsungan reformasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus