Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jurnalisme Kuliner

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Susanto Pudjomartono

  • Wartawan senior, penggemar makan enak

    Tahu artinya jeniper? Bukan, ini tidak ada hubungannya dengan si bintang cantik Jennifer Lopez. Jeniper adalah singkatan jeruk nipis peres.

    Ini memang pelesetan baru yang muncul dari jurnalisme kuliner Indonesia, yang kini sedang tumbuh pesat. Begitulah, rasa bumbu tertentu yang kuat dalam makanan disebut nendang. Dan makanan yang ciamik rasanya dikategorikan mak nyus. Di Surabaya ada warung rawon yang lokasinya di dekat tempat pemakaman dan disebut Rawon Mayit. Di Jakarta sekarang banyak angkringan, mengikuti model Yogyakarta, yang menyediakan sego kucing, sebungkus nasi yang porsinya kecil. Sedangkan oseng-oseng yang amat pedas dijuluki oseng-oseng granat.

    Sebagian besar informasi itu muncul dalam acara Wisata Kuliner yang menginformasikan restoran, warung, atau angkringan mana kita bisa jajan. Acara atau rubrik itu tampaknya amat populer sehingga beberapa pengasuhnya sekarang dianggap sebagai selebriti, seperti William Wongso dan Bondan Winarno.

    Bagi para wartawan, berkembangnya jurnalisme kuliner memberikan pilihan sekaligus tantangan baru untuk menulis atau menyiarkan feature yang ringan, menarik, dan enak ditonton atau dibaca. Populernya acara atau rubrik ini, serta booming bisnis makanan, menunjukkan bahwa kebangkitan kuliner Indonesia sedang terjadi. Merupakan berkah bahwa bangsa kita terdiri atas ratusan etnis yang masing-masing punya masakan yang khas sehingga ada ribuan jenis makanan yang bisa kita nikmati bersama.

    Jika sering dikatakan bahwa cinta antara pria dan wanita bisa tumbuh lewat perut, makanan juga bisa berfungsi sebagai perekat rasa cinta tanah air. Berbeda makanan dan selera tapi tetap satu bangsa. Dalam soal makanan, kini tidak ada masalah ”selera daerah” atau sentimen kesukuan. Banyak restoran Padang atau restoran Manado yang juru masak dan pengelolanya orang Jawa, dan sebaliknya. Pengunjungnya datang dari segala etnis.

    Jakarta sekarang juga bukan hanya ibu kota negara, tapi sudah menjadi ibu kota masakan Nusantara. Di Jakarta kini tidak sulit mencari gulai ikan hiu dari Aceh, cakalang woku dari Manado, sup konro dari Makassar, sate lilit dari Bali, gulai bebek Padang, apalagi kalau ”hanya” gudeg Yogya, pepes ikan mas Sunda, dan rawon Jawa Timur serta masakan Cina.

    Hebatnya, berbagai jenis slow food lokal tersebut dapat menyaingi berbagai makanan cepat saji (fast food) Barat yang sejak belasan tahun lalu telah menyerbu Indonesia. Aneka makanan ”impor” tersebut kini telah dibumbui warna lokal. Maka kita bisa membeli ”ayam Kentaki” di pinggir jalan, seperti juga burger, pizza, dan ”Holan Bakri”.

    Yang kini juga membanjir adalah banyaknya penerbitan kuliner, buku resep makanan, juga populernya demo dan kursus memasak. Betapa jauhnya kita telah melangkah dibanding beberapa puluh tahun silam. Pada akhir 1950-an dan 1960-an, hanya ada majalah Star Weekly yang memuat rubrik resep makanan (diasuh oleh Nyonya Rumah—yang hingga kini masih aktif). Baru pada 1967 Departemen Pertanian (di bawah Menteri Sutjipto) menerbitkan buku kumpulan ratusan resep masakan se-Indonesia, yang tebalnya hampir sepuluh sentimeter. Hal ini menandai lahirnya ke-Indonesia-an makanan kita.

    Tapi jurnalisme kuliner di Indonesia baru bisa dikatakan benar-benar lahir di koran berbahasa Inggris, The Jakarta Post, pada akhir 1980-an. Pengasuhnya memakai nama samaran Epicurus, nama dewa Yunani yang mengagungkan hedonisme. Isinya kebanyakan berupa resensi restoran yang ditulis dengan sangat menarik, sering agak sinis tapi tak membuat marah.

    Sebagai bagian dari jurnalisme, jurnalisme kuliner dengan sendirinya perlu menjunjung kaidah-kaidah jurnalistik, seperti sikap obyektif dan impartial. Penulis atau presenter acara kuliner semestinya menghindari kesan bahwa tulisan atau acaranya berbau sponsor, kecuali kalau acara atau rubrik itu memang tergolong advertorial.

    Dengan begitu, semestinya ia harus menghindari ucapan atau istilah seperti ”harus dicoba” atau ”wajib dikunjungi”. Penulis atau pembawa acara tentu telah memilih restoran tertentu dengan beberapa pertimbangan. Tapi ia tidak perlu mempromosikannya secara berlebihan. Ia harus memberikan informasi yang obyektif dan wajar kepada para pemirsa atau pembaca untuk membantu mereka memilih sendiri.

    Dengan begitu, ia bertindak sebagai semacam penilai yang netral. Mungkin lebih baik jika ia memberikan ”tanda bintang”, dari satu sampai lima, misalnya, atas tiga hal utama: kualitas makanan, cara pengolahan, dan cara penyajiannya. Mengenai cara penyajian ini, banyak penulis dan pembawa acara kita kurang mengulasnya. Mungkin karena faktor ketidaktahuan, atau terlalu menekankan soal rasa, atau karena saat ini kebanyakan makanan Indonesia memang bukan jenis fine dining.

    Satu hal lain dalam jurnalisme kuliner di Indonesia adalah masih kurang diperhatikannya segi etika dan estetika. Di sini kita mungkin perlu belajar dari Andrew Zimmern, pengasuh acara Bizarre Foods di berbagai stasiun televisi internasional. Jika ia makan oseng-oseng atau semur iguana, misalnya, ia tidak sampai mempertontonkan bagaimana hewan mirip tokek itu dikuliti dan dirajang-rajang. Sebagai perbandingan, ada satu stasiun televisi kita yang dalam menyajikan acara Makanan Ekstrim menunjukkan bagaimana seekor kuda disembelih dan dibocel-bocel sebelum dagingnya dimasak dan disantap.

    Jurnalisme kuliner kita memang masih muda dan hal itu toh kelak bisa diperbaiki. Kebanyakan tulisan dan penyajian acara jurnalis kuliner kita saat ini memang masih dalam tahap ”jurnalisme icip-icip”. Atau secara kuliner masih dalam tahap appetizer (makanan pembuka), belum memasuki main course (makanan utama), apalagi sampai dessert (makanan pencuci mulut).

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus