Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewi Anggraeni
Minggu pagi dua pekan lalu, ketika warga Australia bangun tidur, mereka berada dalam era baru.
Setelah 11 tahun memegang kendali pemerintahan, perdana menteri Partai Liberal John Howard, yang memimpin pemerintahan koalisi Liberal-Nasional, terpaksa minggir dan menyerahkan kursi kekuasaan kepada Kevin Rudd, pemimpin Partai Buruh.
Sampai saat terakhir pengambilan suara, kalau ingin jujur, tidak ada yang pasti siapa yang akan menang.
Memang, kalau kita melihat potret makro dari saat-saat kampanye maupun kanvas politik sebelumnya, antara John Howard dan Kevin Rudd, tidak banyak bedanya.
Dua-duanya konservatif, dan dalam isu sekuriti perbatasan yang sangat erat kaitannya dengan upaya memerangi terorisme, Rudd tidak memberikan alternatif berarti. Dengan kata lain, Rudd setuju bahwa Australia harus tegas dalam kebijakan imigrasinya, persis seperti yang dilaksanakan pemerintah Howard. Ketika seorang dokter muda dari India dituduh terlibat dalam aksi teror di Skotlandia dan ditahan berminggu-minggu dengan menggunakan undang-undang antiterorisme baru, Rudd juga tak melancarkan protes. (Si dokter kemudian dibebaskan dari tuduhan tapi visanya dicabut atas instruksi Menteri Urusan Imigrasi).
Dalam anggaran negara yang diumumkan pada Mei lalu, tidak ada yang menonjol dan berbeda dalam anggaran alternatif yang diajukan Partai Buruh. Bahkan Rudd beberapa kali dikutip media mengimbau para pendukung Partai Liberal yang khawatir harta milik dan pendapatannya akan menciut kalau Partai Buruh menang, bahwa dia akan melindungi posisi dan milik mereka, dan bahwa dalam pengelolaan ekonomi, dia tidak kurang konservatifnya dari Howard.
Mengingat bahwa kesehatan ekonomi dan sekuriti perbatasan adalah dua isu yang telah membantu Howard mempertahankan kursi kekuasaannya pada pemilu lalu, bisa dimengerti kalau Rudd tidak mau menimbulkan ombak terlalu besar. Apalagi kalau kita berpaling tidak jauh ke belakang, dan melihat apa yang terjadi pada Mark Latham, pemimpin oposisi yang suka sekali membuat kaget dan menginjak kaki orang-orang yang punya peran dalam menentukan nasibnya (dia ditendang keluar oleh partainya sendiri).
Kemiripan Rudd and Howard ini tampak pada sikap-sikap lain. Ketika didesak, Rudd tidak mau menjamin bahwa pemerintah Partai Buruh di bawah pimpinannya akan melaksanakan rekonsiliasi simbolis dengan kaum Aborigin.
Nah, kalau Rudd begitu mirip dengan Howard, mengapa susah-susah mengganti pemerintahan? Bukankah lebih baik berpegang setia pada yang kita kenal, daripada mengambil risiko dengan yang tidak kita kenal? Begitu di satu pihak banyak orang berkomentar. Di lain pihak, para pendukung tradisional Partai Buruh meliriknya dengan rasa curiga, bahkan merasa dikhianati.
Benar, Rudd tidak setuju dengan Undang-Undang Hubungan Industri dan Pekerja yang diberlakukan Howard, undang-undang yang menurut para pekerja menghapus perlindungan terhadap hak-hak mereka. Tidak ada lagi, umpamanya, klausul yang melarang penghentian hubungan kerja tanpa sebab yang kuat. Undang-undang yang dikenal dengan nama populer ”Pilihan Kerja” ini, menurut para pekerja, sangat meremehkan situasi dan posisi mereka. Karena serikat buruh tidak lagi punya wewenang untuk memaksakan peraturan mereka, negosiasi kolektif yang diandalkan para pekerja kasar yang sewaktu-waktu dapat diberhentikan jadi kehilangan ototnya.
Yang membuat pendukung tradisional Partai Buruh gregetan, Rudd bukan tidak setuju pada seluruh isinya. Dia bersedia memperlunak bagian-bagian kerasnya. Sikap Rudd ini perlu dilihat dalam konteks lebih luas. Undang-undang ini memberikan perlindungan kepada para pengusaha kecil menengah, yang megap-megap kalau harus ke pengadilan atau membayar santunan yang mencekik setiap kali mereka mengurangi sumber daya manusianya. Dan Rudd, seperti juga Peter Costello, bendahara koalisi yang baru kehilangan posisinya, berpendapat bahwa ekonomi negara justru sangat bergantung pada pengusaha kecil-menengah—sementara pengusaha besar juga harus diajak berteman. Rudd ingin membuktikan kepada para calon pemilih yang belum menentukan sikap (swinging voters), bahwa dia punya pengertian ekonomi yang sehat.
Dalam isu lain, sikap Rudd yang tidak menentang keterlibatan Australia dalam perang di Irak, serta tidak mengecam perlakuan keras terhadap para pengungsi dan korban tuduhan terorisme, diejek para pendukung Partai Buruh yang mengharapkan sikap yang lebih tegas, sehingga dia dijuluki ”Saya Ikutan Juga”.
Sesungguhnya ada perbedaan yang signifikan antara Rudd dan Howard. Yang paling menonjol ialah dalam kebijakan terhadap gejala penghangatan bumi dan perubahan drastis iklim. Rudd selalu menegaskan bahwa kalau terpilih pemerintahnya akan menyetujui Protokol Kyoto. Sedangkan Howard berkeras menolak. Alasan yang disebutnya, dia tidak mau merugikan kepentingan bisnis di Australia. Tapi, menurut yang sinis, ini karena Howard tidak bisa memisahkan diri dari Bush. Amerika Serikat menolak, maka Australia pun harus menolak.
Rudd jauh lebih muda, 50 tahun, dan jurus kiblatnya tidak terkunci pada Amerika Serikat semata-mata. Dia fasih berbahasa Mandarin. Dan ketika Hu Jin Tao berkunjung, dia mempertunjukkan keterampilannya ini dengan menyambutnya dalam bahasa Mandarin, sehingga membuat wajah Hu waktu itu bagai berbunga-bunga. Pengetahuannya tentang kawasan ASEAN tampil lebih padat, yang didapatnya dari penempatannya di negara-negara tersebut dalam karier masa lalunya sebagai diplomat.
Dalam hubungan diplomasi internasional, Rudd tampil lebih berani berdiri di luar radius pengaruh Amerika Serikat, dan mengarahkan lampunya sendiri ke kawasan Asia dan Asia Tenggara. Namun ini semua baru spekulasi dan prediksi. Belum terbukti. Pemerintahannya baru mulai.
Pada saat-saat terakhir kampanyelah pergeseran kekuatan ke sisi Rudd mulai tampak. Lucunya, bukan karena Rudd kian lama kian meyakinkan dalam janji-janjinya, tapi karena ulah kubu Howard sendiri.
Howard dan anggota parlemennya makin lama makin menunjukkan tingkah laku panik dari pihak yang merasa kehilangan pegangan. Mereka membuat pernyataan berlebihan, melontarkan sejumlah tuduhan yang membuat orang tertawa, bahkan melakukan beberapa perbuatan penipuan.
Memang, sejak Kevin Rudd terpilih menjadi pemimpin oposisi hampir setahun silam, sudah kelihatan kekhawatiran pada kubu John Howard. Umpamanya mereka tidak henti-hentinya mencari noda hitam pada citra Rudd, yang pada umumnya tampil bersih. Upaya ini begitu transparan sampai ada kartun yang menggambarkan mata-mata yang disebar untuk mencari bahan mencemarkan Rudd, kembali dengan laporan-laporan konyol seperti, ”Dia tertangkap basah membolos dari sekolah minggu”, atau ”Dia berbohong pada ibunya”.
Waktu mereka mendapatkan bahwa perusahaan penempatan sumber daya manusia yang dikelola istri Rudd, Therese Rein, membayar beberapa karyawannya di bawah gaji minimum, berita itu dikeluarkan dengan bunyi genderang. Rein segera mengundurkan diri dari perusahaannya, dan publik pun kehilangan minat sesudah itu. Lalu seorang anggota parlemen senior dari kubu Howard mendapatkan ”rahasia” bahwa Rudd, dalam kunjungannya ke New York, pernah mengunjungi sebuah strip-club. Ini pun tidak manjur, karena selain ada pernyataan dari pemilik strip-club-nya yang mengatakan, Rudd hanya tinggal sebentar di klubnya dan sama sekali tidak menunjukkan tingkah laku yang tidak layak, banyak juga yang menulis surat ke koran, dan menelepon program radio talkback, bahwa mengunjungi strip-club bukan suatu noda.
Misi yang gagal satu demi satu ini tidak juga menyadarkan pihak yang sudah terlanjur bernapsu ini.
Rudd dan wakilnya Julia Gillard dituduh sebagai ekstremis yang bersekongkol untuk ”menyelundupkan” kembali serikat-serikat buruh yang menjadi sumber prihatin para pengusaha. Ini sukar ditelan, apalagi dari pihak serikat buruh sendiri ada tokoh-tokoh yang tidak menyembunyikan kemarahan dan kebenciannya pada Rudd dan Gillard, yang mereka anggap pengkhianat.
Upaya penghitaman berjalan terus. Beberapa hari sebelum pengambilan suara di sebuah elektorat New South Wales didapatkan selebaran-selebaran yang berkop surat sebuah organisasi muslim (yang kemudian ternyata tidak ada) yang mengatakan bahwa Partai Buruh punya kaitan erat dengan aliran Islam ekstrim. Dari saksi-saksi mata diketahui bahwa para penyebarnya keluar dari kantor Partai Liberal dalam elektorat itu. Kendati kemudian dikecam resmi oleh Howard, kerusakan sudah terjadi. Kian tipis kredibilitas mereka.
Ujung-ujungnya, Partai Buruh yang hanya membutuhkan 16 kursi dalam parlemen untuk menang, malah mendapatkan 22 kursi, dan sampai saat ini, penghitungan masih berlangsung. Yang lebih mengenaskan lagi buat Howard, dia kehilangan kursinya pada elektoratnya sendiri, Bennelong, yang jatuh ke tangan Maxine McKew dari Partai Buruh.
Menariknya, sesudah menang, Rudd baru berjanji akan minta maaf resmi kepada kaum Aborigin, atas kebijakan yang memisahkan anak-anak dari ibu mereka (stolen generation).
Sementara itu, Partai Demokrat kian redup bintangnya, sedangkan Partai Hijau naik daun. Mungkin sikap Partai Hijau yang pantang kompromi dalam isu penghangatan bumi kini mendapat perhatian serius dari publik Australia. Suatu fenomena sosial yang luput dari perhatian kubu Howard.
Kelemahan Partai Buruh, kebijakannya belum banyak diketahui. Bahwa rakyat masih memilihnya, barangkali itu mencerminkan rasa jenuh mereka pada pemerintahan koalisi Partai Liberal-Nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo