Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERETAN mobil baru itu diselimuti debu. Kaca depannya yang ditempel kertas bertulisan TNI-AD pun memburam. Dibariskan di halaman belakang gudang 101 kompleks Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, mobil-mobil itu sudah teronggok hampir tiga pekan di sana.
Aparat Bea dan Cukai menahan mobil bermerek Isuzu OZ yang diimpor langsung dari Jepang itu pada 8 November lalu. Penyebabnya, mobil yang ditujukan ke Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu tak sesuai dengan dokumen yang menyertainya. Ditulis dalam surat sebagai ambulans, ternyata 35 mobil itu berjenis pick-up.
”Kami sedang menunggu klarifikasi dari Markas Besar TNI Angkatan Darat soal status mobil ini,” kata Agung Kuswandono, Kepala Kantor Bea Cukai Tanjung Priok, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Pembelian mobil itu dilakukan dengan dasar kontrak antara Angkatan Darat dan PT ME, sebuah perusahaan yang berkantor di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, sebagai rekanan. Mobil itu tiba di Pelabuhan Tanjung Priok pada pertengahan September lalu.
Kejanggalan mulai tercium ketika Asisten Logistik KSAD, Mayor Jenderal Kardiyono, pada 28 September mengirim jaminan tertulis untuk melunasi semua bea masuk, cukai, denda administrasi, bunga, dan pajak senilai Rp 8 miliar lebih. Menurut sumber Tempo, surat itu aneh. ”Kalau benar untuk kepentingan dinas TNI-AD, mestinya yang dikirim surat pembebasan bea masuk,” katanya.
Seorang pejabat di lingkungan Departemen Keuangan menyebutkan, pelanggaran dokumen impor seperti ini sangat serius. Ancaman untuk pelakunya, menurut pejabat yang menolak disebutkan namanya itu, bahkan bisa ke hukuman pidana.
Sebuah laporan yang dikirim ke parlemen menyebutkan, perusahaan rekanan impor mobil Angkatan Darat ini adalah kerabat KSAD Jenderal Djoko Santoso. Tapi Djoko mengatakan, sejak menjadi KSAD telah melarang saudara-saudaranya ikut proyek di lingkungan Angkatan Darat. ”Saya perintahkan, kalau ada yang ikut, agar dia keluar,” kata jenderal bintang empat itu.
Penyelundupan? Jenderal Djoko juga membantahnya. ”Itu proyek resmi pengadaan ambulans untuk tahun ini. Isinya bukan mobil mewah, tapi mobil pick up yang akan dikaroserikan menjadi ambulans,” katanya. ”Tidak ada permainan, ini sedang dalam proses penyelesaian.”
Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto memiliki cara untuk menyelesaikan kisruh mobil ini. ”Saya minta Kepala Staf Umum dan Asisten Logistik KSAD untuk mengekspor kembali mobil itu. Saya minta semua dikembalikan ke kontrak: kalau tertulis ambulans, harus ambulans,” katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Djoko menyatakan telah membahas impor mobil yang bermasalah ini dengan KSAD dan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin. Ia mengaku bahkan telah memberikan sanksi kepada seorang staf di Badan Perbekalan dan Angkutan TNI yang dianggap bersalah dalam kasus ini.
Kisruh pembelian mobil Jepang ini bisa jadi merupakan satu-satunya ganjalan bagi pencalonan Jenderal Djoko Santoso menjadi Panglima TNI. Pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan alumni Akademi Militer 1975 itu sebagai calon ”Cilangkap-1” ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Sejumlah politikus anggota Komisi Pertahanan di parlemen menyatakan akan mempersoalkan hal ini pada saat uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI, Rabu pekan ini. Pada Jumat pekan lalu, kasus ini juga sudah dibahas dalam rapat internal komisi itu. ”Kalau KSAD betul terlibat, harus diusut sebelum dia dilantik menjadi Panglima TNI,” kata Soetardjo Soerjogoeritno, Wakil Ketua DPR.
Di luar soal mobil, pencalonan Djoko Santoso bisa dikatakan mulus. Menurut Marsekal Djoko Suyanto, Markas Besar TNI mengajukan tiga perwira ke Presiden: Djoko Santoso, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Soemardjono, dan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Herman Prayitno.
Djoko Suyanto berkisah, pada awal November lalu ia berkirim surat ke Presiden. Isinya, pemberitahuan bahwa ia akan segera pensiun akhir bulan ini. Pada Ahad pekan lalu, Suyanto berulang tahun ke-57. ”Saya meminta kepada Presiden agar menentukan calon pengganti saya,” tuturnya kepada Tempo. ”Ketiga kepala staf angkatan memiliki peluang yang sama.”
Seorang perwira tinggi mengatakan, promosi Djoko Santoso sebetulnya sudah bisa dibaca pada saat pengangkatan Laksamana Soemardjono menjadi Kepala Staf Angkatan Laut, bulan lalu. Dari segi rotasi antar-angkatan, menurut dia, KSAL berpeluang menjadi Panglima TNI. Tapi tidak dari segi umur, karena Soemardjono akan pensiun pertengahan tahun depan.
Walau semua kepala staf angkatan berpeluang menjadi calon panglima, Marsekal Djoko Suyanto mengakui, Santosolah yang paling bisa dipilih dari segi usia. ”Pak Soemardjono akan pensiun pada Juni 2008, dan Pak Herman Prayitno pada Februari 2008,” kata mantan Kepala Staf Angkatan Udara itu.
Djoko Santoso juga memiliki riwayat kedekatan dengan Presiden Yudhoyono. Kerja sama mereka berawal pada 1995, ketika Djoko menjadi Asisten Sosial Politik Kodam Jaya. Ketika itu Yudhoyono adalah Kepala Staf Kodam Jaya, atasan Djoko.
Pada 1997, Djoko Santoso kemudian menjadi Komandan Korem Pamungkas, Yogyakarta, yang sebelumnya ditempati Yudhoyono. ”Dia dianggap bisa mengamankan jaringan SBY di Yogyakarta,” kata seorang purnawirawan perwira tinggi.
Setahun kemudian, Djoko Santoso menjadi Wakil Asisten Sosial Politik Kepala Staf Sosial Politik ABRI. Atasan Djoko saat itu juga Yudhoyono. Ia bahkan tetap menjadi asisten Yudhoyono ketika jabatan Kepala Staf Sosial Politik ABRI dilikuidasi dan diubah menjadi Kepala Staf Teritorial.
Menurut sumber Tempo, Djoko Santoso berjasa besar untuk Yudhoyono dalam pemilihan presiden 2004. Djoko, yang saat itu menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat di bawah Jenderal Ryamizard Ryacudu, dinilai bisa memagari jajarannya agar tidak condong ke Megawati Soekarnoputri, pesaing Yudhoyono dalam putaran kedua pemilihan.
Karena kedekatan keduanya, tak mengherankan bila muncul tudingan bahwa pengangkatan Djoko Santoso merupakan usaha Yudhoyono memuluskan peluangnya dalam pemilihan presiden 2009. Dimintai konfirmasi tentang hal ini, Marsekal Djoko Suyanto menyangkalnya. ”Proses regenerasi di TNI jangan dipandang dengan kaca mata politik,” ia meminta.
Kusnanto Anggoro, peneliti CSIS, pun meragukan spekulasi pencalonan Jenderal Djoko Santoso dilakukan untuk memuluskan jalan Yudhoyono, dua tahun mendatang. ”Komando di daerah mempunyai dinamika sendiri, yang bisa bertindak relatif independen dari perintah atasan,” katanya.
Parlemen pun tidak tertarik dengan isu hubungan politik ini. Menurut Djoko Susilo, anggota parlemen dari Partai Amanat Nasional, Komisi Pertahanan akan lebih banyak mengetahui wawasan calon panglima dalam pembangunan militer ke depan. ”Selain komandan, panglima adalah manajer. Jadi, kami perlu mengetahui kedalaman wawasannya,” katanya.
Jika begitu, satu-satunya yang mengganjal Djoko Santoso hanyalah kisruh impor mobil ambulans yang kini tertahan di Tanjung Priok.
Budi Setyarso dan Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo