Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kabinet SBY dan Presidensial di Indonesia

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Kabinet SBY dan Presidensial di Indonesia
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Denny Indrayana
  • *) Pengajar hukum tata negara UGM dan kandidat doktor di University of Melbourne

    Pekan ini kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diumumkan. Banyak orang bertanya-tanya: siapa saja pengisi kabinet SBY itu. Apakah Susilo hanya akan menyertakan para pendukungnya (Koalisi Kerakyatan)? Ataukah dia juga akan merangkul lawan politiknya (Koalisi Kebangsaan) demi menjaga posisinya di parlemen yang didominasi oleh persekutuan Kebangsaan itu?

    Saya ingin melihat soal ini dari kacamata sistem presidensial. Di Indonesia ada tiga jenis sistem pemerintahan presidensial, dipandang dari sisi distribusi kekuatan politik di lembaga kepresidenan dan di parlemen. Ketiganya adalah presidensial, presiden sial dan presiden sialan.

    Presiden sial (minority presidential) adalah presiden yang disokong suara minoritas di parlemen. Pemerintahan yang terjadi adalah pemerintahan terbelah (divided government). Kekuatan politik terpecah antara presiden dan parlemen. Menurut Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart (Presidentialism and Democracy in Latin America), presiden sial lebih mungkin terjadi jika sistem presidensial dipadukan dengan sistem multipartai.

    Presiden sialan (majority presidential) adalah presiden yang didukung suara mayoritas mutlak di parlemen. Pemerintahan yang terjadi adalah pemerintahan kolutif (unified government). Kekuatan politik memusat di
    tangan presiden, dan parlemen hanya menjadi  "macan ompong". Presiden sialan lebih mungkin terjadi dalam sistem presidensial yang berpadu dengan sistem monopartai, atau didominasi oleh satu partai.

    Presiden Abdurrahman Wahid adalah contoh nyata presiden sial. Wahid hanya disokong PKB, yang hanya memegang 11 persen kursi di DPR. Akhirnya, Wahid dijatuhkan.

    Presiden Soeharto adalah contoh dari presiden sialan. Secara resmi di masa Orde Baru memang ada tiga partai, tetapi PPP dan PDI hanyalah "partai pelengkap penderita" karena nyatanya Golkarlah yang berkuasa.

    Beberapa kalangan berpendapat SBY akan menjadi presiden sial. Saya berbeda pendapat. Kepribadian SBY, aturan konstitusi, dan arah koalisi tampaknya akan menyebabkan SBY dapat bertahan sebagai presiden 2004-2009.

    Secara formal, SBY memang presiden sial. Modal awal SBY hanya 55 kursi Partai Demokrat, 10 persen kursi di DPR, lebih sedikit daripada persentase kursi PKB yang mendukung presiden sial Wahid. Namun, pribadi SBY berbeda dengan Wahid. SBY lebih akomodatif, sikap politik yang diperlukan oleh seorang presiden minoritas. Wahid cenderung lebih destruktif, sikap politik yang justru membuatnya semakin miskin sokongan di parlemen.

    Aturan konstitusi juga berpihak kepada SBY dibandingkan Wahid. Sepanjang pemerintahan Wahid, konflik antara presiden dan parlemen tidak mempunyai saluran penyelesaian konstitusional. Yang terjadi akhirnya adalah pertandingan tak berujung, tanpa wasit yang imparsial.

    Jika kemudian MPR melengserkan Wahid, hal itu tidak lain karena MPR sendiri merupakan unsur parlemen yang ikut bermain dalam pertandingan presiden versus parlemen. Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, bila terjadi konflik kewenangan antara presiden dan parlemen, Mahkamah Konstitusi adalah hakim yang menentukan kebenaran konstitusional.

    Lebih jauh, berdasarkan konstitusi, SBY akan lebih sulit dijatuhkan dibandingkan Wahid karena pasca-perubahan Ketiga UUD 1945, alasan impeachment lebih yuridis ketimbang politis. Selain parlemen (DPR dan MPR), konfirmasi dari Mahkamah Konstitusi merupakan syarat konstitusional yang harus dipenuhi dalam proses menjatuhkan presiden.

    Arah koalisi partai politik juga berpihak kepada SBY. Kecerdasan pemilih yang memberikan mandat terpisah (ticket splitting), dengan memilih partai tertentu di pemilu legislatif, tetapi memilih calon presiden dari partai lain di pemilu eksekutif, menyebabkan konfigurasi politik
    presiden dan parlemen mengarah kepada dua kubu yang berbeda. Lembaga eksekutif dikuasai  Koalisi Kerakyatan, sedangkan lembaga legislatif didominasi oleh  Koalisi Kebangsaan.

    Perbedaan dominasi kekuatan politik di eksekutif dan legislatif itu bukanlah hal yang negatif. Soliditas kubu Koalisi Kerakyatan di satu sisi dan Koalisi Kebangsaan di sisi lain justru harus dipelihara. Dua kubu koalisi itu menyebabkan politik ketatanegaraan Indonesia lebih dinamis. Ia mengarah pada sistem presidensial yang berpadu dengan sistem dua koalisi kepartaian.

    Sistem presidensial yang bersatu dengan sistem dua partailah yang mendorong hadirnya presidensial yang efektif (effective presidential) di Amerika Serikat.

    Hasilnya, relatif belum pernah ada presiden Amerika Serikat yang menjadi presiden sial menjadi presiden sialan. Menurut Giovanni Sartori, dalam Comparative Constitutional Engineering, sejak 1950-an sistem presidensial Amerika Serikat juga didominasi oleh fenomena pemerintahan terbelah. Pada 1968 hingga 1992, Partai Republik selalu menduduki Gedung Putih kecuali masa empat tahun di bawah Presiden Jimmy Carter. Sebaliknya, Partai Demokrat selalu mendominasi komposisi kursi di Kongres. Sistem dua partailah yang menyebabkan mekanisme saling kontrol dapat tetap berjalan antara presiden dan parlemen.

    SBY dapat menjadi pelopor bagi tidak sialnya (lagi) presiden di Indonesia. Salah satunya dengan terus meneguhkan kutub Koalisi Kerakyatan di eksekutif, dan kubu Koalisi Kebangsaan di legislatif. Dalam menyusun kabinet, SBY sebaiknya hanya memberikan posisi menteri kepada unsur Koalisi Kerakyatan ditambah kalangan profesional yang nonpartisan. Koalisi Kebangsaan harus terus diposisikan sebagai oposisi, sebagai alat kontrol.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus