Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG-orang miskin, jangan pernah bermimpi menjadi anggota parlemen. Tiket masuk Dewan Perwakilan Rakyat sudah terlalu mahal bagi kaum berkocek pas-pasan, apalagi golongan berkantong kempis. Untuk masuk daftar calon sementara pemilu tahun depan, ada partai yang memasang tarif ratusan juta, bahkan miliaran rupiah.
Praktis representasi politik di negeri ini berada di tangan orang yang mampu membayar. Mereka bisa hartawan, atau teman-teman orang kaya, atau calon yang dibayari kelompok kantong tebal. Apa boleh buat, model pendanaan politik kita membuka kesempatan bagi tampilnya "calon boneka", yang kelak digerakkan memperjuangkan kepentingan cukong.
Jelas ada yang salah dengan sistem keuangan politik Indonesia. Sumber masalah akut ini sangat terang: partai politik tak mampu menggalang dana masyarakat. Barangkali ini akibat "jualan" kebanyakan partai politik membosankan. Partai baru dan "oposisi" biasanya menjual gagasan "perubahan", tanpa kejelasan perubahan seperti apa yang diperjuangkan. Yang lebih ironis, publik tahu para tokoh partai pengusung jargon "perubahan" itu merupakan orang yang paling menikmati keadaan "status quo" era Orde Baru. Sementara itu, partai penguasa secara klise mempropagandakan "prestasi pembangunan", yang semua orang tahu "bolong" di sana-sini.
Sulitnya menggalang dana, barangkali, akibat semakin berjaraknya partai dengan rakyat. Sudah lama pula partai politik di negeri ini bukan lagi tempat rakyat memperjuangkan gagasan dan cita-cita. Partai lebih banyak merefleksikan kepentingan politik pengurus dan segelintir elite. Bahkan banyak partai sekarang ini tak lebih dari sekadar kendaraan politik ketuanya menuju pucuk kekuasaan Republik. Sebagai imbalan, ketua partai biasanya sekaligus menjadi "bandar" keuangan partainya. Dalam keadaan begitu, terang saja sistem iuran anggota partai mandek. Bahkan banyak orang bergabung dengan partai sekadar untuk "berkerumun" di lingkaran dekat ketuanya, sambil menunggu cipratan rezeki dan kuasa.
Selama ini, solusi masalah dana partai pun kerap salah kaprah. Ada yang mengusulkan partai politik boleh punya perusahaan sendiri, agar bebas mencari uang. Yang lain mengusulkan sumbangan perorangan dan perusahaan tak dibatasi seperti sekarang.
Dua solusi itu mungkin saja bisa membuat partai tak kelimpungan mencari uang. Tapi dampaknya: demokrasi kita akan dibajak para cukong. Buat mereka, investasi politik pasti ada kalkulasinya sendiri di kemudian hari. Kita tentu tak ingin wakil rakyat di Senayan tersandera oleh utang politik.
Model pembiayaan kampanye di negara lain seharusnya bisa menjadi inspirasi. Di Jerman, misalnya, negara menanggung sebagian biaya kampanye partai politik. Besarnya bergantung pada jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu sebelumnya.
Dari Norwegia, ada contoh membuat biaya kampanye menjadi murah. Di negeri itu, iklan politik di frekuensi publik dilarang. Semua stasiun radio dan televisi harus menyediakan slot gratis untuk para kandidat. Di Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia serta Kementerian Komunikasi dan Informatika sesungguhnya bisa mendorong stasiun televisi dan radio melakukan hal yang sama. Cara ini sangat efektif memangkas biaya kampanye.
Semua upaya perlu dilakukan agar politik kita kembali menjadi milik semua, bukan monopoli orang-orang kaya dan para cukong.
berita terkait di halaman 34
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo