Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih dari tiga pekan sejak skandal suap pembangunan wisma atlet SEA Games terungkap, para petinggi Partai Demokrat malah gaduh sendiri. Elite partai penguasa ini tak kunjung satu suara menyikapi kasus yang menyeret bendahara umum mereka, Muhammad Nazaruddin. Ada yang memintanya mundur, tapi pentolan lain pagi-pagi bahkan menegaskan ”kesucian” sang bendahara.
Panjangnya waktu yang dibutuhkan Partai Demokrat untuk memutuskan nasib Nazaruddin wajar jika menjejakkan prasangka: jangan-jangan dia bukan satu-satunya aktor patgulipat di lini teras Partai Demokrat. Bukan mustahil pula jika sepak terjangnya direstui—atau minimal diketahui—pimpinan partainya.
Keberanian Nazaruddin menantang anjuran dewan kehormatan partainya untuk mundur menandakan politikus 32 tahun ini sepertinya punya kartu truf. Santer beredar kabar, Nazaruddin bakal membongkar habis borok sejumlah petinggi Partai Demokrat jika dia dipaksa turun dan dipermalukan.
Sebagai bendahara umum, Nazaruddin memang punya akses luar biasa ke level tertinggi partainya. Pengusaha batu bara dan perkebunan ini juga pengendali keuangan Partai Demokrat. Dia tentu tahu persis dari mana saja fulus mengalir masuk ke kas partainya. Dia juga pasti paham untuk apa saja dana partainya dibelanjakan.
Dugaan percobaan penyuapan terhadap Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Djanedri M. Gaffar yang terungkap pekan lalu makin menegaskan kuatnya jejaring Nazaruddin. Djanedri mengaku pernah didekati Nazaruddin dan ditawari fulus Sin$ 120 ribu (lebih dari Rp 800 juta) sebagai ”uang persahabatan” pada September tahun lalu.
Maksudnya tentu bisa ditebak. Ketika itu, Mahkamah Konstitusi sedang mengadili sengketa pemilihan kepala daerah yang melibatkan kandidat Partai Demokrat di Simalungun, Sumatera Utara, dan Merauke, Papua. Patut diduga, manuver Nazaruddin bukanlah inisiatifnya pribadi sebagai petinggi Demokrat. Partai itu jelas berkepentingan hendak memenangkan calon kepala daerahnya.
Cara Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. menyelesaikan kasus dugaan percobaan penyuapan ini juga rada aneh. Ia bukannya melaporkan tindak pidana itu kepada aparat yang berwajib, tapi malah memberi tahu, mengirimkan pesan pendek, dan akhirnya berkirim surat kepada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, yang juga dijabat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalih Mahfud bahwa kontak itu sengaja dia lakukan lantaran berurusan dengan seorang sohib lama, yakni Yudhoyono, terkesan mereduksi persoalan ini menjadi urusan pribadi. Padahal kasus ini jelas berkaitan dengan posisi penting Mahfud sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Langkah konyol ini hanya akan menurunkan marwahnya sebagai ketua lembaga tinggi negara yang seharusnya sejajar dengan Presiden.
Laporan itu juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12-c aturan itu menegaskan: semua pejabat negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam 30 hari kerja. Keterlambatan melaporkan hadiah yang berbau gratifikasi—karena mungkin motif pemberiannya tak jelas—bisa berdampak pidana.
Reaksi Presiden Yudhoyono juga mengundang tanda tanya besar. Keputusannya tak segera menindaklanjuti laporan Mahfud selama hampir enam bulan terasa janggal. Baru akhir pekan lalu—setelah kasus ini mencuat di media massa—Yudhoyono mengajak Mahfud memberikan keterangan pers bareng ihwal komunikasi mereka. Ada kesan, mereka berdua lebih tertarik menyelesaikan insiden gratifikasi ini secara politik—dan pencitraan diri.
Rangkaian cerita skandal Nazaruddin dan Partai Demokrat ini mengindikasikan suasana perseteruan politik yang tak sehat. Ibarat permainan kartu, mereka seperti saling gertak: ”Aku pegang kartumu, jadi jangan macam-macam.” Konstelasi politik yang saling menyandera semacam ini amat berbahaya. Partai-partai politik hanya dijadikan alat negosiasi demi kepentingan segelintir orang. Lama-kelamaan publik akan kehilangan kepercayaan kepada seluruh struktur politik yang tidak mengabdi kepada kepentingan khalayak.
Jalan keluar dari labirin persoalan ini sebenarnya sederhana saja. Sebagai langkah permulaan, Partai Demokrat bisa segera menonaktifkan Nazaruddin dari posisinya atas dasar pelanggaran etika. Tindakan itu akan memberikan dorongan moral luar biasa bagi upaya Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar habis kasus suap ini. Sebaliknya, jika sanksi tak segera diberikan, niscaya Yudhoyono akan kehilangan momentum penting untuk melakukan ”bersih-bersih” di kalangan sendiri, sebagaimana diucapkannya berulang kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo