Kami ingin menyanggah berita berjudul Pinjam Jago Model Simalungun dan Bayi Tabung Adat (TEMPO, 7 Maret, Hukum). Istilah mangalop tuah anak telah disalahtafsirkan sementara orang demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Suku Batak, pada umumnya, mengenal mangalop tuah anak atau "memohon rezeki anak" sebagai adat, yakni pasangan suami-istri (hela/boru), yang belum memperoleh anak datang memohon kepada mertua (tulang/anturang) atau ke rumah saudara semarga dengan istrinya untuk dapat diberkati. Suami-istri tadi, biasanya, didampingi keluarga-keluarga terdekat yaitu sanina dan boru. Dalam upacara adat tersebut, kedua pasangan yang belum memperoleh anak memohon sambil menangis, agar dimaafkan dari segala kesalahan kesalahan semasa muda atau setelah berumah tangga baik disengaja maupun tidak. Bagi Batak Simalungun, sebelum permohonan itu disampaikan, hela/boru terlebih dulu menyuguhkan makanan manurduk dayok na maratur yaitu daging ayam lengkap siap dimakan yang diatur sedemikian rupa di atas piring besar, disampaikan kepada tulang/anturang. Selesai makan bersama, maka hela/boru membagi-bagikan sirih dan mulai pembicaraan, di sinilah hela/boru mohon maaf dan saling berterus terang. Setelah semua pihak mengutarakan isi hatinya masing-masing, pihak tulang memberikan doa restu kepada menantunya. Ini dibuktikan dengan memberikan/menyematkan kain ulos dan menaburkan beras di atas kepala hela/boru-nya dengan ucapan, "Semoga dikaruniai putra-putri yang cantik, pintar, dan pantang sakit-sakitan." Apa yang dibicarakan selama acara mangalop tuah anak tadi sifatnya spiritual, sama sekali tidak menyinggung soal biologis. Bagi Simalungun menyinggung soal biologis sangat tabu. Upacara adat ini sangat dihormati dan dilakukan dengan hati terbuka dan ikhlas. Itulah acara adat mangalop tuah anak yang sebenarnya, tidak sebagaimana diutarakan baik Arkianus maupun Perisman. Menurut Arkianus, mangalop tuah anak identik dengan kawin pinjam jago, yaitu meminjam laki-laki lain untuk membuahi si istri (dalam adat Batak Simalungun) untuk mengatasi kesulitan pasangan suami istri yang tidak mendapatkan anak karena suaminya mandul. Lebih lanjut dikatakan, pasangan suami istri Arlis Saridin Sinaga yang belum dikaruniai anak mencari jalan keluar, yang dalam adat, katanya, mangalop tuah anak tadi. Ini berdasarkan kesepakatan sangat rahasia dalam keluarga, seorang famili dekat diminta membuahi Rusli (istri Arlis), agar mendapatkan anak. Keterangan Arkianus itu ditinjau, baik agama maupun adat suatu perbuatan zina dan terkutuk. Dan pelakunya harus diusir dari kampung. Dikatakan pula adanya "kesepakatan sangat rahasia". Dalam hukum adat Simangulun tidak ada sesuatu yang dirahasiakan. Semua tata cara adat haruslah memasyarakat dan dilakukan secara terang-terangan (countante handeling) yang dalam bahasa Simalungun disebut talar anjaha panal songon dengke iatas balanga. Maksudnya, tata cara adat itu harus dilakukan secara terbuka, jelas, dan diketahui umum yang disaksikan 3 pihak dalam keluarga yang dikenal dengan Dalihan na Tolu yaitu Sanina, Boru, dan Tondang, yang dalam tiap acara adat membawa peran masing-masing. Kalau "membuahi" istri orang lain dapat diterima, dan merupakan adat bagi orang Simalungun, tentu, tidak akan terdapat pasangan suami istri tanpa memperoleh anak. Padahal, di Simalungun, sejak zaman dulu sampai sekarang, ada saja atau terdapat pasangan suami istri yang sampai akhir hidup mereka tidak memperoleh anak. Jalan keluar bagi keluarga Simalungun yang tidak memperoleh anak adalah dengan mengangkat anak dari keluarga dekat dan satu marga dengan si suami, yang kita kenal "adopsi". Dalam masyarakat Simalungun ini cukup dilakukan dengan acara adat yang sederhana. Dapat saja terjadi penyimpangan yang dilakukan perorangan atau keluarga dalam masyarakat. Tetapi kita harus dapat membedakan perbuatan satu keluarga Simalungun dan adat (masyarakat) Simalungun, jangan digeneralisir. Perbuatan tidak senonoh (bertentangan dengan adat dan moral) satu keluarga Simalungun tidaklah berarti bahwa perbuatan itu diterima semua orang Simalungun. Sebab, itu bertentangan keras dengan adat istiadat Simalungun. Kalau dikatakan adat Simalungun, itu berarti suatu perbuatan dapat diterima, diakui, dan hidup secara total atas masyarakat Simalungun. Saudara Arkianus telah memberikan nilai yang keliru atas satu perbuatan keluarga Simalungun dengan adat Simalungun. Sebab, perbuatan a moral dengan menyebut "mendatangkan si jago untuk memperoleh keturunan dari seorang ibu" dinyatakannya sebagai adat-istiadat Simalungun. Padahal, perbuatan itu perbuatan terkutuk, menurut adat Simalungun. Saudara Arkianus a priori beranggapan, kalau ada keluarga berbuat demikian, tentu keluarga Simalungun lainnya juga berbuat hal sama. Kalau benar keluarga yang disebut-sebut Arkianus dalam keterangannya di depan sidang Pengadilan Negeri Pematang Siantar itu melakukan perbuatan perzinaan seharusnya, keluarga itu disisihkan dari pergaulan adat. Sebab, mereka telah melakukan perbuatan yang telah melahirkan anak gappang (anak haram). Bagi adat mesyarakat Simalungun, mereka yang melakukan perbuatan terkutuk itu (berzina), kalau mati tidak dikuburkan di pekuburan umum tetapi dikuburkan di suatu tempat yang disebut Sampalan yaitu tempat paling najis agar orang lain tidak melakukan hal sama. Jadi, jelas kelihatan bagi oran yang berbuat zina, semasa hidupnya dia tersisih dari pergaulan adat dan setelah meninggal dibuang di Sampalan. Saudara Perisman anggota Partuha Maujand Simalungun mengatakan, istilah mangalop tuah tidak hanya sekadar mohon restu, tetapi memohon lelaki lain membuahi istri seorang laki-laki yang mandul. Ini berarti dia membuat imajinasi/tafsiran sendiri yang keliru. Sebagaimana yang berlaku umum, pelaksana tata cara adat di Simalungun berkaitan dengan sesuatu yang sakral (suci) sehingga penafsiran itu benar-benar bertentangan dengan prinsip dasar adat itu sendiri. Saudara Perisman mengatakan pula mangalop termaktub dalam pustaha (buku kuno) yang, konon, dibikin pada 500 M berarti 1.500 tahun silam. Benarkah ? Haruslah diteliti lebih dulu, sudah adakah suku bangsa Simalungun 1.500 tahun lalu. Dan harus pula dibuktikan di mana (lokasinya) orang Simalungun itu pertama kali bermukim. Apakah di Sondi Raya, di Dolok Silau atau suatu tempat di Pematang Purba atau mungkin di suatu tempat di Pematang Siantar yang sekarang. Tetapi di pihak lain diakui Saudara Perisman, tata cara adat mangalop itu tidak dirinci dalam pustaha (buku kuno) tersebut. Inilah mungkin membuat Saudara Perisman menafsirkan "semaunya sendiri." Saudara Perisman mengaku tahu beberapa kali upacara "zina" itu dilakukan kerabatnya. Ini menunjukkan Saudara Perisman tidak bisa membedakan perbuatan-perbuatan satu keluarga dengan adat yag berlaku dan diterima secara total oleh suatu masyarakat, yakni masyarakat Simalungun. Saudara Perisman mengakui, tidak banyak mengetahui adat mangalop tuah anak itu. Memang, karena mangalop menurut versi Saudara Perisman bukan adat, tentu saja orang-orang Simalungun tidak mengetahui itu. Bila mangalop versi Saudara Perisman benar adat orang Simalungun, tentu semua orang Simalungun mengetahui itu. Karena "mangalop tuah anak versi Perisman itu bukan adat Simalungun, maka dalam literatur hukum adat Indonesia tidak akan tercantumkan. Kami harap Saudara Arkianus dan Saudara Perisman agar sadar bahwa keterangan/ungkapan mereka dapat menyesatkan dan sangat menyinggung kehormatan masyarakat Simalungun dalam arti luas. Sehubungan dengan itu diharapkan, agar mereka segera mencabut keterangannya lebih lanjut. Sanggahan ini dibuat Yayasan Sarma, suatu yayasan yang didirikan warga Simalungun di Jakarta yang bergerak di bidang sosial-budaya, antara lain, mendalami masalah-masalah dan adat istiadat Simalungun dalam rangka pembinaan kebudayaan Naional. DR. RUSMAN PURBA DRS. JANNER SARAGIH (Sekretaris) (Wakil Ketua) BP Yayasan Sarma Jalan Matraman Raya 17 Telepon 884954 Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini