Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat kembali dikejutkan dengan keputusan Pengadilan Negeri Ambon yang menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara kepada Rasilu, penarik becak di kota itu. Kasus ini bermula ketika Rasilu mengantar penumpangnya, yang sedang sakit, ke rumah sakit lewat jalan pintas. Selanjutnya, becak Rasilu menghindari mobil dengan kecepatan tinggi dan, karena hujan, becak Rasilu beserta penumpang tersebut terguling. Tak lama kemudian penumpang itu meninggal dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rasilu dipidana atas meninggalnya penumpang tersebut meskipun keluarga penumpang itu telah berdamai dengan Rasilu dan mencabut laporan di kepolisian. Peradilan Rasilu kembali mengingatkan masyarakat pada peradilan sesat Baiq Nuril, ketika korban justru dijadikan tersangka dan diadili dengan tafsir hukum yang keliru pula.
Ada dua kekeliruan mendasar dalam kasus Rasilu. Pertama, dalam penyidikan hingga persidangan, aparat penegak hukum tidak menghadirkan pengendara mobil, padahal pangkal kecelakaan yang menewaskan penumpang tersebut adalah mobil. Kedua, jika Rasilu didakwa dengan Undang-Undang Lalu Lintas, seharusnya dakwaan tersebut gugur, bahkan penyidikan tidak berlanjut, karena sudah ada perdamaian dan keluarga korban telah mencabut laporan di kepolisian.
Dalam kasus sejenis dan penerapan pasal yang sama, yakni Pasal 310 Undang-Undang Lalu Lintas, pada 2013, pengadilan “hanya” menghukum Rasyid Rajasa, putra Menteri Koordinator Perekonomian kala itu, dengan hukuman percobaan. Contoh lainnya, pada tahun yang sama, dalam kasus sejenis, pengadilan membebaskan Abdul Qodir Jaelani, putra musikus Ahmad Dhani.
Mengapa hukum seakan-akan tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Philippe Nonet (1987) menjelaskan, sensitivitas aparat penegak hukum akan keadilan untuk semua lapisan masyarakat belum terjadi sehingga menghasilkan disparitas putusan. Sensitivitas keadilan ini erat kaitannya dengan integritas aparat penegak hukum untuk menghadirkan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Pembedaan perlakuan dalam proses hukum dan pidana ini, menurut Nawawi et al. (2015), disebabkan oleh dua hal, yakni faktor teknis dan nonteknis. Faktor teknis disebabkan oleh pemahaman akan substansi hukum dan proses yudisial yang belum merata antarsesama penegak hukum di Indonesia.
Adapun faktor nonteknis terkait dengan integritas aparat penegak hukum. Penyimpangan pada profesi penegak hukum dimungkinkan menurut rumus korupsi Klitgaard (1999), yang memperkenalkan teori CDMA, yakni C (Corruption) = D (Discretion) + M (Monopoly) - A (Accountability).
Jika melihat sederhananya kasus yang menimpa Rasilu, semestinya disparitas proses penegakan hukum tidak disebabkan oleh faktor teknis. Jika mengikuti teori CDMA, hal ini lebih disebabkan oleh sebab nonteknis mengingat ada perbedaan kontras terkait dengan proses penegakan hukum terhadap Rasilu dan kasus sejenis lainnya. Misalnya, Rasilu ditahan dalam kasus ini, sedangkan kasus sejenis dengan korban jiwa lebih banyak, polisi, dengan hak subyektif penyidik, justru tidak melakukan penahanan.
Bagaimanapun, negara berkewajiban menghadirkan keadilan yang sama untuk setiap warga negara. Kasus Rasilu adalah bukti bahwa hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dalam hal ini, pihak terkait (komisi kepolisian, kejaksaan, dan yudisial) harus menaruh perhatian serius untuk tercapainya prinsip negara hukum, yakni kesamaan perlakuan di depan hukum, yang belum dapat diperoleh masyarakat dalam penegakan hukum di Indonesia.
Guna mewujudkan keadilan terhadap Rasilu, yang harus dilakukan adalah mengajukan upaya hukum yang dimungkinkan atas “peradilan sesat Rasilu” untuk menghindari deretan peradilan sesat yang sudah banyak terjadi, mulai dari peradilan sesat legendaris Sengkon-Karta dan Sum Kuning hingga peradilan dagelan pembunuhan wartawan Udin. Rasilu seharusnya bisa melakukan upaya hukum biasa (banding dan kasasi) ataupun upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali).
Hukuman untuk Rasilu di bawah 2 tahun, sehingga tidak mungkin mengajukan permohonan grasi. Untuk melakukan fungsi korektif, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung harus menggunakan acuan putusan sejenis untuk membebaskan Rasilu. Dengan demikian, negara, melalui fungsi yudikatif, menghadirkan kesamaan perlakuan di depan hukum bagi semua warga negaranya sekaligus menyudahi deretan praktik peradilan sesat. Langkah korektif ini, selain mengembalikan rasa keadilan terhadap Rasilu, memberi keyakinan kepada masyarakat bahwa akses keadilan dapat diperoleh oleh semua warga negara tanpa pembedaan apa pun.
Selain itu, evaluasi atas proses hukum yang dialami Rasilu, mulai dari penyidikan hingga putusan pengadilan, perlu dilakukan sebagai upaya perbaikan dan menggali alasan terjadinya disparitas perlakuan dan putusan tersebut. Komisi kepolisian, komisi kejaksaan, dan komisi yudisial harus segera melakukan evaluasi yang kemudian dapat digunakan sebagai bahan evaluasi masing-masing instansi.
Jika ditemukan indikasi kekeliruan dalam proses hukum yang menimpa Rasilu, harus segera dilakukan tindakan tegas terhadap aparat penegak hukum tersebut. Hal ini untuk menghapus kesan bahwa penegakan hukum hanya memiliki dua sisi, yakni koruptif dan sewenang-wenang.