Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kebijakan Ekonomi Menghadapi Wabah Corona

Sekarang virus corona Covid-19 telah menjadi pandemi global.

16 Maret 2020 | 07.16 WIB

Pekerja berpakaian pelindung mendisinfeksi sebuah kompleks perumahan di Wuhan, pusat penyebaran virus corona, provinsi Hubei, Cina, 6 Maret 2020. Cina memberlakukan lockdown di provinsi Hubei, yang saat ini mulai melonggar karena wabah berhasil dikendalikan, hingga hari ini terdapat 80,995 kasus, dengan 3,203 korban dan 67004 pasien pulih. REUTERS/Stringer
Perbesar
Pekerja berpakaian pelindung mendisinfeksi sebuah kompleks perumahan di Wuhan, pusat penyebaran virus corona, provinsi Hubei, Cina, 6 Maret 2020. Cina memberlakukan lockdown di provinsi Hubei, yang saat ini mulai melonggar karena wabah berhasil dikendalikan, hingga hari ini terdapat 80,995 kasus, dengan 3,203 korban dan 67004 pasien pulih. REUTERS/Stringer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Tri Winarno
Pengamat kebijakan ekonomi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sekarang virus corona Covid-19 telah menjadi pandemi global. Epidemi corona akan membawa konsekuensi kerusakan ekonomi yang tak pernah terbayangkan oleh para pemangku kebijakan ekonomi. Pada waktu krisis ekonomi global 2008, bank sentral terkemuka dunia memimpin penanganan dampak krisis global tersebut. Ketika wabah corona mulai mengganggu, bank sentral diharapkan mampu melakukan tindakan yang sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

The Fed, bank sentral Amerika Serikat, sudah memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis point, pemotongan terbesar dalam satu dekade dalam satu waktu. Tapi, tanpa disertai kebijakan pendukung lain, hal ini tampaknya semakin membuat pasar kehilangan arah. Hanya beberapa menit setelah pengumuman pemangkasan bunga, pasar modal bahkan semakin lesu.

Sebenarnya gonjang-ganjing pasar saham tidak mencerminkan kondisi aktual ekonomi riil, yaitu hampir tidak terkait dengan ketidakseimbangan di pasar barang dan jasa. Namun pasar modal mencerminkan keyakinan terhadap kondisi ekonomi riil. Kemerosotan pasar saham sering terjadi hanya karena kecemasan yang dipicu oleh self-fulfilling prophecies-"Mandi omonge dewe," kata Jayabaya.

Karena itu, krisis global mengharuskan tindakan global yang komprehensif. Untuk mengatasinya, organisasi multilateral, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, seharusnya segera membentuk gugus tugas yang terdiri atas, katakanlah, 20 ekonom (C20) dengan keahlian yang beragam dan memahami isu-isu kesehatan dan geopolitik.

Gugus tugas C20 tersebut diberi tugas menganalisis krisis dan merancang respons kebijakan global yang terkoordinasi dengan target yang ketat dan rinci. Mereka harus menyampaikan laporan pertamanya dalam waktu satu bulan dengan merinci daftar tindakan awal yang harus dilakukan pemerintah. Setiap bulan mereka akan menyampaikan agenda baru yang akan ditindaklanjuti. Setelah permasalahan dapat diatasi, gugus tugas tersebut dapat dibubarkan.

Memang benar gugus tugas C20 tidak dapat mencegah kerusakan langsung di awal terjadinya wabah pada beberapa sektor, seperti pariwisata. Perhimpunan Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan bahwa sektor penerbangan global akan mengalami kerugian sebesar US$ 113 miliar kalau virus tersebut terus menyebar.

Begitu pula beberapa hotel ternama telah melaporkan penurunan bisnis yang fantastis, lebih dari 50 persen. Hilton, yang telah menutup 150 hotel di Cina, memperkirakan rugi US$ 25-50 juta pada tahun ini kalau wabah dan pemulihannya membutuhkan waktu 3-6 bulan. Pengeluaran pariwisata di Cina saja, yang bernilai US$ 277 miliar pada 2018, akan menurun lebih dari setengahnya pada tahun ini.

Namun gugus tugas C20 dapat memperkecil atau bahkan meniadakan dampak ikutan secara tidak langsung ke sektor lain sehingga sektor tersebut terhindar dari kerusakan, pengangguran, dan kenaikan harga. Misalnya, kalau permintaan menurun di semua sektor, pemerintah dapat menggunakan kebijakan moneter dan fiskal untuk memulihkannya lagi. Bank sentral dapat memangkas tingkat suku bunga dan pemerintah melakukan ekspansi fiskal, tepat seperti pada waktu resesi 2008-2009.

Namun sekarang pendekatan kebijakan tersebut terbukti kurang memadai. Krisis akibat wabah corona berbeda dari krisis 2008. Bahkan, tatkala permintaan menukik ke dasar jurang di sebagian besar sektor, ada sektor yang permintaannya melonjak ke langit sehingga harganya meningkat tajam dan pembeli utamanya justru tak mampu membeli.

Contoh yang paling jelas adalah di sektor kesehatan. Banyak warga Cina kesulitan mendapatkan obat-obatan dan masker yang mereka butuhkan. Kalaupun ada, harganya meningkat tajam. Dalam hal ini, dibutuhkan intervensi pemerintah yang menyasar beberapa sektor disertai dengan kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat.

Masih ada masalah lain yang belum teridentifikasi. Sejumlah besar kontrak bisnis tidak dapat terpenuhi dan akan muncul berbagai klaim terkait dengan force majeure, pengecualian untuk memenuhi kewajiban karena bencana. Menurut Dewan Cina untuk Promosi Perdagangan Internasional, Cina telah menerbitkan 5.000 sertifikat force majeure, yang meliputi kontrak senilai 373,7 miliar yen atau US$ 53,8 miliar, sehingga akan banyak perusahan yang menentang klausul force majeure tersebut. Ini akan berakibat pada peningkatan tekanan yudisial.

Dampak ekonomi wabah corona sangat kompleks dan lintas sektoral. Untuk mengatasinya secara efektif, perumus kebijakan, idealnya negara-negara yang tergabung dalam C20, dapat memotret gambaran besarnya, yang mencakup kaitan intersektoral yang terjadi akibat wabah.

Para pemangku kebijakan dapat mengacu pada studi-studi yang membahas keterkaitan intersektoral dampak ekonomi dari suatu kejadian, yang mengacu pada penelitian Léon Walras pada 1874. Ini bisa ditambah dengan hasil riset pemenang Nobel ekonomi, Kenneth Arrow dan Gérard Debreu, pada 1950-an. Khususnya mereka dapat merujuk pada hasil penelitian pemenang Nobel ekonomi, Amartya Sen, yang menerangkan mengapa bencana kelaparan dapat terjadi padahal suplai makanan berlimpah.

Hanya dengan suatu peta yang jelas dan tepat, pemangku kebijakan dapat mengembangkan intervensi ke sektor spesifik yang signifikan mengatasi dampak virus ini. Tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha, karena setiap detik menjadi sangat bermakna. Dan itu menjadi tugas utama pemangku kebijakan untuk benar-benar bekerja dengan cepat, cerdas, dan tulus.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus