Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK perlu menyesali keterlambatan Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Nunun Nurbaetie sebagai tersangka kasus suap cek pelawat. Tak perlu pula berprasangka bahwa Komisi ragu-ragu menuntaskan kasus rasuah yang melibatkan banyak penggede ini.
Komisi menuding Nunun bertanggung jawab atas rasuah kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom. Sejak Maret 2010, Nunun tak menggubris panggilan KPK, mengaku sakit ingatan, dan hengkang ke Singapura. Nunun ditetapkan sebagai tersangka pada Februari lalu—meski baru diumumkan komisi antikorupsi Senin pekan kemarin.
Status tersangka ini membawa beberapa konsekuensi. Komisi, misalnya, bisa meminta Singapura secara sukarela memulangkan nyonya sosialita itu. Tentu ini bukan perkara mudah, karena Indonesia dan Singapura tidak memiliki perjanjian ekstradisi. Selama ini Negeri Singa tak pernah bersedia memulangkan koruptor ke Tanah Air meski pemerintah Indonesia telah meminta.
Komisi bisa pula meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencabut paspor Nunun, sesuatu yang telah dilakukan. Tanpa paspor, ruang gerak Nunun menyempit, dan diharapkan akhirnya ia mau menyerahkan diri. Di luar itu telah pula kita dengar KPK mengirimkan pesan agar Nunun menyerah. Imbal baliknya: ia kelak diberi keringanan hukuman.
Nunun bisa pula diadili secara in absentia. Namun cara ini diragukan efektivitasnya dalam membongkar lebih jauh jaringan pemberi dan penerima rasuah. Seraya mengupayakan pemulangan Nunun, perihal hulu dan hilir suap itu mesti diungkap pula. Sejauh ini, Nunun dipercaya hanya menjadi juru antar rasuah itu.
Dalam pengadilan terhadap sejumlah tersangka penerima suap, terungkap kongkalikong antara Miranda dan anggota Dewan untuk memenangkannya sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Ada pula kisah tentang Bank Artha Graha milik pengusaha Tomy Winata sebagai asal-muasal cek. Beberapa keanehan dalam pemberian cek perlu pula ditelisik. Misalnya tentang orang mati yang disebut-sebut sebagai pembeli cek pelawat—akal-akalan yang menunjukkan ada yang busuk dalam sengkarut itu.
Anggota staf Nunun yang menjadi kurir suap, Arie Malangjudo, di pengadilan mengatakan Nunun adalah bagian dari tim sukses Megawati dalam Pemilihan Umum 2004. Menurut dia, selain urusan Miranda, suap itu ditujukan untuk membiayai kampanye Mega. Jika sinyalemen ini bisa dibuktikan, nyatalah bahwa sejumlah anggota Dewan yang kini ditahan dan diadili bukan penerima akhir rasuah itu. Dengan kata lain, masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dengan atau tanpa kehadiran Nunun: melacak suap itu ke hulu dan ke hilir.
Karena itu, Komisi tak boleh disandera oleh Nunun. Dengan atau tanpa Nunun, pengungkapan kasus harus jalan terus. Keberanian KPK menangkap anggota Dewan dan sejumlah bekas menteri serta petinggi lembaga negara harus dilanjutkan dengan tak ragu-ragu merangsek ke jantung pemberi dan penerima suap. Pimpinan KPK kini bertaruh. Di masa jabatan yang tinggal tujuh bulan, mereka harus mampu menuntaskan skandal ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo