Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Lemahnya Pengawasan Bank Kita

30 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang bebas dari gerombolan penjahat di republik ini? Semua sendi perekonomian digerogoti para penggangsir secara masif, termasuk perbankan—bisnis yang mengandalkan kepercayaan. Luar biasa, sepanjang 2007-2010, terjadi 15 ribu lebih kasus pembobolan di 14 ribuan kantor bank umum di seluruh Indonesia. Hampir semua perkara kriminal itu melibatkan orang dalam.

Pembobolan Bank Mega Jababeka memperpanjang daftar kejahatan kerah putih ini. Menggerus rekening milik PT Elnusa dan Pemerintah Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, kejahatan ini diduga melibatkan kepala cabang bank itu. Menurut polisi, pejabat kantor pemilik rekening juga terlibat. Penggangsiran terlihat terencana dan sempurna karena melibatkan pemain lama, Richard Latief. Jejak pria 55 tahun ini terekam dalam sejumlah perkara yang sama, misalnya pembobolan deposito Rp 110 miliar milik PT Taspen di Bank Mandiri Rawamangun, Jakarta Timur, pada 2006.

Perkara ini merupakan pukulan telak bagi dunia perbankan. Terutama karena waktu terbongkarnya sangat dekat dengan kasus Malinda Dee, yang kala menjadi senior relation manager diduga mencuri dana nasabah Citigold. Apalagi jika dikaitkan dengan kejahatan sebelumnya, seperti pembobolan Rp 29 miliar di kantor kas BRI Tamini Square, juga pencairan tak sah deposito di Bank Mandiri senilai Rp 18 miliar. Masih segar pula di ingatan, penggangsiran oleh pemilik Bank Century yang memaksa pemerintah mengeluarkan Rp 5,4 triliun untuk menyelamatkan bank itu.

Ironis, karena perbankan sebenarnya memiliki sistem pengamanan internal yang canggih. Setiap bank memiliki satuan kerja manajemen untuk memantau dan menilai profil risiko. Ada pula bagian pengendalian internal yang wajib memelototi setiap risiko, mencegah munculnya kegagalan atau kerugian sistem perbankan. Lalu bank dengan aset besar diwajibkan membuat profil atas risiko utama: risiko kredit, risiko operasional, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko strategis, risiko reputasi, dan risiko kepatuhan.

Apa yang bebas dari gerombolan penjahat di republik ini? Sistem yang rumit gampang saja dibobol oleh penggangsir, yang bekerja sama dengan orang dalam. Pembobolan Bank Mega, sekali lagi, menunjukkan pengelola bank tak menerapkan manajemen risiko yang ketat. Bayangkan, penggerogotan uang milik PT Elnusa dilakukan sejak 2009. Lalu lintas dana antar-rekening berlangsung hingga Juli tahun lalu. Tapi skandal ini baru terungkap bulan lalu. Begitu juga lalu lintas dana milik Pemerintah Kabupaten Batu Bara yang sangat cepat pada September tahun lalu. Perkara ini pun baru terbuka setelah terungkapnya pembobolan rekening PT Elnusa. Lalu apa saja yang dilakukan para pengawas dari bank sentral itu?

Sanksi yang dijatuhkan Bank Indonesia untuk Bank Mega sudah tepat. Bank itu dilarang menerima nasabah baru dan memperpanjang nasabah lama deposit on call, dilarang membuka jaringan kantor baru selama setahun, serta mesti memberhentikan pegawai yang terlibat, plus mengganti dana yang dibobol. Bank sentral juga akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan untuk manajemen Bank Mega.

Hukuman berat itu dijatuhkan setelah manajemen Bank Mega melaporkan pembobolan ke Bank Indonesia, juga ke polisi. Ada kesan, sanksi berat diberikan setelah bank menyampaikan laporan dan perkaranya menjadi perhatian publik, seperti halnya sanksi untuk Citibank setelah manajemen bank itu melaporkan kasus Malinda Dee. Padahal mungkin ada ribuan perkara serupa yang tersembunyi di balik karpet. Mereka mengganti duit nasabah yang dirugikan, lalu kasus ditutup, tak ada laporan ke bank sentral—apalagi ke aparat penegak hukum.

Terhadap bank yang bergerilya menyelesaikan kejahatan ini, Bank Indonesia semestinya menjatuhkan hukuman lebih berat.

Kelemahan pengawasan bank sentral memang mengkhawatirkan. Sistem peringatan dini institusi ini tak pernah berfungsi buat mencegah aneka kejahatan perbankan. Bisa jadi hal itu disebabkan pelaksanaan pengawasan oleh Bank Indonesia yang sangat luas—dari kewenangan memberi izin, mengatur regulasi, menyelia perbankan, hingga memberi sanksi. Kekuasaan itu terpusat di satu tangan: dewan gubernur. Di masa lalu, pejabat yang korup melemahkan sistem pengawasan ini. Sudah sepatutnya jika Komisi Pemberantasan Korupsi pernah mengusulkan fungsi pengawasan dialihkan ke lembaga lain—dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan. Namun, anehnya, badan ini tak kunjung maujud lantaran belum disetujui Dewan Perwakilan Rakyat.

Pembobolan demi pembobolan merupakan peringatan keras bagi bank sentral, juga perbankan secara keseluruhan. Tanpa pembenahan radikal, keruntuhan sektor ini hanya tinggal menunggu waktu. Kita pun hanya bisa mengelus dada menyaksikan betapa gerombolan penjahat itu begitu mudah menggangsir semua sendi ekonomi, terutama perbankan kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus