Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARGUMEN Bank Indonesia ketika menolak keikutsertaan pemerintah menandatangani mata uang terasa berlebihan. Dalam jangka panjang, kerja bareng ini justru akan bermanfaat. Fulus kita diharapkan makin kinclong lantaran diteken dua pejabat penting yang siap bertanggung jawab mewakili negara: Gubernur BI dan Menteri Keuangan.
Sebaliknya, jika resistensi ini dibiarkan berkembang, justru akan menjadi bumerang buat bank sentral. Masyarakat bisa memvonis Kebon Sirih—sebutan untuk kantor Bank Indonesia—tak rela berbagi otoritas karena takut kehilangan peran dalam mencetak uang. Di masa lalu, proyek pencetakan mata uang—meliputi pengadaan kertas, tinta, dan benang pengamannya—memang menjadi ladang uang bagi segelintir pejabat Bank Indonesia.
Konstitusi memang mengamanatkan Bank Indonesia bertindak selaku pengelola kebijakan moneter, sedangkan pemerintah bertanggung jawab dalam urusan fiskal. Semangat itu tetap dipelihara dalam Rancangan Undang-Undang Mata Uang yang rencananya disahkan Dewan Perwakilan Rakyat minggu ini. Menurut rancangan itu, Menteri Keuangan akan mewakili pemerintah bersama pejabat bank sentral meneken rupiah mulai Agustus 2014. Jika tak ada aral melintang, Menteri Agus Martowardojo akan membubuhkan tanda tangannya di lembar demi lembar rupiah.
Peraturan baru ihwal mata uang ini sama sekali tak mengubah ataupun menggeser peran Bank Indonesia. Pengendalian (jumlah) uang beredar, sebagai bagian dari kebijakan moneter, tetap menjadi kewenangan BI. Hak mencetak dan mengedarkan uang juga tak beranjak dari tangannya. Menteri Keuangan hanya punya hak berkoordinasi saat uang baru akan dicetak. Ini sekaligus simbol bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab. Tanda tangan itu bukti bahwa rupiah adalah uang Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan duit BI.
Dampaknya bagus. Rupiah akan menjadi lebih kredibel, masyarakat pun tenang. Selain itu, akan terjadi checks and balances terhadap bank sentral dalam mengelola peredaran uang. Sistem saling kontrol ini tidak melanggar prinsip independensi bank sentral. Toh, bila suatu saat bank sentral kekurangan modal akibat operasi moneter, pemerintah jualah yang akan menambalnya. Defisit modal BI bukan mustahil terjadi di tengah derasnya arus modal asing. Kepercayaan publik akan runtuh bila modal Kebon Sirih terus berdarah-darah tapi pemerintah hanya berdiam diri.
Kekhawatiran Bank Indonesia bahwa ada kerancuan kewenangan moneter dengan fiskal tak sepenuhnya benar. Lihat saja pengalaman di negara lain. Menteri keuangan membubuhkan tanda tangan pada mata uang lazim saja. Sedikitnya 32 negara menerapkan sistem ini. Dolar Amerika Serikat, misalnya, diteken Gubernur The Federal Reserve dan Secretary of Treasury—menteri keuangan. Di Singapura lebih hebat lagi: gubernur bank sentral merangkap menteri keuangan. Tapi campur aduk pengelolaan moneter dan fiskal di negara-negara itu tak pernah terjadi.
Singkat kata, Bank Indonesia tak perlu khawatir kewenangannya terganggu. Apalagi Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan juga Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat sudah memberikan jaminan. Bila masih tak yakin juga, BI bisa saja mendesak pemerintah mencantumkan ”janji” itu dalam peraturan pemerintah atau peraturan petunjuk teknisnya.
Pemerintah harus konsisten dan memegang teguh janji itu. Semua celah masuknya penyelewengan wajib ditutup. Jangan sampai hak berkoordinasi mencetak uang ini kelak disalahgunakan dan dijadikan proyek buat kepentingan partai politik, terutama yang sedang berkuasa, koalisinya, dan para pemburu rente. Apalagi di masa depan bukan mustahil Menteri Keuangan berasal dari—atau bahkan titipan—partai politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo