Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riris Katharina dan Poltak Partogi Nainggolan
Peneliti untuk Kelompok Kegiatan Penelitian Papua DPR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kita harus dapat memenangi hati dan pikiran orang Papua," demikian pernyataan yang makin sering dilontarkan pemerintah belakangan ini. Namun perkembangan situasi di Papua dan Papua Barat belum bisa dikatakan membaik. Setelah 20 tahun kebijakan otonomi khusus diimplementasikan lewat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan pembentukan tim percepatan pembangunan, berbagai paradoks malah muncul: Papua masih menjadi provinsi terbelakang dengan angka indeks pembangunan manusia terburuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan pembangunan bandar udara, pelabuhan, dan jalan raya yang merambah hingga Pegunungan Tengah dan Puncak Jaya, kini Papua makin terbuka. Namun paradoks tetap terjadi. Ongkos pesawat malah meningkat lebih dari 100 persen menjelang Natal. Harga bahan bakar minyak di luar kota-kota besar, seperti Jayapura, Biak, dan Sorong, tetap mahal.
Anak-anak Papua tetap sangat rawan dari ancaman malnutrisi dan kematian dini. Begitu pula ibu-ibu yang melahirkan. Pertumbuhan orang asli Papua (OAP) kian rendah dan jumlah mereka tidak bisa mengimbangi jumlah penduduk pendatang sertapekerja migran asal Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
Upaya percepatan pembangunan itu masih mendapat resistansi dari OAP. Belakangan, pada 2 Desember lalu, sayap militer Organisasi Papua Merdeka kembali melancarkan serangan bersenjata ke para pembangun jalan di Kabupaten Nduga. Sehari sebelumnya, para mahasiswa Papua, yang dikirim belajar dengan beasiswa negara, berunjuk rasa anti-pemerintah di Surabaya sambil menaikkan bendera Bintang Kejora.
Apa yang salah dengan kebijakan pemerintah? Kekeliruan terletak dalam memahami konsep otonomi asimetris. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sony Sumarsono, misalnya, melihat otonomi asimetris sebagai sumber kesalahan. Penduduk Papua dinilai gagal menjalankannya untuk meraih kesejahteraan dan mengejar kemajuan.
Dengan total anggaran Rp 47,9 triliun pada 2002-2016, sekurang-kurangnya Rp 7,18 triliun sudah tersalurkan demi perbaikan kesehatan penduduk Papua. Dana otonomi khusus selalu mengalami peningkatan antar-periodenya, yang dalam 15 tahun naik 290,57 persen, dari Rp 1,38 triliun pada 2002 menjadi Rp 5,39 triliun di 2017. Ironisnya, indikator kesejahteraan masyarakat, seperti tingkat kemiskinan OAP, hanya berkurang 32,05 persen dalam kurun yang sama.
Terjadinya kasus gizi buruk dan wabah campak memang bisa dituding sebagai akibat dari inefisiensi dan inefektivitas penggunaan dana. Namun mengapa hal itu dibiarkan terjadi selama dua dasawarsa? Bagaimana bisa program-program otonomi khusus dilaksanakan dengan absennya advokasi dan pendampingan?
Argumen bahwa otonomi asimetris harus lepas sama sekali dari keterlibatan pemerintah pusat, seperti yang diajukan Sony, adalah sumber masalahnya. Dalam perspektif akademis dan teoretis, otonomi asimetris tetap membutuhkan kehadiran pemerintah pusat dalam bentuk (pemeliharaan) komunikasi dan pengawasan.
Disertasi doktoral Riris Katharina (2017) telah mengungkap kegagalan implementasi otonomi khusus akibat penerapan otonomi asimetris yang keliru sejak awal di Papua dengan absennya deliberasi. Yang lebih buruk lagi, OAP tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan kebijakan otonomi khusus ini sehingga kebijakan ini tampak hanya sebagai solusi instan agar Papua segera menghentikan tuntutan separatismenya.
Tidaklah mengejutkan jika temuan di lapangan menunjukkan berbagai proyek infrastruktur itu lebih berguna bagi kaum pendatang, dan justru kian memarginalkan OAP. Dampak kejutan budaya dan sosial-ekonomi juga belum diperhitungkan pemerintah pusat. OAP akan tercabut dari akar budaya dan ekologinya. Sayangnya, pemerintah pusat masih keras kepala tidak mau disalahkan.
Pelaksanaan otonomi asimetris membutuhkan prasyarat deliberasi dalam setiap tahapan. Keterlibatan masyarakat di setiap tahapan itu tidak bisa bersifat pura-pura dan rekayasa, termasuk lewat Musyawarah Rencana Pembangunan dan pendekatan noken yang dijalankan lewat pemerintah daerah di tingkat terendah.
Hanya dengan kebijakan pembangunan yang partisipatif dan demokratis, pembangunan Papua bisa dijalankan. Demikian juga, hanya dengan otonomi asimetris yang deliberatif, otonomi khusus Papua bisa dilakukan lebih baik.