Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berulangnya kasus kekerasan di pesantren menunjukkan sikap pemerintah yang tak serius mengawasi dan membenahi institusi pendidikan berbasis agama. Tanpa perubahan sistem, kejadian serupa akan terus terulang dan menelan lebih banyak korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus terbaru di Pesantren Al Hanifiyyah, Kediri, Jawa Timur, adalah potret buruk yang amat memilukan. Bintang Balqis Maulana, santri 14 tahun, harus kehilangan nyawa akibat penganiayaan oleh empat seniornya. Bintang dipukuli sampai wafat oleh para pelaku dengan berbagai alasan. Dari tak ikut salat berjemaah hingga dituduh mengadu kepada orang tuanya soal kondisi pesantren.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang membuat miris adalah tindakan para pelaku yang sempat menutupi kematian korban. Kepada para ustad, para pelaku mengatakan sempat merawat Bintang yang mereka sebut jatuh di kamar mandi. Dari sini juga muncul pertanyaan, mengapa para pengelola pesantren tidak segera membawa Bintang ke rumah sakit sehingga akhirnya dia meregang nyawa.
Peristiwa semacam ini seharusnya tak terjadi apabila pengelola pesantren dan lembaga pendidikan sejenis memiliki sistem pengawasan serta pengajaran yang baik. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada 37 kasus kekerasan di lingkungan pesantren sepanjang 2018-2019. Sebanyak 33 persen di antaranya berbentuk kekerasan fisik dan sisanya kasus pelecehan seksual. Pada 2022, terdapat empat santri yang meninggal karena dianiaya senior. Sedangkan dalam setahun terakhir, ada enam kasus kekerasan yang terjadi di pesantren.
Harus diakui bahwa kasus-kasus ini merupakan buah dari sistem pendidikan tertutup yang selama ini dijalankan oleh pesantren dan lembaga pendidikan berbasis keagamaan lainnya. Masyarakat bahkan orang tua santri sulit mendapatkan akses atau informasi mengenai kejadian di dalam sekolah jenis ini. Selain itu, ada anggapan umum bahwa pendidik di sekolah semacam ini tak boleh dibantah sehingga tercipta relasi kuasa yang timpang. Hal ini yang menempatkan siswa atau santri dalam posisi paling lemah. Padahal dia yang seharusnya mendapat hak berupa pendidikan yang baik.
Dalam kasus Pesantren Al Hanifiyyah bahkan ada persoalan lain. Menurut laporan dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur, pesantren ini tak memiliki izin untuk menyelenggarakan "pendidikan pesantren". Ini sangat janggal mengingat Al Hanifiyyah sudah beroperasi sejak 2014.
Baca Liputannya:
Yang membuat miris sekaligus geram, Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur tak bisa melakukan tindakan administratif karena pesantren itu tak terdaftar. Seharusnya para pejabat di sana malu karena terbukti tak bisa menjalankan fungsi pengawasan atas semua kegiatan yang berada di bawah kewenangannya. Lebih jauh lagi, hal semacam ini menimbulkan kecurigaan adanya kongkalikong atau suap, mengingat pesantren ilegal ini bisa beroperasi cukup lama dengan merekrut banyak santri selama bertahun-tahun.
Karena itu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas harus membuat kebijakan yang lebih tegas untuk mengawasi pesantren dan lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama serta Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 4836 Tahun 2022 tentang Panduan Pendidikan Pesantren Ramah Anak ternyata belum cukup ditaati oleh pelaku pendidikan di pesantren sehingga kasus seperti di Kediri terus berulang.
Yang tak kalah penting, menteri dan para pejabat Kementerian Agama tak boleh lalai, apalagi lepas tangan, dalam mengawasi lembaga pendidikan yang ada di bawahnya. Tak ada pembenaran soal pesantren tak berizin atau ilegal, mengingat lembaga pendidikan semacam ini seharusnya lebih mudah diawasi. Toh, sudah banyak kasus yang menunjukkan lemahnya pengawasan pada institusi pendidikan terus-menerus memakan korban.