Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kekuasaan tuhan

Gerhana matahari total barangkali isyarat waktu. hidup ibarat hujan, nyaman tapi sebentar. gerhana juga tanda kekuasaan tuhan, manusia sangat tak berarti dihadapannya. kita gentar oleh kekuasaan itu.

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PATUNG-patung Budha dalam stupa itu seakan tiba-tiba saja membisu. Batu itu telah berada di sana berabad-abad, di Borobudur, tak bergerak. Tapi ketika gerhana itu terjadi, dan cahaya redup yang aneh jatuh sampai ke pelosok bukit, kebisuan itu serasa mendadak. Terkesiap. Apakah yang terjadi sebenarnya? Mungkin segala-galanya. Tapi, mungkin juga, hanya isyarat waktu. Langit begitu jauh dan begitu purba. Juga siklus yang tak terperikan yang diatur secara antah berantah itu: candi dari abad ke-9 ini, yang hadir di antara kita kini, telah menyaksikan kejadian yang sama tiga setengah abad yang lewat. Juga tiga abad lebih sebelumnya, dan tiga abad lebih sebelumnya lagi. Empat kali: sebanyak itu sudah monumen hitam di bukit itu bersentuhan dengan gerhana yang demikian sempurna -- ketika gelap jatuh di siang dan suhu turun mendadak. Empat kali: sebuah angka kecil. Namun tiap kali ratusan tahun tenggelam, jutaan nyawa meninggalkan dunia, dan puluhan bencana, perang atau juga saat-saat bahagia terjadi. Waktu, ternyata, tak dapat direduksikan. Ia bukan hanya deretan detik, satuan tahun. Ia tak sepenuhnya dapat diterangkan, kecuali dengan menyaksikan apa yang fana. Dan apakah yang fana? Apakah kita? Jawabannya barangkali ketus, barangkali pula ringan: makhluk yang tak terlihat dari ufuk angkasa luar, penghuni di bawah sebuah candi tua yang -- bila dihitung dengan kurun astronomi -- sebenarnya masih bayi. Cuma 4 x GMT. Dengan kata lain, kita cuma debu. Tak heran bila gerhana yang sedemikian itu jadi peristiwa yang menggerakkan orang untuk bersembahyang. Tak heran bila ia bisa menyentuhkan kita dengan apa saja yang membikin hati lebih merendah. Sebab yang pasti kita tak tahu di manakah kita pada saat gerhana matahari sebelum ini, tiga tahun sebelum Sultan Agung berangkat, dari dekat dusun ini, untuk menyerbu Jakarta. Kita juga tak tahu akan di manakah kita pada gerhana yang sama di masa datang ketika GMT kelima datang di Borobudur. Jarak antara abad ke-17 dan abad ke-20 adalah jarak yang panjang, biarpun dikaitkan dengan beberapa catatan sejarah. Teramat banyak yang tanpa jejak, teramat banyak yang tak diketahui. Sebaliknya, jarak antara abad ke-20 dan abad ke-23 juga tak dapat dibayangkan, betapa pun bantuan Herman Kahn. Perubahan begitu cepat. Bumi kian tak dapat diperhitungkan. Kisah-kisah science fiction kian menyajikan imajinasi yang ganjil. Kita mungkin akan bersua dengan E.T., atau kita akan hancur seperti penghuni planet Krypton dalam dongeng Superman. Apa pun yang akan tiba, pada akhirnya kita -- orang-orang yang mengincarkan teropong bintang, orang-orang yang ketakutan digiring hansip, menteri yang berdiri di samping stupa, nelayan yang dicegah turun ke laut, turis yang membayar untuk sensasi -- semua ini hanya sekerumunan titik yang singkat. Dan Chairil Anwar menulis, dengan satu kalimat yang kemudian termashur, "Hidup hanya menunda kekalahan". Hanya menunda kekalahan? Artinya: suatu aksiden yang tanpa makna apa-apa, kecuali saksi keakbaran Yang Mencipta? Disitulah letak soalnya. Sesuatu yang tanpa makna akan lebih menyedihkan daripada sebuah lokomotif tua. Sang loko tua setidaknya bisa membawa kita menyaksikan hutan Cepu -- memberikan hiburan. Ia bukan sesuatu yang berlebih. Maka barangkali karena itu sepanjang riwayatnya manusia pun mencari sintesa, antara kerendahan hati untuk mengaku sebagai debu dan rasa tidak ingin untuk hanya jadi produk yang tanpa nilai. Agama pun kemudian memberi jawab, ketika kehadiran kita dikaitkan dengan Tuhan. Bukan sekadar Yang Mahakuasa, tapi juga Maha Pengasih. Demikianlah GMT barangkali isyarat waktu: hidup itu ibarat hujan, nyaman tapi sebentar (atau sebentar tapi nyaman), untuk memakai sebuah tamsil dari padang pasir. Maka kita pun gentar oleh kekuasaan itu, tapi kita juga terhibur, bahwa kita bisa menyaksikannya. Lalu kita tahu bahwa 350 tahun yang lalu, dan 350 tahun yang akan datang, kita berbeda dari sebuah candi batu: lebih rapuh, tapi lebih berarti dalam rasa syukur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus