PATUNG-patung Budha dalam stupa itu seakan tiba-tiba saja
membisu. Batu itu telah berada di sana berabad-abad, di
Borobudur, tak bergerak. Tapi ketika gerhana itu terjadi, dan
cahaya redup yang aneh jatuh sampai ke pelosok bukit, kebisuan
itu serasa mendadak. Terkesiap.
Apakah yang terjadi sebenarnya? Mungkin segala-galanya. Tapi,
mungkin juga, hanya isyarat waktu. Langit begitu jauh dan begitu
purba. Juga siklus yang tak terperikan yang diatur secara antah
berantah itu: candi dari abad ke-9 ini, yang hadir di antara
kita kini, telah menyaksikan kejadian yang sama tiga setengah
abad yang lewat. Juga tiga abad lebih sebelumnya, dan tiga abad
lebih sebelumnya lagi.
Empat kali: sebanyak itu sudah monumen hitam di bukit itu
bersentuhan dengan gerhana yang demikian sempurna -- ketika
gelap jatuh di siang dan suhu turun mendadak. Empat kali: sebuah
angka kecil. Namun tiap kali ratusan tahun tenggelam, jutaan
nyawa meninggalkan dunia, dan puluhan bencana, perang atau juga
saat-saat bahagia terjadi.
Waktu, ternyata, tak dapat direduksikan. Ia bukan hanya deretan
detik, satuan tahun. Ia tak sepenuhnya dapat diterangkan,
kecuali dengan menyaksikan apa yang fana.
Dan apakah yang fana? Apakah kita? Jawabannya barangkali ketus,
barangkali pula ringan: makhluk yang tak terlihat dari ufuk
angkasa luar, penghuni di bawah sebuah candi tua yang -- bila
dihitung dengan kurun astronomi -- sebenarnya masih bayi. Cuma 4
x GMT.
Dengan kata lain, kita cuma debu.
Tak heran bila gerhana yang sedemikian itu jadi peristiwa yang
menggerakkan orang untuk bersembahyang. Tak heran bila ia bisa
menyentuhkan kita dengan apa saja yang membikin hati lebih
merendah.
Sebab yang pasti kita tak tahu di manakah kita pada saat gerhana
matahari sebelum ini, tiga tahun sebelum Sultan Agung berangkat,
dari dekat dusun ini, untuk menyerbu Jakarta. Kita juga tak tahu
akan di manakah kita pada gerhana yang sama di masa datang
ketika GMT kelima datang di Borobudur.
Jarak antara abad ke-17 dan abad ke-20 adalah jarak yang
panjang, biarpun dikaitkan dengan beberapa catatan sejarah.
Teramat banyak yang tanpa jejak, teramat banyak yang tak
diketahui.
Sebaliknya, jarak antara abad ke-20 dan abad ke-23 juga tak
dapat dibayangkan, betapa pun bantuan Herman Kahn. Perubahan
begitu cepat. Bumi kian tak dapat diperhitungkan. Kisah-kisah
science fiction kian menyajikan imajinasi yang ganjil. Kita
mungkin akan bersua dengan E.T., atau kita akan hancur seperti
penghuni planet Krypton dalam dongeng Superman.
Apa pun yang akan tiba, pada akhirnya kita -- orang-orang yang
mengincarkan teropong bintang, orang-orang yang ketakutan
digiring hansip, menteri yang berdiri di samping stupa, nelayan
yang dicegah turun ke laut, turis yang membayar untuk sensasi --
semua ini hanya sekerumunan titik yang singkat. Dan Chairil
Anwar menulis, dengan satu kalimat yang kemudian termashur,
"Hidup hanya menunda kekalahan".
Hanya menunda kekalahan? Artinya: suatu aksiden yang tanpa makna
apa-apa, kecuali saksi keakbaran Yang Mencipta?
Disitulah letak soalnya. Sesuatu yang tanpa makna akan lebih
menyedihkan daripada sebuah lokomotif tua. Sang loko tua
setidaknya bisa membawa kita menyaksikan hutan Cepu --
memberikan hiburan. Ia bukan sesuatu yang berlebih.
Maka barangkali karena itu sepanjang riwayatnya manusia pun
mencari sintesa, antara kerendahan hati untuk mengaku sebagai
debu dan rasa tidak ingin untuk hanya jadi produk yang tanpa
nilai. Agama pun kemudian memberi jawab, ketika kehadiran kita
dikaitkan dengan Tuhan. Bukan sekadar Yang Mahakuasa, tapi juga
Maha Pengasih.
Demikianlah GMT barangkali isyarat waktu: hidup itu ibarat
hujan, nyaman tapi sebentar (atau sebentar tapi nyaman), untuk
memakai sebuah tamsil dari padang pasir. Maka kita pun gentar
oleh kekuasaan itu, tapi kita juga terhibur, bahwa kita bisa
menyaksikannya. Lalu kita tahu bahwa 350 tahun yang lalu, dan
350 tahun yang akan datang, kita berbeda dari sebuah candi batu:
lebih rapuh, tapi lebih berarti dalam rasa syukur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini