Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Talak Tiga Menteri Siti

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memutus kerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia. Indikasi sikap antikritik dan nasionalisme yang kebablasan.

1 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGKAH Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memutus kerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat. Selain tidak didasari komunikasi yang transparan, keputusan penghentian kerja sama ini tampaknya tak dipertimbangkan matang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemutusan hubungan kerja pemerintah dengan WWF yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Nomor SK.32/Menlhk/Setjen/KUM.1/1/2020 tertanggal 10 Januari 2020 jelas melanggar prosedur yang disepakati kedua pihak. Perjanjian kerja sama mensyaratkan rencana penghentian hubungan harus disampaikan minimal enam bulan sebelum keputusan diambil. Nyatanya, surat evaluasi perjanjian dan keputusan penghentian kerja sama dikirim Kementerian secara bersamaan pada Oktober 2019. Pelanggaran prosedur semacam ini dapat diartikan sebagai cacat hukum yang bisa menganulir keputusan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar secara efektif membatalkan sekitar 30 proyek WWF di berbagai taman nasional yang semula dikelola bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Padahal kerja sama konservasi satwa, seperti badak, gajah, dan harimau, serta berbagai program pelestarian alam ini dirintis sejak 1962 dan seharusnya baru kedaluwarsa tiga tahun lagi. Tanpa sokongan dana WWF, yang jumlahnya sekitar Rp 350 miliar setiap tahun, beberapa petugas lapangan Kementerian Lingkungan Hidup mengaku tak tahu bagaimana harus membiayai kegiatannya.

Dalam suratnya, Kementerian Lingkungan Hidup memang menyebutkan beberapa alasan yang mendasari keputusan mereka. Pertama, ruang lingkup kerja WWF kini dinilai sudah lebih luas dari ruang lingkup perjanjian. Karena itu, kegiatan WWF di luar konservasi satwa dinilai tidak memiliki dasar hukum kerja sama yang sah. WWF Indonesia juga disebut telah melanggar prinsip kerja sama dengan mempublikasikan klaim sepihak mengenai keberhasilan kerja-kerja mereka. Ada juga soal kampanye media sosial WWF yang disebut tak sesuai dengan fakta.

Tentu hak pemerintah mengevaluasi lembaga swadaya masyarakat yang bekerja sama dengan mereka. Namun, yang janggal, Menteri Siti Nurbaya sama sekali menolak segala bentuk komunikasi soal keputusannya. Lazimnya, jika ada evaluasi atas sebuah kerja sama, pihak yang diperiksa akan diundang dan diminta menjelaskan duduk perkaranya. Dalam kasus ini, Siti tidak memberikan kesempatan kepada pengurus WWF Indonesia menjelaskan latar belakang berbagai tindakan WWF yang dikeluhkan pemerintah, apalagi mengoreksi kesalahan mereka.

Ketika ancaman krisis iklim begitu nyata dan lingkungan kita tak terlindungi dengan optimal, tindakan sepihak Menteri Siti ini mengundang tanda tanya besar. Ada kesan pemerintah terlampau membesar-besarkan hal remeh-temeh, seperti status Facebook seorang selebritas yang mengkritik kebakaran hutan, ketimbang membangun sinergi menyelamatkan ekosistem. Apalagi jika benar keluhan beberapa organisasi non-pemerintah yang menyebutkan Kementerian Lingkungan Hidup kini makin sensitif terhadap kritik soal performa pemerintah melindungi alam.

Kerusakan hutan di Indonesia jelas perlu perhatian serius kita semua. Forest Watch Indonesia merilis angka laju deforestasi atau penebangan hutan selama 2013-2017 sudah mencapai 1,47 juta hektare per tahun. Angka ini meningkat drastis jika dibandingkan dengan periode lima tahun sebelumnya. Dengan laju kerusakan semasif itu, pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat tak punya pilihan selain bergandengan tangan.

Kontribusi WWF untuk konservasi alam Indonesia selama ini juga tak bisa diabaikan. Pada 2018, WWF menemukan keberadaan seekor badak Sumatera di Kalimantan Timur--yang sebelumnya dianggap tidak ada. Mereka juga yang berperan dalam proyek pengelolaan dan perawatan Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, yang menjadi habitat bagi 6.000 orang utan Kalimantan. Belum lagi peran WWF di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, sejak 1960-an. Menghentikan kerja sama akan merugikan upaya konservasi yang sudah berjalan.

Ke depan, Menteri Siti Nurbaya sebaiknya mengubah cara pandangnya mengenai peran organisasi non-pemerintah dalam kerja-kerja perlindungan lingkungan. Kritik dari mereka adalah obat pahit yang harus ditelan pemerintah untuk kebaikan publik. Reaktif dan terlampau sensitif menghadapi kritik, apalagi dengan mengobarkan semangat nasionalisme yang salah tempat, ibarat menepuk air di dulang: bakal tepercik ke muka sendiri.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus