Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dibelit utang, Krakatau Steel melakukan restrukturisasi besar-besaran.
Langkah Krakatau Steel layak dipuji dan dicontoh BUMN lain.
Pemerintah tak boleh mengulangi cara-cara lama dalam mengelola BUMN.
PEMERINTAH sepatutnya menarik pelajaran dari restrukturisasi utang jumbo PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Perusahaan penghasil baja itu kini bisa bernapas lega--setidaknya untuk sementara. Pinjaman US$ 2,2 miliar atau sekitar Rp 27 triliun dari sepuluh bank negara, swasta, dan asing kini dapat ditunda pembayarannya hingga 2027. Total beban bunga berkurang dari US$ 847 juta menjadi US$ 466 juta. Efeknya, untuk pertama kali dalam delapan tahun, neraca keuangan perusahaan negara itu tercatat positif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah tak boleh lagi memaksakan perusahaan pelat merah menggenjot bisnis tanpa kelayakan komersial dan finansial. Sebagai pemegang saham, pemerintah perlu jeli mengawasi setiap rencana bisnis perseroan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan 2015 dan 2016 secara jelas menyatakan porsi besar utang Krakatau Steel berasal dari pabrik peleburan tanur tiup. Pengolahan bijih besi yang lebih dikenal dengan blast furnace itu digadang-gadang mampu menghasilkan 1,2 juta ton metal panas per tahun. Namun semua hitungan di atas buku meleset. Nilai investasi awal sebesar US$ 674 juta membengkak menjadi US$ 682 juta. Pembangunan pabrik molor sebelas bulan sehingga Krakatau kehilangan potensi penghematan biaya produksi sebesar US$ 96,7 juta. Perusahaan juga terbebani pinjaman Rp 683 miliar.
Hasil produksinya pun bikin buntung. Akibat estimasi bahan bakar gas yang meleset, harga pokok produksi peleburan tanur tiup Krakatau lebih mahal US$ 82 per ton dibanding harga pasar. Maka keputusan perusahaan menghentikan operasi pabrik tersebut pada awal Desember 2019 merupakan langkah tepat.
Efisiensi yang Krakatau lakukan dengan menekan hingga hampir separuh biaya operasi, dari US$ 33 juta menjadi US$ 19 juta, perlu diapresiasi. Hanya, itu belum cukup. Masih ada sejumlah alternatif untuk keluar dari jerat kerugian mereka. Misalnya menjual aset yang tidak sejalan dengan bisnis utama. Itu pun harus dilakukan dengan ekstrahati-hati karena bisa makin menggerus sumber pendapatan yang sudah makin sempit. Pilihan lain adalah memperluas lini bisnis ke sektor hilir, mengingat persaingan di hulu sangat keras karena dibanjiri baja impor.
Pemerintah perlu menyoroti jeritan produsen terkait dengan masifnya impor baja. Arus masuk baja murah dari Cina, Jepang, Korea, Vietnam, dan Taiwan yang meningkat sejak 2014 itu mencapai puncaknya pada tahun lalu. Banjir baja impor murah itu menghilangkan 25 persen pangsa pasar baja dalam negeri serta membuat pemanfaatan pabrik baja nasional cuma 43 persen dari kapasitas total 24,6 juta ton. Akibatnya, bukan hanya Krakatau, enam perusahaan baja nasional lain terpaksa mengurangi lini produksi. Ada dugaan negara-negara asal memberikan subsidi ekspor--praktik yang dilarang oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hal ini harus ditindaklanjuti oleh Komite Anti-Dumping dan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia.
Restrukturisasi utang masif yang dilakukan Krakatau Steel ini hendaknya bisa diduplikasi pada perusahaan negara dengan problem sejenis. Dengan total utang Rp 35 triliun, Krakatau Steel bukan peminjam duit terbesar di jajaran perusahaan negara. Ada PT Bank Tabungan Negara yang berutang Rp 249 triliun, PT Taspen Rp 222 triliun, PT Waskita Karya Rp 102 triliun, PT Pupuk Indonesia Rp 76 triliun, dan PT Perusahaan Gas Negara Rp 59,6 triliun. Di antara pengutang kakap itu, Waskita Karya paling mengkhawatirkan karena utangnya naik 970 persen dari Rp 9,7 triliun pada 2014. Jika tak segera ditangani, gunungan tagihan tersebut bakal menjadi bom waktu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo