Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH mesti membatalkan rencana megaproyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Proyek senilai sekitar Rp 80 triliun itu lebih merupakan mercusuar ketimbang sarana transportasi yang dibutuhkan rakyat.
Dalam kondisi ekonomi yang "mendung" ini, pemerintah sama sekali tidak perlu mempertontonkan kemampuan menciptakan gebrakan besar untuk memamerkan eksistensi negara—seperti pernah dilakukan pemerintah Orde Lama. Anggaran sebesar itu lebih pantas dipakai buat membangun jalan tol 400 kilometer di Sumatera, empat pelabuhan di Kalimantan, atau kereta api di Papua, Kalimantan, dan Sulawesi, serta tiga bendungan. Efek pengganda (multiplier effect) pada ekonomi rakyat dari sejumlah proyek ini jauh lebih besar ketimbang kereta cepat Jakarta-Bandung itu.
Lagi pula, jarak 150 kilometer dari Ibu Kota ke Bandung tidak akan membuat "kereta peluru" yang mampu meluncur 350 kilometer per jam itu mencapai kecepatan maksimalnya. Itu akibat kereta harus berhenti di empat stasiun—jumlah stasiun ini berkurang dari delapan pada rancangan awal. Artinya, pemerintah membeli kereta cepat yang kelak hanya dioperasikan sebagai kereta "agak cepat" atau "sedang-sedang saja". Investasi model begini jelas mubazir. Lebih baik membenahi lintasan kereta api Jakarta-Bandung yang sudah ada, juga menambah kecepatan kereta konvensional yang sekarang beroperasi. Bukankah sejak 2005 sudah ada jalan tol Cipularang yang sangat memperpendek waktu tempuh.
Hal terpenting adalah soal anggaran. Sejak mula, Presiden Joko Widodo bersikap benar ketika menolak penggunaan anggaran belanja negara (APBN) untuk membiayai proyek ini. Selanjutnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno membentuk konsorsium BUMN untuk membangun sekaligus mencari dana investasi kereta api Jakarta-Bandung. Konsorsium itulah yang akan menjalin kerja sama dengan badan usaha negara pemberi pinjaman—calon kuatnya Cina atau Jepang. Diperkirakan konsorsium BUMN akan menanggung utang US$ 2,51 miliar atau Rp 35,14 triliun—dengan kurs Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat.
Pemberi pinjaman akan membiayai sebagian besar proyek dengan utang bertenor panjang, yakni 40 tahun. Dua negara itu juga memberi "iming-iming" masa tidak mengangsur pinjaman (grace period) sekitar 10 tahun, selain bunga pinjaman menarik. Konsorsium BUMN tentu saja ikut menyetor sebagian dana, termasuk menyediakan lahan untuk jalur kereta dan kawasan permukiman baru sebagai bagian dari bisnis kereta api Jakarta-Bandung itu.
Seandainya kelak proyek ini untung, tentu tak ada masalah. Tapi bisnis juga mungkin rugi kalau target meleset. Konsorsium empat BUMN—Wijaya Karya, Jasa Marga, Kereta Api Indonesia, dan Perkebunan Nusantara VIII—di bawah bendera PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia rasanya sulit mencapai target 61 ribu penumpang sehari.
Mengutip data Institut Studi Transportasi, sekarang setiap hari sekitar 145 ribu orang melintasi Jakarta-Bandung. Dari jumlah itu, 85 persen menggunakan kendaraan pribadi. Hanya 2.000-2.500 orang yang menggunakan kereta api ke Bandung. Jumlah pemakai kendaraan umum kurang dari 20 ribu sehari. Seandainya kelak 50 persen dari pengguna angkutan umum beralih naik kereta cepat, itu berarti hanya ada 10 ribu penumpang—jauh dari target konsorsium. Apalagi tarif kereta itu, Rp 200-220 ribu, tergolong tidak murah dibanding ongkos angkutan yang tersedia saat ini.
Jika target penumpang tidak tercapai, bisa dipastikan proyek kereta cepat rugi. Kalau kerugian ini cukup dalam dan berakibat kegiatan operasional BUMN itu terganggu, agak mustahil pemerintah sebagai pemegang saham BUMN membiarkannya. Pekan lalu, sebagai contoh, pemerintah meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberi dana penyertaan modal negara kepada 23 BUMN sebesar lebih dari Rp 34 triliun, termasuk perusahaan pemerintah yang merugi. Maka, dalam kasus kereta api Jakarta-Bandung, walaupun sejak awal pemerintah menyatakan tak memakai APBN, anggaran negara mustahil tak mengucur seandainya proyek itu rugi.
Konsorsium juga bakal dihadang persoalan besar menyangkut pinjaman luar negeri. Dalam kondisi kurs tukar naik-turun tajam, meminjam dana besar dalam bentuk mata uang asing, sedangkan pendapatan dalam rupiah, mengundang risiko besar. Besar pengembalian utang bisa bertambah berlipat-lipat seandainya rupiah masih tak stabil seperti sekarang.
Lebih baik kereta cepat Jakarta-Bandung dibatalkan, diganti dengan rute yang lebih panjang, misalnya Jakarta-Surabaya. Dengan jarak sekitar 700 kilometer itu, "kereta peluru" akan benar-benar menjadi kereta supercepat. Potensi penumpang pun lebih besar dibanding Jakarta-Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo