Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA akhirnya kita harus takjub atas "keberanian" sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Ketika orang banyak menuntut hukuman seberat-beratnya terhadap koruptor, mereka malah asyik dengan agenda yang bertentangan dengan aspirasi itu. Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi—yang sudah terbukti efektif dijadikan dasar hukum melawan korupsi—ternyata hendak dilumpuhkan.
Upaya pelemahan KPK ini adalah lagu lama yang terus bertahan dari rezim ke rezim semenjak reformasi melahirkan lembaga itu pada 2003. Namun yang diusulkan 15 legislator dari PDI Perjuangan, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, NasDem, dan Hanura dalam rapat Badan Legislasi akhir bulan lalu tak tanggung-tanggung. Mereka tidak hanya melarang lembaga antikorupsi ini menyadap—kecuali dengan izin pengadilan—tapi juga menetapkan "umur" KPK tinggal 12 tahun lagi, terhitung sejak rancangan disahkan sebagai undang-undang.
Sebagai lembaga ad hoc, KPK memang harus memiliki batas waktu operasional. Namun, kenyataannya, belasan tahun komisi antirasuah ini memerangi korupsi, pencurian uang rakyat tak semakin kendur. Penetapan tenggat yang ketat tanpa dukungan penuh terhadap lembaga ini niscaya akan membuat Komisi bak lembaga impoten. Apalagi, yang terjadi selama ini, KPK sibuk menghadapi bermacam rongrongan: intervensi proses hukum, hambatan anggaran pembangunan gedung, hingga ancaman pembubaran oleh para politikus di DPR.
Draf revisi lainnya menyangkut jumlah kerugian negara. Pasal 13 huruf b menyebutkan KPK hanya menangani kasus korupsi yang dalam tahap penyidikannya ditemukan kerugian negara minimal Rp 50 miliar. Sebelumnya, jumlah minimal kerugian negara Rp 1 miliar. Menurut Pasal 13 huruf c, jika kerugian negara kurang dari Rp 50 miliar, kasusnya diserahkan ke kepolisian atau kejaksaan. Tentu saja, ketentuan ini akan membatasi jumlah kasus yang ditangani KPK. Padahal, sampai kini, kepolisian dan kejaksaan belum bisa diandalkan dalam menangani perkara korupsi.
Ironisnya, keberhasilan KPK dalam memerangi korupsi justru membuat lembaga ini bertahun-tahun jadi sasaran tembak. Tiga tahun lalu, di tangan Komisi, tak kurang dari 240 pelaku korupsi mendekam di balik jeruji—64 orang di antaranya politikus Senayan. Jika Komisi akhirnya kehilangan wewenang menyadap dan menuntut—sebagaimana termaktub dalam revisi itu—tentu keberhasilan tersebut hanya cerita di masa lalu.
Dengan dua wewenang itu, KPK cukup ampuh melawan pembonsaian perkara korupsi. Cara ini juga banyak diterapkan komisi antikorupsi di Malaysia, India, dan Argentina. Setidaknya ada 22 negara yang memiliki wewenang melakukan penindakan dan penuntutan sekaligus. Satu lagi yang patut dicatat, petaka revisi Undang-Undang KPK terlihat dari upaya DPR memperpanjang proses birokrasi penyadapan—yang mensyaratkan langkah ini harus seizin pengadilan.
Prosedur yang semakin panjang ini tentu memperbesar potensi kebocoran informasi. Terlebih lagi, selama ini, publik sangat memahami posisi pengadilan di Indonesia, yang masih menjadi salah satu titik lemah penegakan hukum. Praktek mafia peradilan masih marak. Banyak hakim tertangkap basah menerima suap atas perkara yang mereka adili.
Upaya Dewan memangkas wewenang KPK ini tak boleh didiamkan. Partai politik semestinya unjuk integritas dengan cara menolak siasat lancung ini. Sulit dibantah bahwa revisi ini merupakan kehendak politik yang sarat kepentingan terselubung. Jika tidak dilawan, ikhtiar ini bisa membuka peluang para koruptor untuk kembali berjaya. Mereka bersorak lantaran semakin leluasa menyembunyikan kejahatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo