Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyelewengan dana upah pungut pajak daerah menunjukkan reformasi belum menghapus semua praktek buruk rezim lama. Para pejabat pemerintah masih saja mencari-cari dana di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan pertanggungjawaban yang longgar, dana luar anggaran bisa dipakai untuk apa saja: menggalang dukungan politik sampai keperluan pribadi.
Dana upah pungut pajak daerah resminya dialokasikan sebagai perangsang bagi petugas lapangan. Di antaranya para pendata wajib pajak dan pemungut pajak. Penyisihan dana ini diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001, yang pada pasal 76 disebutkan, ”Dalam rangka kegiatan pemungutan pajak daerah, dapat diberikan biaya pemungutan paling tinggi sebesar lima persen.”
Hari Sabarno, Menteri Dalam Negeri 2001-2004, lalu membuat Keputusan Menteri tentang Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Daerah. Awalnya, semua dana yang disetor ke Departemen Dalam Negeri dikeluarkan untuk upaya penarikan pajak. Tapi kemudian ia membuat aturan revisi, yang memungkinkan dana upah pungut digunakan untuk ”kesejahteraan pegawai”.
Revisi itu bak membuka keran bagi bocornya dana upah pungut pelbagai daerah yang jumlahnya Rp 40 miliar per tahun. Menteri memakai dana ini untuk menyewa pesawat ketika berkunjung ke daerah—kegiatan yang mestinya dibiayai anggaran negara. Ada pula dana untuk keperluan Dharma Wanita, perkumpulan istri pejabat dan pegawai departemen.
Penyelewengan ini berlanjut hingga pos Menteri Dalam Negeri diisi Muchamad Ma’ruf dan kemudian Mardiyanto. Uang dipakai buat keperluan pribadi seperti biaya pernikahan, ulang tahun istri menteri, renovasi rumah, beli mobil, dan ongkos berobat menteri. Investigasi Tempo mencatat, sekurang-kurangnya Rp 255,9 miliar dikucurkan pada 2001-2008.
Dana untuk menggalakkan penarikan pajak itu pun akhirnya bocor ke mana-mana. Layaknya upeti, uang pajak ini disetor ke departemen di pusat dan kemudian dipakai para pejabat menurut selera.
Dari perspektif politik keuangan negara, upah pungut memang sering dianggap wajar. Pajak yang ditarik dengan metode official assessment memang perlu sistem, prosedur, juga tenaga pemungut. Dana yang dikumpulkan dari pajak kendaraan bermotor bisa diambil contoh. Dana itu dikategorikan ilegal karena pungutan yang tergolong penerimaan negara itu tidak dimasukkan ke rekening negara.
Kita tahu, pemerintah sudah bertekad menertibkan rekening liar penampung dana gelap seperti itu. Tahun lalu, ada 32 ribu rekening liar tersebar di banyak departemen dan lembaga negara. Sekitar 20 ribu rekening sudah diperiksa Departemen Keuangan dan dipakai kembali. Delapan ribu rekening harus ditutup. Masih ada sekitar 4.300 rekening yang diteliti Departemen Keuangan.
Dengan pelbagai penyelewengan yang terjadi, sudah saatnya upah pungut dihapuskan saja. Tak cukup hanya membekukan seperti yang dilakukan saat ini. Semua penerimaan pajak harus disetorkan ke rekening negara. Insentif bagi penarik pajak bisa diwujudkan dengan cara lain, misalnya tunjangan tetap yang dimasukkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jika anggarannya memungkinkan, kenaikan gaji bagi mereka juga bisa dilakukan.
Komisi Pemberantasan Korupsi tentu saja harus menuntaskan pengusutan kasus penyelewengan upah pungut, yang sebenarnya telah dimulai sejak tahun lalu. Dengan begitu, kita tak kembali ke zaman upeti: ketika pejabat pemerintah pusat mengumpulkan dana dari daerah lalu bisa digunakan sekehendak hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo