Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ribetnya Menyusun Kabinet

26 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STRATEGI pencitraan kembali menjadi kata kunci di balik proses seleksi Kabinet Indonesia Bersatu II. Strategi ini sengaja dipilih karena sang figur sentral, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah merasakan betul ampuhnya ”ajian” ini dalam pemilihan presiden. Ia kembali terpilih sebagai presiden dengan meraup suara spektakuler hanya dalam satu putaran.

Lewat show time di Cikeas yang tak pernah dilakukan rezim terdahulu, Presiden Yudhoyono tampaknya ingin meyakinkan publik bahwa prosedur yang dia tempuh dalam menyusun kabinet benar-benar transparan dan akuntabel. Partai politik mitra koalisi juga dikirimi pesan serupa: semua kandidat sudah diuji secara obyektif dan sesuai dengan kaidah yang bisa dipertanggungjawabkan secara ”ilmiah”.

Episode lakon politik seperti ini seharusnya tak perlu diulangi. Misi mengolah impresi untuk menaklukkan hati publik mestinya sudah berakhir ketika Yudhoyono memenangi persaingan pemilihan presiden yang berlangsung secara demokratis dan damai itu. Ia tak perlu membuang waktu dengan menggelar seremoni prakabinet yang terkesan artifisial itu. Alih-alih uji kelayakan dan kepatutan, yang santer terdengar justru Presidenlah yang dominan memberikan wejangan.

Kalau ujian itu dilakukan dengan benar, tentu kompetensi menjadi syarat utama. Faktanya, banyak pos kabinet yang sudah dipatok menjadi jatah kader partai politik, zonder mengindahkan keahlian mereka. Memberikan kursi kepada partai pendukung bukannya salah. Tapi patut disayangkan jika ternyata Presiden akhirnya mengalah demi representasi tanpa menakar keahlian kandidatnya. Padahal kemampuan dan keahlian justru sangat diperlukan untuk mencapai target kabinet pamungkasnya ini.

Sistem politik multipartai memang bisa menyulitkan Presiden membentuk kabinet presidensial. Tapi hal itu bisa diterobos dengan mentalitas baja dan nyali pemberani dengan mengedepankan hak prerogatif, apa pun konsekuensinya. Toh modal politik Yudhoyono kini jauh lebih perkasa ketimbang pada 2004.

Ternyata politik balas jasa, dagang sapi, bagi-bagi kekuasaan, masih kental terbaca dari susunan kabinet anyar ini. Tokoh yang tampil memberikan impresi dalam momen krusial pada masa kampanye kemarin ternyata mendapat tempat terhormat. Hatta Rajasa, ketua tim kampanye Yudhoyono-Boediono, berperan penting dalam menyusun barisan menteri berlatar politik di bawah koordinasinya sebagai Menteri Koordinator Perekonomian.

Figur berkeringat dan berani pasang badan pada masa kampanye dan pembentukan koalisi juga menuai kado istimewa. Maka diplotlah Tifatul Sembiring, Presiden Partai Keadilan Sejahtera; Muhaimin Iskandar, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa; Suryadharma Ali, bos Partai Persatuan Pembangunan; dan Zulkifli Hasan, Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional, ke dalam departemen teknis yang sesungguhnya membutuhkan kemampuan profesional.

Pendek kata, semuanya dirangkul dalam koalisi over-sized atas nama harmonisasi politik yang siap mengamankan program Presiden. Bahkan Partai Golkar, yang menjadi seteru dalam pemilihan umum legislatif dan presiden, setelah menyatakan dukungan kepada pemerintah, ikut mendapat bonus kursi menteri.

Seandainya Partai Golkar tetap dibiarkan berada di luar kabinet, dan jatah partai politik masing-masing dikurangi satu menteri saja, tentu lebih banyak profesional atau pejabat karier di departemen yang bisa masuk kabinet. Dengan begitu, aroma kompromi politik tidak tercium begitu keras seperti sekarang ini.

Gaya seleksi dengan audiensi sesungguhnya tak perlu dilakukan. Niat Presiden Yudhoyono ingin memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengikuti proses pemilihan perlu dihargai. Tapi cara ini bukan tanpa bahaya. Calon yang menolak posisi yang ditawarkan Yudhoyono, misalnya, akan tergagap-gagap menjelaskan keberatannya kepada ratusan wartawan yang siap melakukan tayangan langsung dari Cikeas. Cara ini bisa menjadi semacam fait accompli bagi calon menteri.

Audiensi ala Cikeas juga merugikan calon yang akhirnya tak jadi dipilih. Tak lolosnya dokter Nila Djuwita Moeloek, yang integritas dan kompetensinya tak diragukan sebagai Menteri Kesehatan, jelas membawa konsekuensi etik yang serius. Ia telanjur tampil dalam adegan menegangkan di Cikeas dan berbicara di depan ratusan wartawan. Karangan bunga juga telanjur menjejali rumahnya. Presiden sebenarnya punya waktu banyak untuk menyelidiki calon menterinya dan menghindari kejadian fatal seperti ini.

Apa boleh buat, kabinet yang disusun dengan matriks syarat menteri dengan banyak variabel itu sekarang sudah terbentuk dan mulai bekerja. Dengan beberapa pos yang diisi pejabat minim kompetensi, semogalah bukan prestasi kabinet terakhir Yudhoyono ini yang menjadi taruhannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus