Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Richard Sianturi
Kandidat Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM. Periset legalitas klaim historis Cina pada 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah lebih dari dua tahun draf pertama kode berperilaku (code of conduct), yang diamanatkan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) pada 2002, disusun. Pembahasan mengenai isi kode berperilaku sebenarnya sudah lama dan beberapa kali mengalami kegagalan karena konstelasi politik internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat dengan sifat proteksionisnya, sempat diperkirakan Amerika tidak akan terlalu banyak ikut campur lagi dalam sengketa di wilayah Laut Cina Selatan. Sebaliknya, ini menjadi kesempatan bagi Cina untuk memperluas pengaruhnya di Asia-Pasifik, termasuk dalam dinamika konflik.
ASEAN sendiri juga mengalami banyak dinamika politik yang kelak menentukan prospek penyelesaian sengketa di Laut Cina Selatan. Terpilihnya Rodrigo Duterte sebagai Presiden Filipina pada 2016 memberikan dampak yang signifikan terhadap sengketa di Laut Cina Selatan. Keputusan Duterte untuk segera "bekerja sama" dengan Cina dalam pengelolaan wilayah di sekitar Paracels bertolak belakang dengan semangat negara itu ketika mengajukan gugatan unilateral atas klaim historis Cina ke Mahkamah Arbitrase Antarbangsa (PCA) di Den Haag, Belanda. Putusan PCA menjadi lebih "tidak berarti" dengan perubahan sikap politik internasional Filipina ini.
Semua dinamika politik ini terjadi saat Cina dan ASEAN memiliki DOC. Sayangnya, DOC ternyata lebih sering diabaikan. Pembangunan besar-besaran Cina di wilayah sengketa, baik di wilayah Spratly maupun Paracels, termasuk kasus masuknya penjaga pantai Cina di Laut Natuna Utara baru-baru ini, adalah bukti bahwa DOC sama sekali tidak bisa diandalkan.
Hal ini terjadi karena DOC bukan hukum yang mengikat (non-legally binding). Lagi pula, isi DOC terlalu diplomatis dalam mencegah pertarungan kepentingan di dalam sengketa besar seperti Laut Cina Selatan.
DOC juga tidak memberikan aturan-aturan teknis lebih lanjut dalam implementasinya. Meski berbentuk deklarasi, sudah diprediksi sejak awal bahwa DOC hanya dibuat untuk menurunkan sesaat tensi konflik. Apalagi ASEAN sebagai badan multilateral kerap gagal menentukan sikap bersama.
Kode berperilaku juga dipastikan tidak memiliki pengaruh besar dalam mencari penyelesaian yang berarti atas sengketa di Laut Cina Selatan. Pertama, dasar dari pembuatan kode berperilaku saat itu, selain karena amanat, hanya akan bertumpu pada kesepakatan yang kompromistis antara Cina dan anggota ASEAN, misalnya dengan penolakan Cina atas putusan Mahkamah Arbitrase 2016 yang masuk ke kode berperilaku. Jika putusan hukum saja ditolak, jelas dasar-dasar "politis" lebih mendominasi isi kode berperilaku.
Kedua, tidak ada kepastian bahwa kode berperilaku akan memiliki kekuatan mengikat, baik bagi Cina maupun ASEAN. Meskipun sebagai sebuah produk kesepakatan dalam hukum internasional, produk hukum internasional bersifat tidak mengikat. Dengan kenyataan tersebut, sebenarnya kode berperilaku tidak dapat diharapkan.
Ketiga, beberapa waktu terakhir, negara-negara kelihatan lebih berorientasi pada penguatan fundamen ekonomi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia mendorong setiap negara sangat berhati-hati dalam membangun kebijakan politik internasional masing-masing. Faktanya, dalam penyusunan kode berperilaku saat itu, anggota ASEAN lebih lunak dalam menerima kompromi Cina, mengingat pengaruh Cina, baik secara politik maupun ekonomi, di kawasan.
Saat ini, kasus pelanggaran wilayah kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara dengan hadirnya kapal penjaga pantai Cina menjadi bukti bahwa kode berperilaku yang disepakati bersama sama sekali tidak memiliki arti, khususnya bagi Cina. Sebagai hasil negosiasi dan diplomasi, kode berperilaku terbukti tidak efektif dalam upaya penyelesaian sengketa. Untuk itu, saat ini upaya negosiasi tidak relevan, melainkan konsistensi terhadap penegakan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara tidak bisa dinegosiasikan lagi atas dasar apa pun, mengingat sudah diatur dan diakui oleh UNCLOS 1982 sebagai satu-satunya rezim hukum laut internasional yang berlaku global. Karena itu, kehadiran penuh kekuatan negara di wilayah kedaulatan itu sangat diperlukan. Dalam doktrin hukum laut, kehadiran negara yang efektif atas suatu wilayah mempengaruhi legitimasinya atas wilayah itu.
Empat poin dalam nota protes yang disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah berada di jalur yang tepat. Saat ini dan sampai kapan pun, klaim sepihak dari negara lain, termasuk Cina, yang sengaja mengganggu kedaulatan nasional harus ditentang dengan keras berlandaskan hukum internasional.
Semakin lama pemerintah Indonesia menunda untuk bersikap lebih tegas, semakin terancam wilayah kedaulatan pada masa depan. Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan harus menjadi pelajaran penting. Pemerintah perlu menegaskan bahwa negosiasi politik yang berlarut-larut hanya akan menunda konflik yang lebih besar. Saat ini, komitmen terhadap penghormatan dan penegakan UNCLOS 1982 adalah yang paling krusial.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo