Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ketika Musim Teror Datang

Pemerintah terkesan membiarkan serangkaian teror terhadap para aktivis.

23 Oktober 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah petugas Gegana saat menyisir lokasi ancaman bom yang ajan meledakkan kantor LBH Jakarta pada pukul 11.00WIB di Jl Diponegoro 74, Jakarta Pusat, Selasa (27/3). Foto: Tempo/Aditia Noviansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah terkesan membiarkan serangkaian teror terhadap para aktivis. Pelemparan bom molotov ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan baru-baru ini merupakan contoh mutakhir. Tak ada pejabat pemerintah yang mengutuk tindakan kotor itu. Polisi pun tidak segera mengungkap pelakunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serangan bom molotov itu sampai membakar atap kantor LBH. Kamera CCTV Dinas Perhubungan Kota Medan merekam dua pelaku berboncengan dengan sepeda motor yang hingga kini belum diketahui identitasnya. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan 16 lembaga bantuan hukum dari berbagai daerah mengutuk teror itu. Mereka menduga pelemparan bom molotov tersebut berhubungan dengan sejumlah aktivitas LBH Medan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LBH Medan belakangan ini menjadi pusat konsolidasi gerakan #ReformasiDikorupsi di Medan untuk menolak hasil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bersama jaringan masyarakat sipil di Sumatera Utara, para aktivis di sana juga sedang mengusut kematian aktivis lingkungan hidup Golfrid Siregar, tiga pekan lalu. Polisi menyatakan Golfrid meninggal karena kecelakaan lalu lintas, tapi kalangan aktivis meyakini ia dibunuh.

Teror terhadap para aktivis di Medan bahkan sudah muncul sepekan sebelum serangan ke kantor LBH. Sejumlah orang tak dikenal tiba-tiba melempari Literacy Coffee dengan batu dan botol minyak bersumbu. Kafe di Jalan Jati II, Kota Medan, tersebut dikenal sebagai tempat aktivis menggelar diskusi seputar topik sejarah, demokrasi, hak asasi, kesetaraan gender, dan antikorupsi. Polisi hingga kini juga belum berhasil mengungkap para pelakunya.

Pemerintah semestinya tidak membiarkan teror terhadap para aktivis dan kasus kematian Golfrid menguap begitu saja. Presiden Joko Widodo harus segera memerintahkan Kepala Kepolisian RI untuk membongkar tuntas kasus-kasus yang mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia itu.

Tak cuma di Medan, kasus serupa juga muncul di banyak daerah. Di Lombok Tengah, misalnya, pembakar rumah Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Nusa Tenggara Barat, Murdani, pada akhir Januari lalu, hingga kini belum terungkap. Kita juga tidak akan pernah lupa akan teror penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, yang hingga kini masih gelap.

Sikap pemerintah yang kurang peduli pada teror dan kekerasan terhadap para aktivis menyebabkan kasus serupa terus berulang. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat 156 kasus tindak kekerasan terhadap pembela hak asasi, aktivis lingkungan, dan pegiat antikorupsi sepanjang 2018. Angka ini lebih dari dua kali lipat jumlah tahun sebelumnya.

Presiden Jokowi perlu memperbaiki rapor merah pemerintah periode lalu dalam soal perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat. Pemerintah seharusnya tidak mengulangi kesalahan rezim Orde Baru. Pembungkaman para aktivis lewat teror justru akan memperkuat perlawanan masyarakat sipil terhadap pemerintah.

Catatan:

Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 23 Oktober 2019

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus