Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPAK terjangnya sudah cukup menunjukkan bahwa Alzier Dianis Thabranie adalah "orang kuat" di Lampung. Mulanya dia dikenal sebagai tokoh Golkar. Ketika PDI Perjuangan menjadi partai terbesar negeri ini, dia pun meloncat ke Partai Banteng. Bahkan ia sempat menjadi orang pertama PDIP Lampung Selatan. Belakangan, ia balik lagi bergabung dengan Partai Golkar dan menjabat Ketua Partai Golkar Lampung. Reputasi ini saja sudah menunjukkan dia bukan hanya pengusaha, tapi juga pemain politik yang patut diperhitungkan.
Makin tinggi pohon, makin kencang angin menerpanya. Persoalan datang ketika Alzier sebagai anggota PDI Perjuangan mencalonkan diri sebagai Gubernur Lampung pada Desember 2002. Pengurus Pusat PDIP di Jakarta menolak pencalonan Alzier. Jakarta memilih tetap mendukung gubernur lama, Oemarsono, yang juga kader PDIP. Situasi runyam tatkala Alzier justru menang dalam pemilihan di DPRD Lampung.
Reaksi keras datang pada 2003. Menteri Dalam Negeri bukannya melantik tapi mengeluarkan surat keputusan pembatalan penetapan Alzier sebagai gubernur. Alasannya, DPRD Lampung tidak mendengar banyaknya suara keberatan masyarakat. Alzier dituduh memalsukan gelar dalam proses pencalonan gubernur itu. Menteri Dalam Negeri minta pemilihan diulang, dan naiklah Sjachroedin sebagai Gubernur Lampung pada Mei 2004.
Banyak orang setuju dengan langkah Alzier menempuh jalur hukum. Dia menggugat keputusan Menteri Dalam Negeri ke pengadilan tata usaha negara, dan menang di tingkat pertama serta tingkat banding. Mahkamah Agung pun pada pertengahan bulan lalu memenangkan Alzier. MA menilai surat keputusan Menteri Dalam Negeri itu tak sah dan diperintahkan untuk dicabut.
Alzier tentu berpendapat bahwa kemenangan di MA itu tiket otomatisnya untuk duduk sebagai gubernur. Seandainya dunia ini statis, tidak ada yang berubah, tentu Alzier boleh langsung berharap kursi gubernur. Tapi situasi politik sudah berubah. Di Lampung setahun terakhir ini berkuasa seorang gubernur yang dipilih oleh wakil rakyat, dan ditetapkan secara sah oleh Presiden RI. Akan semakin rumit urusannya jika Sjachroedin harus diturunkan begitu saja dan Alzier menggantikannya. Lagi pula tak ada perintah MA untuk mengganti gubernur yang sedang memerintah di Lampung.
Kalau Alzier memaksa, tentu dampak politiknya berat, pendukung gubernur yang sekarang berkuasa dan "gubernur yang batal dilantik" ini bisa-bisa terlibat ketegangan yang sebenarnya bisa dihindari. Salah satu cara menghindarinya sudah ditetapkan oleh undang-undang tata usaha negara, yaitu tuntutan ganti rugi. Alzier yang dirugikan boleh mengajukan permintaan ganti rugi kepada negara. Besar ganti rugi itu tentu sesuai dengan kerugian yang dia alami, misalnya dihitung dari banyak gaji dan fasilitas yang seharusnya dia terima sebagai gubernur.
Cara Alzier menetapkan ganti rugi, jika jalan itu yang akan ditempuhnya, menentukan penilaian masyarakat Lampung atas dirinya. Kalau Alzier menuntut ganti rugi besar-besaran, tentu dia bisa kehilangan simpati dari rakyat Lampung, malah antipati yang luas akan diterimanya.
Padahal, simpati rakyat Lampung masih sangat dibutuhkan Alzier, seandainya dia masih menginginkan kursi gubernur. Simpati rakyat diperlukannya ketika kelak pemilihan gubernur secara langsung digelar. Di ajang pemilihan umum lokal itu akan terbukti apakah Alzier bisa merebut hati rakyat Lampung atau malah terbukti dia memang harus minggir dari panggung politik. Mulai sekarang, Alzier boleh bersiap menuju pertarungan menentukan nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo