Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan pintas dan cenderung mengabaikan moralitas telah menjadi kebiasaan sehari-hari sebagian masyarakat. Kalangan terpelajar melakukan korupsi, dan sebagian penduduk pedesaan berusaha hidup makmur dengan segala cara, kalau perlu dengan menjual anak gadisnya.
Dari Kuala Lumpur, Malaysia, berita itu tersiar. Dua pekan lalu, 40 perempuan muda Indonesiasebagian berusia di bawah 18 tahundigerebek polisi Malaysia karena menjadi pelacur. Kini mereka ditampung di Kedutaan Besar RI, menanti proses pemulangan. Sebagian mengaku, mereka semula dijanjikan bekerja di restoran dengan gaji besar, tapi ternyata disekap di hotel dan dipaksa memuaskan nafsu lelaki. Diperkirakan, ratusan atau bahkan ribuan wanita asal Indonesia lainnya sampai kini masih terjebak dalam praktek pelacuran di Malaysia. Setiap tahun polisi di sana menangkap sedikitnya 2.000 wanita Indonesia yang jadi pelacur.
Tak hanya ke Malaysia, "anak baru gede" yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga dikirim menjadi "duta budaya" ke Jepang. Jangan bayangkan mereka akan menari serimpi atau jaipong, gadis-gadis cantik itu berubah menjadi "duta seks" setelah tiba di klub-klub malam di sana. Bayarannya cukup menggiurkan. Mereka bisa mengirim uang ke orang tuanya di kampung Rp 50 juta hingga Rp 200 juta setiap enam bulan.
Gambaran bahwa mereka telah ditipu atau dijebak tidak selalu benar. Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia mengamati, penjualan anak gadis sudah menjadi semacam budaya pada sebagian masyarakat. Di sebuah kampung di Indramayu, Jawa Barat, orang tua cenderung membiarkan anaknya luruh duit, mencari uang, dengan menjadi pelacur. Mereka malah bangga karena putrinya bisa mengirimkan banyak duit untuk membangun rumah dan membeli sepeda motor.
Mahalnya biaya pendidikan membuat orang tua di kampung itu berpikir pragmatis. Agar tidak menghabiskan duit, mereka umumnya hanya menyekolahkan anaknya sampai sekolah dasar. Setelah itu, si anak disuruh kawin atau luruh duit ke kota. Kebetulan ada calo bergentayangan sampai kampung, yang selalu membujuk orang tua agar mengizinkan anak gadisnya dibawa ke kota.
Buat menjerat calo dan germo yang terlibat dalam perdagangan anak-anak di bawah umur, kita sudah memiliki perangkat hukum. Mereka bisa dijaring dengan Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan diancam hukuman maksimal enam tahun penjara. Jika Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang digunakan, sanksinya lebih berat lagi, bisa dihukum maksimal 15 tahun penjara. Kini parlemen juga sedang membahas RUU tentang perdagangan orang, yang memiliki pasal yang lebih komplet untuk memerangi pelacuran anak-anak.
Lebih dari sekadar mempunyai segepok peranti hukum, langkah yang amat mendesak dilakukan adalah menerapkan aturan dengan sungguh-sungguh. Polisi harus segera membasmi segala praktek yang mengarah ke perdagangan seks anak-anak di bawah umur. Para calo, muncikari, germo, atau apa pun namanya, perlu dihukum seberat-beratnya.
Jika disadari memburu para calo dan germo terlalu menguras tenaga, perlu juga dipikirkan upaya pencegahan. Memerangi kemiskinan di daerah asal para pelacur harus dilakukan. Biaya pendidikan di sana harus dipermurah, kalau bisa dibebaskan. Pemerintah mesti pula menyediakan lapangan kerja yang cukup agar anak-anak mereka tidak luruh duit ke kota. Dengan melakukan sejumlah langkah itu, kita bisa menyelamatkan putri-putri cantik kita, sekaligus martabat bangsa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo