Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BADAN Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN seharusnya tidak didirikan untuk melayani kepentingan politik elite partai penguasa. Lembaga riset harus dibebaskan dari beban ideologi sehingga dapat menjadi tempat bagi orang untuk berpikir secara bebas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pemisahan BRIN dari Kementerian Riset dan Teknologi, aroma politik justru terlihat jelas. Presiden Joko Widodo lebih mempertimbangkan kemauan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri, daripada kepentingan ideal riset dan teknologi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aroma politis itu terlihat pada berlarut-larutnya urusan legalitas pendirian BRIN sejak awal periode kedua pemerintahan Jokowi. Pendirian lembaga itu semula diatur Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2019, yang dikeluarkan pada Oktober 2019. Peraturan itu diubah dua bulan kemudian, yang menambahkan, antara lain, klausul bahwa susunan organisasi BRIN berlaku paling lama hingga 31 Maret 2020.
Urusan legal menjadi kisruh karena susunan organisasi yang menggabungkan BRIN ke Kementerian Riset tak diperbarui sampai kedaluwarsa pada tanggal tersebut. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bahkan tak kunjung memproses ke lembaran negara peraturan baru yang sebenarnya sudah diteken Presiden Joko Widodo.
Menteri Hukum Yasonna Hamonangan Laoly diduga menahan peraturan itu karena partainya, PDIP, tak sepakat dengan desain BRIN versi Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Soemantri Brodjonegoro. Di struktur ini tak tercantum posisi dewan pengarah. Padahal PDIP menginginkan adanya dewan pengarah yang disebut untuk memberikan masukan dan pertimbangan kepada Kepala BRIN. Posisi ketua dewan ini disebut-sebut akan diisi Megawati.
Alih-alih menindak Yasonna yang membangkang keputusannya, Jokowi takluk kepada keinginan PDIP. Ia menjadikan BRIN sebagai lembaga otonom di bawah presiden dan melebur Kementerian Riset ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Keputusan itu sejalan dengan sikap PDIP yang menganggap BRIN makin kuat bila berada di bawah presiden. PDIP dalam berbagai kesempatan menegaskan pendirian BRIN adalah gagasan Megawati Soekarnoputri agar “Indonesia bisa berdikari”--konsep yang didengungkan Sukarno di masa lalu.
Secara teknis, Presiden Jokowi juga mengabaikan pertimbangan teknis dalam peleburan Kementerian Riset. Proses transisi penggabungan ke Kementerian Pendidikan ini akan memakan waktu. Konsolidasi juga akan mengganggu riset dan inovasi yang sedang berjalan, termasuk yang berkaitan dengan penanganan Covid-19. Kaitan BRIN dengan perguruan tinggi dan industri, yang menjadi motor utama pengembangan riset dan inovasi di banyak negara, juga luput dari pertimbangan pemerintah.
Politisasi ini jelas merugikan dunia penelitian di Indonesia. Pada masa pandemi ini, pemerintah semestinya mencurahkan energi dan sumber daya untuk mendorong riset dan inovasi guna menanggulangi Covid-19. Ekosistem riset di Tanah Air tidak akan maju jika pemerintah membiarkan kepentingan politik mengintervensi lembaga riset.
Apalagi komitmen pemerintah terhadap penelitian masih tergolong rendah. Pada tahun lalu pemerintah hanya mengalokasikan anggaran untuk riset sekitar Rp 30 triliun atau 0,25 persen dari produk domestik bruto. Alokasi itu juga merupakan gabungan anggaran riset di semua lembaga dan kementerian. Jumlah itu jauh lebih kecil dari dana riset negara Asia Tenggara lain, seperti Vietnam sebesar 0,44 persen, Thailand 0,78 persen, Malaysia 1,3 persen, dan Singapura 2,6 persen.
Kualitas riset dan inovasi akan menopang pertumbuhan ekonomi. Hal itu tidak akan tercapai bila intervensi politik masih tinggi dan komitmen pemerintah terhadap riset rendah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo