Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan-pertanyaan bertalian dengan penangkapan tiga orang yang diduga hendak menyuap seorang jaksa pada akhir bulan lalu terus menggantung hingga kini. Komisi Pemberantasan Korupsi, yang meringkus ketiga orang itu dalam satu operasi tangkap tangan, masih berutang penjelasan. Khalayak semestinya tak dibiarkan bertanya-tanya, yang diduga akan menerima uang suap itu seperti tak tersentuh.
Dua dari tiga orang yang langsung dijadikan tersangka itu adalah direktur dan manajer PT Brantas Abipraya (Persero), sebuah badan usaha milik negara. Merekalah yang menyerahkan uang. Seorang lagi perantara. Dialah yang akan mengantarkan besel (uang sogokan) itu kepada seorang jaksa di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, yang diharapkan akan menghentikan penanganan kasus korupsi di PT Brantas. Tapi operasi tangkap tangan dalam kasus ini tak meringkus seorang pun yang diduga sebagai penerima suap.
Operasi tangkap tangan selama ini selalu didasarkan atas data dan informasi yang lengkap dan matang—terutama karena sebagian diperoleh dari penyadapan. Dalam operasi-operasi inilah KPK dulu membekuk, antara lain, hakim Kartini Juliana Marpaung dan hakim Heru Kisbandono, Bupati Karawang Ade Swara dan istrinya, Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, serta anggota DPRD DKI Jakarta, Sanusi. Para pejabat dari berbagai instansi dan lembaga itu adalah penerima rasuah.
Penangkapan penyuap yang tak disertai penerimanya ini baru pertama kali terjadi. Wajar bila timbul pertanyaan tentang siapa sebetulnya jaksa yang dimaksud dan mengapa KPK tak menunggu dulu hingga urut-urutan "transaksi"-nya telah lengkap sebelum bertindak. Pertanyaan-pertanyaan ini juga terdorong ke permukaan oleh pengakuan, tapi kemudian dibantah, pada hari yang sama, bahwa ada jaksa yang dicokok.
KPK memang lalu sempat memeriksa Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Tomo Sitepu. Tapi tak ada perkembangan lagi, malah terkesan penanganan jaksanya diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Tanpa menggelandang si penerima suap ke tempat penahanan pada kesempatan pertama, bagaimanapun, operasi itu jadi mengindikasikan ada bagian di dalam KPK yang terserang "masuk angin".
Kecurigaan begini bukan tanpa dasar. Pada Februari lalu, ada tiga penyidik KPK yang ditangkap petugas dari Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara. Alasan polisi: ketiga penyidik itu dicurigai sebagai teroris dan bandar narkotik. Tapi dalih ini terkesan cuma dibuat-buat. Belakangan, diketahui para penyidik itu sebetulnya sedang melakukan pengintaian untuk suatu operasi tangkap tangan. Mustahil ada yang tahu perihal operasi ini dan membocorkannya kecuali kalangan dalam.
Seperti organisasi lain pada umumnya, sangat mungkin KPK punya kelemahan. Tapi kelemahan itu akan mudah dimengerti hanya jika ia merupakan akibat dari sesuatu di luar kekuasaan KPK. Kelemahan yang timbul karena tindakan internal yang dengan sengaja mengabaikan kewajiban lembaga, oleh alasan apa pun, atau akibat pegawai yang "bermain mata" dengan pihak luar, tak mungkin ditoleransi.
Agar bisa dengan meyakinkan menepis syak wasangka terhadap lembaganya, para pemimpin KPK tak cukup bertindak dengan hanya menjelaskan secara masuk akal apa yang sebenarnya terjadi. Lebih dari itu, mereka juga berkewajiban mengevaluasi prosedur internal yang berlaku dan, terutama, pegawai di bagian terkait. Bersih-bersih di dalam menjadi keniscayaan bila kepercayaan publik hendak dipertahankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo