Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia sungguh berlebihan pada saat menggelar jumpa pers terkait dengan penahanan bekas Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara, Nur Pamudji, Jumat, 26 Juni lalu, yang empat tahun lalu ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Bareskrim "memajang" Pamudji dengan baju oranye tahanan beserta tumpukan uang dengan nilai Rp 173,7 miliar lebih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi terkesan hendak mencari publikasi dan meniru cara Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar konferensi pers seusai operasi tangkap tangan. Padahal barang bukti yang dihadirkan polisi bukanlah hasil penangkapan ataupun penggeledahan terhadap tersangka. Uang Rp 173,7 miliar itu disita dari rekening PT Trans-Pacific Petrochemical lndotama (PT TPPI). Perusahaan ini merupakan pemenang pengadaan high speed diesel untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Tambak Lorok, Semarang; dan PLTGU Belawan, Medan, pada 2010.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uang ratusan miliar rupiah itu bukan pula bukti tindak korupsi Pamudji, melainkan nilai kerugian PLN lantaran PT TPPI tidak mampu memasok high speed diesel ke dua pembangkitnya. Dari kontrak empat tahun, PT TPPI hanya memasok selama 11 bulan. Akibatnya, PLN harus membeli dari pihak lain dengan harga lebih tinggi sehingga mengalami kerugian. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan pada Februari 2018, kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 188,7 miliar.
Penetapan Pamudji sebagai satu-satunya tersangka kasus ini menimbulkan pertanyaan besar. Kepolisian terkesan melakukan kriminalisasi terhadap bos PT PLN periode 2011-2014 itu. Pamudji, yang meraih Bung Hatta Anti-Corruption Award 2013, ditetapkan sebagai tersangka pada Juli 2015. Ia dituding melakukan penunjukan langsung atas PT TPPI. Polisi menjeratnya dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, sejak 2 Juli lalu, polisi menahan Pamudji.
Kasus korupsi pengadaan high speed diesel ini bermula dari kebutuhan solar PLN sebesar 9 juta kiloliter. Sebanyak 7 juta kiloliter dipasok oleh Pertamina. Adapun 2 juta kiloliter sisanya dilelang dalam lima lot. Dari sembilan peserta yang memasukkan penawaran, Pertamina memenangi dua lot dan Shell mendapat tiga lot.
Karena Shell perusahaan asing, tiga lot itu akhirnya ditawarkan kembali ke perusahaan dalam negeri. PT TPPI, yang mayoritas sahamnya dimiliki PT Tuban Petrochemical Industries yang notabene 70 persen sahamnya dimiliki negara, mendapat right-to-match dan akhirnya memenangi dua lot, dan Pertamina mendapat sisanya. Soal pemberian right-to-match (RTM) dalam pengadaan bahan bakar minyak inilah yang dipersoalkan polisi.
Namun Pamudji berkukuh pemberian RTM dalam proses lelang tidak melanggar pedoman pengadaan barang dan jasa PLN. Kepolisian dan Kejaksaan seharusnya tak main-main dengan kasus seperti ini. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi soal pemilihan presiden juga disebutkan bahwa anak usaha BUMN bukanlah BUMN, sehingga dalam kasus ini tak bisa dianggap ada kerugian negara.